c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

16 Oktober 2019

20:06 WIB

Menanti Tim Ekonomi Mumpuni di Kabinet Jokowi

Belum ada generasi baru ekonom yang mampu bersifat kritis terhadap kebijakan pemerintahan, sekaligus dapat memberikan solusi alternatif 

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Menanti Tim Ekonomi Mumpuni di Kabinet Jokowi
Menanti Tim Ekonomi Mumpuni di Kabinet Jokowi
Presiden Jokowi berfoto bersama para mantan Presiden, Wakil Presiden dan juga Kabinet Kerja Jokowi-JK. Antaranews/dok

JAKARTA – Pelantikan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode yang kedua kian dekat. Tak hanya masyarakat yang menantikan, pelantikan orang nomor satu dan nomor dua di Indonesia ini juga tak luput dari perhatian para pelaku pasar.

Bukan tanpa sebab pelaku pasar saat ini menanti-nanti hal tersebut. Pasalnya, pelantikan tersebut akan diiringi oleh pengumuman daftar kabinet untuk lima tahun ke depan. Buat pebisnis, nama-nama yang ada di kabinet, khususnya di pos ekonomi mau tak mau memang akan memengaruhi pelaku bisnis ke depan.

Prediksi, perkiraan, asumsi dan segala kasak-kusuk pun berseliweran di dunia maya maupun dunia nyata dari jauh-jauh hari. Geliat partai-partai dan survei dari sejumlah lembaga mewarnai berita dan lini masa media sosial.

Siapa yang mengisi pos ekonomi saat ini memang menjadi sorotan mengingat saat ini isu ekonomi global yang kurang baik dan iklim bisnis nasional yang wait and see, membutuhkan sentimen positif buat menggairahkan perekonomian. Presiden Joko Widodo sendiri bahkan sempat melontarkan pernyataan untuk berhati-hati menghadapi resesi ekonomi yang bisa terjadi dalam jangka 1—1,5 tahun lagi.

Ancaman resesi memang bukan sekadar bualan. Terbaru, International Monetary Fund (IMF) kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia untuk tahun ini. Ekonomi dunia ditaksir hanya mampu tumbuh 3% untuk tahun 2019. Level tersebut merupakan yang terendah sejak satu dekade terakhir.

Perkiraan terbaru ini menurun 0,2% dibandingkan proyeksi IMF pada April kemarin. Ekonomi global diperkirakan tumbuh lebih kecil daripada perkiraan awal, karena makin besarnya tekanan aktivitas ekonomi di negara-negara berkembang.

“Kelompok-kelompok emerging markets mendorong sebagian dari proyeksi penurunan pertumbuhan pada tahun 2019,” tegas Kepala Ekonom IMF, Gita Gopinath, dalam rilis resminya di Washington, Selasa (15/10) waktu setempat atau Rabu (16/10) WIB.

Sebelumnya, ekonomi negara berkembang diprediksi mampu tumbuh hingga 4,5%. Namun terbaru, IMF memprediksi, ekonomi emerging markets hanya mampu tumbuh di kisaran 3,9% untuk tahun 2019.

Di sisi lain, ekonomi negara-negara maju juga belum mampu menunjukkan pertumbuhan signifikan tahun ini. Ekonomi negara maju diproyeksi melambat dibandingkan tahun 2018. Dari yang tadinya mencapai 2,3% pada tahun lalu, pertumbuhan ekonomi negara maju ditaksir hanya menyentuh posisi 1,7% untuk tahun ini.

Pertumbuhan ekonomi dunia bahkan diprediksi bisa lebih kecil daripada proyeksi yang kini dibuat apabila tidak ada stimulus berarti yang dilakukan. Tidak tanggung-tanggung, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan bisa kembali terpangkas 0,5 poin jika stimulus moneter tidak diberlakukan.

Karena alasan-alasan inilah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyatakan, figur yang pas untuk mengisi bangku-bangku kabinet, khususnya di bidang perekonomian menjadi krusial.

Ia membeberkan, isu pertama yang jadi perhatian saat ini adalah yang terkait dengan perlambatan ekonomi nasional. Khusus untuk hal ini, menteri yang dipilih Jokowi nanti sudah seharus punya gambaran apa yang harus dilakukan dengan situasi tersebut.

Kedua soal ketidakpastian global. Kemudian yang ketiga berkaitan dengan revolusi industri 4.0 dan ekonomi digital. Menurutnya, hal ini menjadi hal yang sangat strategis untuk diagendakan ke depan.

“Terakhir kaitannya di domestik penurunan CAD (current account defisit) kita sekarang yang sudah melampaui 3%,” ujarnya kepada Validnews di Jakarta, Selasa (15/10).

Ia sendiri menyarankan level menteri di sektor ekonomi lebih baik diisi oleh orang-orang profesional. Sosok terpilih tersebut diharapkan memahami benar isu moneter dan fiskal, agar bisa bersinergi dengan badan-badan terkait dalam membentuk kebijakan yang pas.

Rentan Terjebak
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi menilai, kompromi politik mau tak mau pasti akan terjadi dalam pencantuman nama-nama di kabinet jilid II Joko Widodo. Meskipun begitu, ia mengingatkan Jokowi agar khusus jajaran menteri ekonomi, tak boleh sesuka hati diberikan ke sembarang pihak.

Tujuan-tujuan yang terus didengungkan Jokowi dalam Nawacita di periode pertamanya pun sebenarnya tak lepas dari sisi ekonomi. Karena itulah, pemilihan yang tepat mesti dipertimbangkan jika ingin tujuan negara tercapai.

“Kalaupun harus dari akomodasi kompromi politik, saya rasa boleh juga dari firgur parpol. Cuma, ya harus profesional,” ujarnya kepada Validnews di Jakarta, Senin (14/10).

Ia pun berharap tidak ada pengulangan kegagalan seperti kinerja kementerian bidang-bidang ekonomi pada periode pertama Jokowi. Tidak tanggung-tanggung, Fithra menilai, banyak rapor yang ditorehkan oleh kementerian bidang ekonomi sehingga membuat perekonomian Indonesia tak kunjung bisa melesat.

Kegagalan tersebut berakibat pada stagnannya pertumbuhan ekonomi nasional hanya di kisaran 5%. Angka tersebut jauh dari target RAPBN 2014-2017 yang dipatok optimistis tumbuh sampai 7%.

Kondisi terakhir pada kuartal II-2019, pertumbuhan ekonomi pun hanya terpatok di level 5,05%. Capaian tersebut melambat 22 poin dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2018.

Soal gagalnya pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi diakui Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro. Ia menyadari masih terdapat pekerjaan rumah yang belum dirampungkan pemerintah, meski terjaganya inflasi di kisaran 3-4% diyakini masih bisa menjaga daya beli masyarakat.

Meski tak bisa lepas dari kompromi politik, Fithra tetap berharap Jokowi bisa mengisi pos-pos kementerian ekonomi dengan figur yang sudah teruji kemampuan dan profesionalitasnya. Ia menegaskan, catatan dan latar belakang yang baik dari sang calon menteri disebut akan berkorelasi dengan penerimaan pasar. Nah, penempatan figur professional pun dipandang sebagai representasi dari kesungguhan pemerintah dalam menjalankan perekonomian.

“Ini (figur profesional.red) bisa membuat nyaman para investor, memberikan hasil positif bagi para investor,” sambungnya.

Layak Bertahan
Meskipun target ekonomi kerap tak tertembus, Fithra berpandangan, sejumlah nama menteri dan kepala lembaga layak dipertahankan. Pasalnya, ketidakmampuan menembus target ekonomi bukan kesalahan mereka semata, tapi terkait dengan kinerja menteri-menteri yang bergerak di sisi sektoral lainnya.

“Memang ada menteri-menteri yang ada di kabinet Jokowi periode satu masih layak untuk lanjut, seperti misalnya ada Ibu Ani (Sri Mulyani-red), Bambang Brodjonegoro, Darmin Nasution,” tuturnya.

Bambang Brodjonegoro yang kini menampuk tugas sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), menurut, Fithra bekerja cukup baik dalam posnya. Hanya saja ia melihat, pos Menteri ini kemungkinan besar digunakan untuk mengakomodasi jatah koalisi partai politik pengusung petahana.

Sejauh ini, nama Arif Budimanta, politisi asal PDIP santer disebut berpeluang menempati posisi ini.

“Arif Budimanta, selain punya kredensial tinggi dia juga punya dukungan politik,” kata ekonom UI itu. 

Sekadar informasi, Arif Budimanta merupakan anggota DPR RI periode 2009-2014. Dukungan politik sangat mungkin kencang diberikan kepada pria ini. Pasalnya, ia sempat menjabat sebagai Ketua DPP PDI Perjuangan periode 2005—2010. Arif pun dari tahun 2008 sampai sekarang, menggawangi Megawati Institute, lembaga think-tank PDIP, sebagai direktur eksekutif.

Di pos ekonmi lainnya, seperti disebutkan di atas, nama Sri Mulyani juga cukup santer dikabarkan bakal bertahan. Ia dinilai berhasil mencegah Indonesia terganjal dengan beban utang yang berlebihan. Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di bawah kepemimpinan Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini pun dinilai baik.

Setidaknya, hal tersebut terlihat dari keseimbangan primer dalam APBN yang terus mengecil tiap tahunnya. Bahkan pada tahun anggaran 2018, keseimbangan primer bisa tercatat di negatif Rp1,8 triliun. Nilai tersebut merupakan yang terendah sejak tahun 2012.

Keseimbangan primer tersebut pun sukses melampaui target APBN yang ditetapkan sebesar Rp64,83 triliun. Nilainya pun jauh lebih kecil dibandingkan keseimbangan primer pada 2017 yang terpatok di angka Rp124,4 triliun.

“APBN sekarang dikelola dan ditargetkan untuk meminimalkan defisit neraca primer,” tegas Fitra

Dengan capaian tersebut, Ani, panggilan akrabnya, bahkan dipandang layak mendapatkan promosi. Alih-alih sebagai menteri keuangan, Sri Mulyani dipandang cocok menempati kursi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian).

Jabatan ini sebenarnya tak asing baginya. Tahun 2008, ia sempat ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas Menko Perekonomian untuk menggantikan Boediono yang digeser menjadi Gubernur Bank Indonesia.

Menteri Keuangan
Untuk posisi menteri keuangan, berbagai survei maupun pendapat ekonom menyatakan Chatib Basri layak menggantikan Sri Mulyani. Chatib sendiri sebenarnya pernah menjadi menteri keuangan pada tahun 2013–2014. Ia juga pernah menduduki jabatan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada tahun 2012 dan aktif sebagai Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional Presiden RI periode 2010–2012.

Selain Chatib, nama Mirza Adityaswara yang baru saja pensiun dari jabatannya sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia layak dipertimbangkan. Fithra melihat, Mirza cocok menjadi menteri keuangan karena selama ini telah menangani situasi ekonomi sulit di Bank Indonesia.

“Pak Chatib Basri dan Pak Mirza sebenarnya juga seirama dengan Ibu Ani dalam mengelola kebijakan fiskal,” tegasnya.

Tauhid dari Indef menilai, masih banyak tantangan berat bagi siapapun figur yang akan menduduki jabatan Menko Perekonomian, tidak terkecuali bagi Sri Mulyani. Tantangan berat yang masih harus dihadapi tak lain adalah menyinergikan kementerian lembaga di bawahnya.

“Ini karena kami melihat masing-masing kementerian punya dasar UU yang berbeda. Otomatis masing-masing bekerja sesuai dengan konsepsi aturan tersebut, sehingga otomatis target capaiannya berbeda,” kata Tauhid.

Seorang menko perekonomian, menurutnya, tidak hanya harus bisa bersinergi dengan antarkementerian, melainkan juga wajib berkolaborasi dengan Bank Indonesia. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi akan tetap sulit didorong jika hanya digenjot melalui kebijakan fiskal. Kebijakan monter perlu dirancang agar bisa mendukung perencanaan ekonomi nasional.

"Misalnya fiskal kita ingin belanja modal lebih tinggi, tapi kebijakan suku bunga belum bersahabat, masih terlalu tinggi tidak memberikan insentif bagi sektor usaha berkembang,” paparnya.

Minim Regenerasi
Kisi-kisi bakal dipertahankannya sejumlah wajah lama dalam Kabinet Kerja jilid II, sejatinya sudah sempat sedikit diutarakan Jokowi. Meski tak secara jelas, ia menyebut siapa nama lama yang dimaksud

"Ya adalah, (menteri) yang lama ada, (menteri) yang baru banyak," kata Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka Jakarta, Rabu (16/10), seperti dilansir Antara.

Hanya saja, ia menjanjikan, porsi profesional akan lebih mendominasi jajaran menterinya kelak. Perbandingannya dengan figur yang dipengaruhi partai pengusung bisa mencapai 55:45. Artinya, akan ada 55 persen menteri dari kalangan profesional.

Selain itu, Jokowi juga sempat menyatakan, kabinet barunya akan diisi oleh figur-figur muda. Ia bahkan menyebut bakal ada anggota kabinetnya yang berusia di bawah 30 tahun.

Namun, penempatan menteri muda dalam bidang perekonomian, dinilai Tauhid sulit dilakukan. Menurutnya, sampai saat ini belum ada nama ekonom yang mencuat untuk bisa menggantikan sosok-sosok lama yang telah lebih dahulu berkecimpung di pemerintah.

“Dari kalangan akademisi enggak banyak yang muncul,” serunya.

Minimnya sosok baru di bidang perekonomian disebutnya menjadi kelemahan tersendiri bagi kondisi ekonomi ke depannya. Apalagi saat ini Tauhid melihat, belum ada generasi baru dari ekonom yang mampu bersifat kritis terhadap kebijakan pemerintahan, sekaligus dapat memberikan solusi alternatif.

Padahal nantinya, menteri terpilih mesti mampu menyusun kebijakan untuk merespons perlambatan ekonomi dunia saat ini. Wabil khusus Menko Perekonomian yang perlu mencari jalan untuk mengenjot ekonomi domestik dan menarik aliran investasi asing ke dalam negeri.

Tak cukup sampai situ, jikapun ada modal asing yang masuk, seorang Menko Perekonomian diharapkan juga bisa mengarahkan modal tersebut ke sektor riil, tak hanya yang berskala besar, tapi juga sektor usaha yang punya skala kecil.

Fasilitas pembiayaan juga diharap tidak hanya terbatas dalam bentuk kredit usaha rakyat (KUR) saja. Skema pinjaman pun harus lebih murah dan mudah untuk diakses kalangan yang lebih luas. Pengembangan ekonomi kecil itulah yang diyakininya dapat melepas ketergantungan pemerintah terhadap pembiayaan luar negeri ke depan.

Insentif yang lebih besar juga perlu diberikan pada usaha yang memang jelas memiliki kemampuan besar menyerap tenaga kerja. Seperti sektor pertanian, pertambangan dan industri.

“Sementara yang padat modal sebaiknya memang sedikit tidak menjadi prioritas. Karena kalau tidak ada pemilihan atau keberpihakan pada sektor ini maupun UMKM saya kira ekonomi domestik kita akan jauh tertinggal,” sarannya.

Periksa Fiskal
Keberpihakan pada industri nasional juga menjadi sorotan Peneliti FEB Universitas Indonesia Eugenia Mardanugraha. Menurutnya insentif yang diberikan pemerintah selama ini masih belum menggairahkan produsen untuk berproduksi. Justru yang terjadi, tekanan dari pajak yang masif dalam beberapa tahun terakhir terlihat makin masif. Di sisi lain, produk impor dengan bebas melenggang masuk pasar nasional. 

“Dari sisi fiskal ya kita harus diberikan insentif bagi produsen untuk melakukan ekspor dan kemudian disinsentif bagi importir. Tarif impor dinaikkan tapi tarif pajak ekspor diturunkan,” kata Eugenia pada Validnews, Selasa (15/10).

Menurut Fithra sebanyak apapun instrumen fiskal yang diberikan, dampaknya tidak akan signifikan jika kementerian sektoral tidak bekerja dengan baik. Investasi yang masuk dinilai harus benar-benar diarahkan untuk memberikan nilai tambah produk ekspor.

Ia mengingatkan, kebijakan fiskal yang terlalu longgar justru dapat memperburuk keadaan jika pemerintahan tidak berjalan dengan efisien. Untuk itu perlu dilakukan deregulasi dan debirokratisasi pemerintahan. Tanpa hal itu, investor akan makin enggan menanamkan modalnya di Indonesia.

Apalagi, risiko resesi tengah membayangi ekonomi global saat ini. Dalam kondisi ini, ia mengungkapkan, investor akan cenderung menarik modal keluar dari negara emerging markets.

“Secara rasional investor akan meninggalkan emerging markets dan menuju produk safe haven. Bisa saja kembali lagi ke AS atau bahkan ke Jepang, juga negara-negara yang tergolong safe haven. Biasanya ini tidak terelakkan lagi pada saat krisis,” tutur Fithra.

Namun, menurut Fithra, perubahan harus berani diambil oleh Menteri Keuangan pada Kabinet Jilid II Jokowi. Rencana-rencana penganggaran ke depan harus bisa lebih ekspansif dijalankan. Berbeda dengan kebijakan menteri keuangan sebelumnya yang cenderung lebih banyak melakukan pengetatan fiscal, lantaran beban utang yang terlalu berlebihan.

Bayang-bayang resesi global pun dinilai tak perlu jadi kekhawatiran yang berlebihan bagi Menteri keuangan selanjutnya. Sebab, anatomi krisis ke depan lebih dipicu oleh sisi supply side ketimbang demand side. Hal itu tercermin dari tingkat pengangguran di Amerika Serikat yang relatif terkendali. Posisinya bahkan disebut termasuk sebagai salah satu yang terendah sepanjang sejarah. Menariknya, kondisi yang sama pun terjadi di Indonesia.

“Artinya tidak ada shock yang terlalu berlebihan dari sini demand. Nah, shock-nya itu berasal dari berasal dari sisi supply. Kalau berasal dari sisi supply maka segala insentif fiskal dan moneter itu menjadi tidak berguna di jangka pendek,” tegasnya.

Memang diakui ada sejumlah segmen konsumen domestik yang mengalami penurunan daya beli. Jumlahnya sekitar 20–40% konsumen yang memang tergolong berpendapatan rendah. Sementara, konsumsi nasional sejatinya masih didominasi oleh 20% masyarakat berpendapatan paling atas.

“Nah yang 20% paling atas ini walaupun mereka sedikit tapi mendominasi keseluruhan konsumsi. Jadi tidak ada masalah di 20% teratas. Konsumsi sendiri kenapa mereka tumbuh stagnan karena mereka wait and see untuk membelanjakan uangnya,” kata dia.

Ia menilai penyebab perlambatan pertumbuhan ekonomi beberapa tahun ke belakang lebih dipicu oleh kinerja industri yang loyo. Kontribusi industri pada PDB yang turun di bawah 20% jadi salah satu indikatornya.

Apapun itu, banyak pihak menilai saat ini Indonesia sedang mengalami fase deindustrialisasi. Jadi, tim ekonomi dalam kabinet Jokowi jilid II nantinya diharapkan punya langkah jitu untuk lebih mendorong ekspor dan menggenjot investasi. (Bernadette Aderi, Kartika Runiasari, Sanya Dinda)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar