c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

05 April 2018

21:55 WIB

Menantang dan Berjuang Lewat Sarekat Dagang

Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam untuk melawan monopoli perdagangan bahan baku pembuatan batik oleh pengusaha China yang dibekingi Belanda

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Menantang dan Berjuang Lewat Sarekat Dagang
Menantang dan Berjuang Lewat Sarekat Dagang
Peserta Konggres Sarekat Dagang Islam pertama di Solo 1912 diketuai oleh saudagar batik H. Samanhudi. Foto KITLV.

JAKARTA – Berburu batik di Kota Surakarta, Jawa Tengah, jelas tak susah. Tiap sudut kota menawarkan tempat berburu batik, mulai dari printing yang sebenarnya adalah kain dengan motif batik, batik cap hingga batik tulis halus karya para maestro.

Salah satu sentra batik yang menawarkan berbagai pilihan batik adalah Kampung Laweyan. Kawasan yang sempat tenggelam saat batik printing mulai diperkenalkan pada 1970-an ini mulai menunjukkan geliat kehidupan sejak dicanangkan sebagai kampung wisata batik pada 2004.

Sejak pencanangan kampung wisata batik, Laweyan dengan ciri khas jalanan nan sempit memisahkan tembok-tembok tinggi dan pintu gerbang besar ini mulai ramai dikunjungi turis untuk berburu batik.

Rumah-rumah dengan tembok tinggi ini adalah bekas kejayaan para produsen dan pedagang batik pada masa dahulu. Meski terlihat kusam di luar, rumah yang tersembunyi di balik tembok tinggi sesungguhnya memiliki arsitektur menawan.  

Umumnya bangunan di balik tembok tinggi terdiri dari beberapa bagian. Ada rumah utama di bagian tengah. Lalu, bangunan di sayap kanan dan kirinya, serta bangunan pendukung di halaman belakang.

Bangunan besar bak istana ini kontras dengan kondisi di luar tembok. Jalanan yang tersisa begitu sempit. Bahkan sebagian hanya cukup untuk pejalan kaki dan kendaraan, kendaraan roda empat tak muat.

Laweyan sendiri memiliki sejarah cukup panjang. Sebelum menjadi sentra batik, awalnya dulu merupakan sentra industri kain tenun dan bahan pakaian. Benang penyusun kain ini yang awalnya disebut Lawe sehingga daerah ini disebut Laweyan.

Pertengahan 1500-an, batik mulai dikembangkan di kawasan ini. Laweyan yang dulunya memproduksi tenun perlahan berubah menjadi sentra batik.

Begitu majunya perdagangan Laweyan kala itu, hingga sebuah bandar dibangun di Kali Kabangan, berlokasi tak jauh dari Masjid Laweyan yang sempat menjadi pusat penyebaran agama Islam di kawasan ini. Berbagai bahan baku dikirim melalui Kali Kabangan yang terhubung dengan Bengawan Solo. Sayang, bekas bandar ini kini tak lagi ditemukan sisanya.

Masa Sulit
Kedatangan Belanda pada akhir 1500-an membuat Laweyan mengalami masa sulit di tahun-tahun berikutnya, ketika pengaruh Belanda mencapai pedalaman Jawa.

“Ibarat petinju, pedagang batik Laweyan dikeroyok tiga orang pada masa itu,” ujar Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Heri Priyatmoko kepada Validnews.co, Kamis (5/4).

Masalah pertama datang dari kaum bangsawan Jawa yang menyimpan dendam pada para juragan batik Laweyan. Sebuah kisah penolakan saat Paku Buwana II meminjam kuda milik mbokmase, sebutan bagi juragan batik perempuan saat itu, mengawali dendam para bangsawan ini. Kala itu, Paku Buwana II hendak menyelamatkan diri saat Keraton Kartasura luluh lantah diserang musuh.

Sri Sukirni dalam skripsinya berjudul Permukiman Tionghoa di Surakarta pada Tahun 1900-1940 menyebutkan, pasca pembantaian orang China oleh Belanda di Batavia pada 1740, banyak orang China yang melarikan diri ke Jawa Tengah.

Pada saat yang sama, aktivitas perdagangan VOC di Semarang dianggap mengurangi legitimasi Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura. Merasa kekuasaannya berkurang akibat kegiatan VOC, Paku Buwono II sebagai raja Mataram saat itu mengangkat senjata melawan Belanda. Para pengungsi China pun turut berperang demi membalas dendam atas tumpahnya darah ribuan orang China di Batavia.

Namun, upaya melawan Belanda ini mengalami kegagalan. Pasukan Paku Buwono II yang dibantu pengungsi China pun berhasil dipukul mundur. Bahkan, kegagalan ini justru membuat Paku Buwono II berbalik menjadi pendukung VOC.

Kecewa, orang-orang China yang semula menjadi sekutu Paku Buwono II pun berbalik melawan. Mereka mendukung Raden Mas Garendi  memberontak terhadap Paku Buwono II dan menyerang kraton Kartasura. Raden Mas Garendi adalah cucu Amangkurat III. Ia diberi gelar Sunan Kuning lantaran memimpin kaum berkulit kuning alias orang-orang Tionghoa.

Kraton Kartasura pun luluk lantak akibat penyerangan ini. Hingga akhirnya Paku Buwono II memindahkan ibu kota kerajaan ke Surakarta pada 1745. Orang-orang China yang terlibat dalam pemberontakan tetap diizinkan tinggal di ibu kota yang baru, namun dilokalisir di suatu lokasi.

Kembali ke dendam Paku Buwono II, sebuah mitos bau Laweyan pun disebarkan. “Mitos bau Laweyan bahwa menikahi orang Laweyan bakal bernasib buruk,” jelas Heri.

Musuh kedua para mbokmase adalah pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial yang ingin menguasai segala lini perekonomian pun berusaha mengendalikan para juragan kaya raya ini.

Menurut Heri, seorang pegawai bernama De Kat Anggelino diperintahkan membuat catatan mengenai industri batik guna mengontrol gerak-gerik para juragan.

Sebenarnya tak hanya kekuatan ekonomi yang ditakuti Belanda. Para petinggi Belanda yang trauma menghadapi perang Diponegoro merasa gerakan Islam di Kawasan Laweyan ini dapat memantik perjuangan melawan penjajah.

“Ketiga, kelompok Tionghoa bersaing secara tidak sehat dalam praktik bisnis batik lantaran memperoleh hak istimewa dari Belanda berupa monopoli bahan batik, mulai dari  kain putih, lilin, bahan celup dan pewarna,” lanjutnya.

Orang-orang China yang semula merupakan pengungsi dari geger pecinan di Batavia, dengan berlalunya waktu, menjadi kekuatan sekutu bagi Belanda. Mereka beri peran yang cukup luas dalam industri batik kala itu. Tak hanya memproduksi kain batik, mereka juga menguasai perdagangan berbagai jenis bahan baku pembuatan batik.

Monopoli itu, jelas Heri, membuat pengusaha pribumi kesulitan sewaktu belanja kebutuhan industri batik. Pasalnya, semua kebutuhan untuk memproduksi batik, mulai dari kain hingga lilin yang digunakan untuk membatik alias malam, tak dihasilkan sendiri. Melainkan bergantung pada produk yang didatangkan oleh pengusaha China.

Situasi makin diperparah oleh pengasingan wong (orang) Laweyan dari lingkungan geografis dan sosial oleh masyarakat kerajaan. Menurut Heri, frase “wong” yang melekat pada orang-orang Laweyan menunjukkan betapa mereka direndahkan dan terkena alienasi sosial.

“Kemandirian ekonomi sukses dibangun dan rumah loji yang ubinnya dibeli dari luar negeri ternyata tak mempan membuat aristokrat keraton dan pangreh praja angkat topi, alih-alih mendapuk mereka jadi motor penggerak nasionalisme ekonomi bangsa Indonesia,” ujarnya.  

Para pengusaha itu, meskipun hidup mewah berkecukupan, tak mampu menembus dinding stratifikasi sosial yang direkayasa bangsawan Jawa maupun elit Eropa itu. Keberadaan mereka hanya dipandang sebelah mata oleh para bangsawan dan priyayi.

Berjuang
Adalah sosok Haji Samanhudi yang merasa lelah dengan perlakuan yang diterima para pengusaha Laweyan dan memulai perjuangan.

Samanhudi mengeyam sekolah volks school (sekolah rakyat) selama 6 tahun. Selepas sekolah rakyat, ia melanjutkan sekolah HIS (Hollansch Indische School) di Madiun. Pelajaran sekolah dan buaian para guru Eropa, lanjut Heri, tak membuatnya betah berlama-lama di ruang kelas.

Ia memilih meninggalkan bangku sekolah di saat umur 13 tahun dan menceburkan diri dalam usaha batik milik orang tuanya. Artinya, ide nasionalismenya tidak disuburkan di sepetak kamar, namun di lapangan politik-ekonomi batik.

Biografi Samanhudi yang ditulis Muljono dan Sutrisno (1983) menjelaskan, pria yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional tahun 1961 itu mengajak para pengusaha mengobarkan perlawanan dengan mendirikan Rekso Rumekso  pada 1908.

“Ini adalah kelompok ronda (keamanan) yang semula untuk mengantisipasi pencurian kain di Laweyan. Kelompok ini juga membela juragan batik Laweyan,” papar Heri.

Titik Arum Ahadiyati dalam skripsi berjudul Penerapan Sikap Politik Non Kooperatif HOS Cokroaminoto di Dalam Sarekat Islam (1912-1934 M) menyebutkan Rekso Rumekso beranggotakan saudara, teman dan pengikut Haji Samanhudi. Perkumpulan ini memang berperan sebagai peronda. Pasalnya, pada masa itu wilayah Laweyan tak aman karena kerap terjadi pencurian kain batik yang dijemur di halaman.

Untuk diketahui, pembuatan batik memerlukan proses penjemuran untuk mengeringkan kain batik yang telah dicelup pewarna maupun saat menghilangkan lapisan lilinnya. Pada membatik, kain akan digambari malam menggunakan alat bernama canting. Fungsi malam adalah menutupi bagian kain agar tidak terkena warna saat kain dicelup. Usai diwarnai, kain akan dicelup air panas untuk menghilangkan lapisan malam. Proses ini bisa diulang berkali-kali, tergantung motif dan warna yang diinginkan.

Rekso Rumekso kemudian terlibat bentrok dengan Kong Sing, sebuah perkumpulan milik Tionghoa. Bentrokan fisik pun mengundang penyelidikan penguasa Belanda terhadap status hukum Rekso Rumekso.

Pada masa itu, setiap perkumpulan tanpa status hukum dapat dibubarkan atas perintah Residen. Karena itu, masalah status hukum menjadi penting bagi kelanjutan Rekso Rumekso.

Samanhudi yang tak memiliki pengalaman membentuk organisasi berikut anggaran dasar dan rumah tangga lantas meminta bantuan seorang kenalan bernama Raden Mas Tirtoadisuryo. Ia adalah lulusan OSVIA yang telah meninggalkan dinas pemerintahan dan menjadi wartawan.

Ia mendirikan mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) di Batavia pada 1909. Pada 1911, SDI di Buitenzorg (Bogor) pun menyusul.

Kegiatan organisasi ini aktif sejak tanggal 5 April 1909, yaitu setelah mendapatkan izin dari Gubernur Jenderal. SDI pun menjadi wadah bagi para pengusaha batik Laweyan untuk menyuarakan kepentingannya melawan monopoli bahan baku batik oleh pedagang China. Juga untuk membendung tekanan dari kalangan bangsawan Solo.  

“Ada kesadaran berorganisasi yang menguatkan tuntutan mereka dalam perkara penyediaan bahan. Juga monopoli dagang oleh Tionghoa yang mendapat keistimewaan dari Belanda. Mereka ibarat lidi yang diikat, jadi kuat,” tambah Heri.

Lewat organisasi ini, mereka juga memperkuat pasar bagi produksi batik. Kesadaran tak harus bersaing ketat antar sesama pengusaha bumiputra diperkuat.

Selain itu, tumbuh kesadaran hukum ekonomi melalui organisasi ini. Awalnya, para mbokmase tak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai aturan-aturan perdagangan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial.

“Lalu mereka membayar penerjemah demi bisa membaca koran berbahasa Belanda. Pasalnya, koran itu sering memuat aturan dagang. Harapannya, mereka tidak terjebak dalam urusan pelanggaran hukum dagang,” kata Heri.

Upaya memperkuat ekonomi tak hanya menyasar para juragan. Buruh pun turut diperhatikan oleh Samanhudi melalui  SDI. Para buruh dididik untuk menjadi mandiri. Mereka pun diberi kesempatan untuk memiliki usaha sendiri, setelah bekerja atau magang mengikuti juragan. .

Praktik ini, lanjut Heri, jelas mustahil dinikmati oleh para buruh yang bekerja pada pengusaha batik Tionghoa atau Belanda.

“Buruh mencecap pengetahuan dari juragan batik Laweyan. Usai punya modal, mereka mandiri. Maka tumbuhlah juragan-juragan baru meski lingkupnya hanya dalam kota namun mereka tetap meramaikan dunia sandang di Jawa,” kata Heri.

Dengan merangkul pengusaha batik untuk unjuk kekuatan dalam kancah politik nasional, Samanhudi merapatkan barisan perlawanan bersama kelompok lain sekaligus meruntuhkan mitos pribumi pemalas. Kesadaran berpolitik kaum juragan detik itu ditanamkan sebaik mungkin oleh Samanhudi. Tak ayal, Belanda ketar-ketir sebab bakal mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Begitulah potret perjuangan Samanhudi yang melampui zamannya.

Namun, biaya yang harus dibayar Samanhudi tak sedikit. Timur Jaylani dalam The Sarekat Islam Movement, Its Contribution to Indonesian Nationalism menyebutkan Samanhudi mendirikan organisasi ini selepas menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Ia mengorbankan sebagian propertinya untuk membiayai gerakan yang memperjuangkan kepentingan perdagangan nasional.

Heri pun membenarkan. Samanhudi yang juga bakul batik ini rela perusahaannya gulung tikar demi menggapai cita-cita bangsa. Semula, perusahaannya berkembang hingga membuka cabang di Tulungagung, Bandung, Purwokerto, Surabaya, Banyuwangi, Ponorogo, dan Batavia.

Saking sibuknya berorganisasi, dia harus ikhlas menelan pil pahit, yakni ditinggal pergi istri pertamanya bersama 8 anaknya.

“Usaha Samanhudi memerangi kolonialisme dan feodalisme bermuara pada kemantapan hati untuk rela berpisah dengan keluarga,” kata Heri.

 

Berubah Menjadi SI
Pengaruh SDI makin meluas dan menjadi tandingan bagi pengusaha Tionghoa. Semangat pun meruncing menjadi pertikaian dengan pengusaha China. Akibatnya, situasi keamanan di Solo mulai terganggu.

Pengusaha Belanda pun memerintahkan Pangeran Mangkuboemi untuk mengeluarkan larangan bagi SDI untuk meneruskan perjuangan dengan maksud agar tidak terjadi kekacauan antara pribumi dengan orang China.

SDI pun diskors oleh Residen Surakarta. Organisasi ini dilarang menerima anggota baru dan mengadakan rapat. Namun, serangkaian penggeledahan rumah yang dilakukan tidak menemukan tanda untuk menentang pemerintah. Karena itu pada 16 Agustus 1912, surat keputusan skors dicabut kembali.

Pada 1912, terjadi perselisihan pendapat antara Tirtoadisuryo dan Samanhudi. Sehingga, Samanhudi yang sebagian besar waktunya tersita untuk urusan dagang lantas meminta bantuan Tjokroaminoto untuk memimpin organisasi tersebut.

Tjokroaminoto dipilih lantaran sebagai lulusan OSTIA, ia memiliki kemampuan manajerial dan memimpin organisasi. Tak kalah penting, ia memiliki komitmen untuk tidak bekerja pada institusi pemerintah Hindia Belanda.

Tjokroaminoto menyarankan agar SDI tak hanya terfokus pada golongan pedagang. Ia menginginkan agar organisasi ini diperluas meliputi seluruh golongan masyarakat. Lantas, pada 10 September 1912, SDI berubah menjadi Sarekat Islam.

Sukar diragukan laku getir lelaki yang bernama kecil Sudarno Nadi itu tatkala melawan arogansi Belanda dan Tionghoa tidak memakai pedang, melainkan gagasan dan nyali. Ia berhasil menumbuhkan nasionalisme di bidang ekonomi.

“Era kolonial, pribumi hanyalah sebagai buruh yang dipekerjakan di perusahaan perkebunan milik Eropa dan Tionghoa. Samanhudi gigih mengajak pedagang pribumi menciptakan kemandirian ekonomi dan bertahan dari kompetisi bisnis yang tak sehat,” pungkas Heri. (Fin Harini, dari berbagai sumber)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar