c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

13 Juni 2019

23:37 WIB

Memilih Sehat Tanpa Protein Jahat

Di restoran-restoran, rasa daging vegan sudah menyerupai aslinya

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Memilih Sehat Tanpa Protein Jahat
Memilih Sehat Tanpa Protein Jahat
Warung Vegetarian di Gang Kali Mati, Glodok, Jakarta. Validnews/Fin Harini

JAKARTA – Kondisi restoran yang berada di bilangan timur Jakarta tersebut terbilang tidak terlalu ramai. Paling hanya ada sekitar 3—5 pelanggan yang masih menyantap sajian yang tertata di meja mereka masing-masing. Maklum saja, waktu sudah melewati jam makan siang. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 14.15.

Hanya saja menurut pengelola restoran tersebut, biasanya ketika waktu makan tiba, cukup banyak pembeli yang menyambangi restoran tersebut. Istimewanya bagi mereka yang berpantang makan daging atau yang dikenal sebagai kaum vegetarian.

Nama restoran tersebut Loving Hut. Sepintas tidak ada ubahnya seperti restoran biasanya. Namun, sajiannya benar-benar siap memanjakan lidah para vegetarian. Pasalnya di tempat makan ini seseorang tidak akan merasa hanya dicekoki sayur-mayur belaka. Beragam penganan yang identik dengan bahan utama daging, justru tersaji dalam barisan menu yang ditawarkan restoran yang sudah berumur 11 tahun ini.

Contohnya saja menu yang dicicipi oleh Validnews, yakni nuts satay dan tempura roll. Sepintas tidak tertangkap kasat mata bahwa sate yang akan dihidangkan tersebut bukan berasal dari daging. Apalagi dari tekstur maupun rasanya, benar-benar menyerupai daging ayam.

Namun, alih-alih menggunakan protein hewani dari unggas, nuts satay yang dijual di Loving Hut memakai campuran dari jamur dan kacang. Bahan-bahan protein nabati diolah sedemikian rupa layaknya sate madura. Tentu tak lupa bumbu kacang menjadi balurannya sebelum dihidangkan.

Ada lagi barisan sushi yang diperkenalkan sebagai tempura roll oleh Loving Hut. Dalam menunya tertuang, tempura roll tersusun dari komponen nasi dari beras Jepang yang digulung. Di mana di bagian tengahnya diisi dengan alpukat, mentimun, dan tak lupa udang. Sama seperti nuts satay, tentu saja udang yang ada di tempura roll bukanlah udang asli, melainkan buatan dari campuran gluten dan berbagai protein nabati.

“Kita vegetariannya itu benar-benar murni. Tidak ada telur, tidak ada susu, tidak ada MSG di sini. Benar-benar asli,” kata pengelola Loving Hut Jatinegara, Ratna, ketika disambangi Validnews pada Rabu (12/6).

Ya, rasa-rasa makanan yang disajikan restoran vegetarian, tidak terluput Loving Hut, diakui para pelanggannya memang menyerupai rasa asli daging.

Salah satunya Hayati, perempuan berusia 28 tahun yang telah 3 tahun memutuskan menjadi vegetarian ini, kerap datang ke Loving Hut demi sekadar menikmati ragam jenis sushi yang ditawarkan rumah makan yang cabangnya sudah ada di 23 negara ini.

Menurutnya, rasa daging yang coba diduplikasi dari campuran gluten, sayur, dan protein hewani tidak jauh berbeda dengan aslinya. Hanya saja, menjadi momen yang dirindukan untuk memakan seafood karena hingga saat ini, ia belum mampu menemukan rasa seafood nabati yang sama dengan seafood yang sering dimakannya dulu.

“Yang paling dikangenin tuh seafood sih karena untuk versi vegannya belum ada yang ngalahin (aslinya). Tapi kalau untuk daging-dagingan sih enggak kangen karena versi vegannya saja sudah cukup enak,” ucapnya kepada Validnews, Rabu (12/6).

Tiap kali menyambangi Loving Hut, setidaknya uang Rp200 ribu mesti ia gelelontorkan. Tingginya harga dijelaskan Aya lebih karena porsi yang dipesannya melimpah. Dengan biaya sebesar itu, ia bisa memesan 4—5 menu untuk santapan 2 orang, ia bersama partnernya.

Bukan hanya Loving Hut, perempuan yang kerap disapa Aya ini sering berpetualang menjadi menu-menu vegan baru di berbagai restoran yang ada di Ibu Kota. Hadirnya berbagai tempat makan yang menyediakan menu vegetarian baginya menjadi jalan yang memudahkan niatnya menjadi seorang vegan pada masa-masa awal.

Beragam pilihan menu yang beragam pun membuat lidahnya tak bosan-bosan untuk menjajal berbagai menu yang nir protein nabati tersebut.

“Lingkungan juga mendukung, mulai dari teman kantor sampai partner sudah menjadi vegetarian dan vegan sejak lama,” ujarnya lagi.

Non-Vegan
Kaum vegetarian seperti Aya tentu menjadi pasar ciamik bagi tumbuhnya restoran-restoran vegan di Indonesia. Terbukti di Jakarta saja terdaftar 163 tempat makan yang menahbiskan diri sebagai restoran vegetarian. Tulang punggung menunya pun berbeda-beda. Mulai dari yang menyajikan sushi dan pizza seperti Loving Hut, ada pula yang menawarkan sajian makanan warung seperti Warung Vegetarian yang berlokasi di Glodok, Jakarta.

Sesuai namanya, konsep Warung Vegetarian tak ubah seperti kantin pada umumnya. Menawarkan berbagai olahan vegan, baik aneka sayuran hingga olahan "daging" yang mirip aslinya. Ada charsiu alias babi merah, rendang, hingga sate ada di warung yang sudah dikenal di Gang Kali Mati, Glodok, sejak 6,5 tahun silam.

Tiga menu yang terakhir disebut tersebut merupakan menu yang wajib ada di Warung Vegetarian. Sementara, menu yang lainnya selalu berganti tiap hari agar pelanggan tak bosan.

Pemilik warung, Handi, mengungkapkan, konsep warungnya memang sejak awal dicetuskannya untuk menghadirkan makanan vegan yang terjangkau kantong masyarakat. Bahkan dengan modal Rp20 ribu, konsumen sudah bisa membeli makanan vegan yang komponennya terdiri dari nasi dan tiga jenis sayur.

 “Kalau untuk sayur aja, seporsi nasi dan tiga sayur Rp17.000. Rendang per biji Rp8 ribu, sate per tusuk Rp5 ribu, lalu charsiu itu per porsi dibungkus Rp10 ribu, kalau dimakan di sini ya sekitar Rp7 ribu,” paparnya panjang lebar kepada Validnews, Sabtu (8/6).

Handi menegaskan, untuk lauk, rasa makanan vegan menjadi mirip dengan daging aslinya dikarenakan bumbu yang kuat. Semisal sate, bumbu yang dibalurkan ke sate non-hewaninya sama persis dengan sate babi. Ada wangi ketumbar yang menguar dan manis yang tercecap saat mengunyah sate yang berbahan dasar jamur dan kacang kedelai ini. 

Lalu untuk charsiu, bahan gluten yang digunakan untuk menggantikan daging babi dimasak dengan berbagai bumbu, termasuk angkak. Jadi, menghasilkan warna merah yang sangat mirip dengan charsiu babi asli.

Sementara untuk rendang, bumbu rendang ala Jambi yang kuat membuat para vegetarian bisa mencicipi masakan tradisional nusantara yang biasanya tak bisa mereka cicipi itu. 

Kaum vegetarian jelas menjadi pelanggan yang terbantahkan bagi Warung Vegetarian. Sebutlah Mathew, ekspatriat asal Inggris ini sudah sering mampir ke warung Handi sejak 3—4 tahun lalu. Rendang dan sate nabati olahan Handi menjadi menu favoritnya.

“Sekitar dua kali sebulan,” ujarnya membeberkan frekuensi kunjungannya kepada Validnews, Sabtu (8/6).

Mathew sendiri sudah sejak kecil menjadi seorang vegetarian. Pria berusia 37 tahun ini pada akhirnya memulai menyetop menyantap olahan daging ketika mengetahui mesti ada hewan-hewan yang mati guna bisa “dikorbankan” menjadi santapannya.

“Saya sudah jadi vegetarian sejak umur 4 tahun, sejak tahu daging didapat dari hewan. Sejak saat itu saya tidak mau makan daging lagi,” sebutnya.

Uniknya, pelanggan Warung Vegetarian tidak semuanya seperti Mathew. Toh nyatanya, Handi mengklaim, banyak juga masyarakat yang masih belum menjadi vegan, tetapi sudah senang berkunjung ke warungnya. Pengunjung non-vegan yang kerap mampir ke Warung Vegetarian, dikatakan Handi, biasanya adalah mereka yang mencari makanan halal di kawasan tersebut.

“Ada pelanggan saya yang ibu-ibu pengajian karena memang yakin banget di sini semua halal. Karena memang saya vegan ya, hanya makan yang nabati,” ceritanya pemilik warung ini.

Tidak terkecuali bagi Loving Hut, Ratna sebagai pengelola restoran ini mengatakan, makanan vegetarian memang tak hanya diminati oleh kaum vegetarian saja, tetapi juga yang non vegetarian. Bahkan untuk Loving Hut Jatinegara, masyarakat yang beragama Islam mendominasi kunjungan.

“Orang-orang yang enggak vegetarian, orang Islam, juga banyak sih yang makan,” imbuh perempuan ini.

Bahkan ia mengklaim, pengunjung restoran tersebut lebih banyak yang muslim dibanding nonmuslim yang benar-benar vegetarian. Persentase pengunjung muslim di Loving Hut bisa mencapai 60% dari total kunjungan.

Tidak terbatasnya pengunjung restoran pada kaum vegetarian membuat Loving Hut kebanjiran omzet. Untuk hari biasa, restoran di Jakarta Timur ini mampu meraup omzet hingga Rp5 juta. Jangan tanya untuk Sabtu-Minggu, nilainya bisa melonjak hingga 2 kali lipatnya.

Gaya Hidup
Pengamat gaya hidup Syahmedi Dean mengungkapkan, meski ramai dikunjungi, sebenarnya keberadaan restoran-restoran vegetarian belum mampu menyaingi restoran makanan umum. Baginya, kuliner ala vegetarian hanya kuliner kelas dua dan belum bisa menjadi prestise.

“Dia (bisnis vegetarian) akan populer, tapi tidak akan bisa sampai masif,” katanya kepada Validnews, Rabu (12/6). 

Meskipun masih terbatas, ia sebenarnya tidak menampik usaha kuliner vegetarian terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Perkembangan restoran vegetarian sendiri lebih dikarenakan makin menggeliatnya fenomena orang yang ingin hanya menjadi penyantap sayur-sayuran.

Syahmedi melanjutkan, fenomena vegetarian yang merambah di Indonesia lebih meniru gaya hidup vegetarian yang ada di barat. Di mana fenomena menjadi kian berkembang karena didukung mudahnya akses terhadap informasi kesehatan yang tengah “laku” di dunia Barat.

“Sehingga, orang makin meniru gaya hidup barat yang terlebih dahulu mengomersialkan gaya hidup vegetarian,” ucap Syahmedi lagi.

Sejauh ini, hasil survei yang dilakukan oleh American Dietetic Association (ADA) menunjukkan, jumlah vegetarian pada tahun 2006 sekitar 4,9 juta (2,3%) penduduk dewasa di Amerika. Itu belum ditambah adanya sekitar 1,4% penduduk negeri tersebut yang menjadi vegan.

Sementara itu, jumlah vegetarian di Indonesia yang diketahui terdaftar pada Indonesia Vegetarian Society (IVS) pada tahun 1998 sudah mencapai 5 ribu anggota. Jumlahnya kepada melambung jauh menjadi 60 ribu anggota pada tahun 2000.

Sebagai informasi, berdasarkan kajian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), vegetarian adalah sebutan bagi orang yang hanya makan tumbuh-tumbuhan dan tidak mengkonsumsi makanan yang berasal dari makhluk hidup, seperti daging, unggas, ikan, atau hasil olahan lain. Kata vegetarian berasal dari bahasa latin vegetus, yang berarti keseluruhan, sehat, segar, hidup.

Vegetarian sendiri terbagi menjadi beberapa kelompok. Pertama ada Pesco/pollo Vegetarian (semi-vegetarian) di mana kelompok ini masih mengkonsumsi produk daging tertentu, misalnya daging ayam dan ikan, tapi meninggalkan kelompok daging merah.

Kemudian, ada pula Lacto-ovo Vegetarian. Kelompok ini masih mengkonsumsi telur dan produk susu. Adapun kelompok yang mengkonsumsi susu tapi tidak mengkonsumsi telur disebut lactovegetarian. Sementara kelompok yang mengonsumsi telur, tapi tidak mengkonsumsi susu, disebut ovovegetarian.

Barulah di kasta teratas ada vegan. Kelompok vegetarian ini telah meninggalkan sama sekali produk hewani dan turunannya, termasuk gelatin, keju, yogurt, bahkan menghindari madu, royal-jeli dan produk turunan serangga. Sebagian kelompok ini juga menghindari penggunaan produk hewani seperti kulit hewan ataupun kosmetik yang mengandung produk hewani.

Alasan Kesehatan
Selain ikut-ikutan, Syahmedi menambahkan, banyaknya informasi buruk mengenai daging dan karbo ikut memicu orang-orang untuk menjadi vegetarian.

Senada, Ratna dari Loving Hut menyebutkan, banyaknya non-vegan yang mampir ke restorannya ikut disponsori oleh alasan kesehatan. Di mana mereka disarankan untuk menjaga kolesterolnya sehingga lebih diarahkan untuk hanya menyantap sayur-sayuran.

“Opsinya kan bukan sekadar makanan vegetarian doang, tapi hidup sehat juga. Kayak kolesterol kan bisa milih-milih makan di sini,” ulas Ratna. 

 Alasan ini pulahlah yang menggerakkan Ming Hua, pelanggan Warung Vegetarian, untuk terus menyantap makanan non-hewani di warung tersebut. Perempuan ini mengakui sedang belajar menjadi vegetarian, guna hidup yang lebih sehat. 

“Bagus juga ada ini. Jadi lebih sehat. Dan enggak makan daging juga jadi enggak kena karma,” kata Ming Hua kepada Validnews, Sabtu (8/6).

Manfaat menjadi seorang vegetarian sejatinya sudah dirasakan Handi sebagai pemilik Warung Vegetarian. Paling tampak, dampak positif tersebut terlihat dari kulit Handi yang sudah berumur 54 tahun, tapi masih terlihat segar, hanya sedikit keriput.

Manfaat tersebut menurutnya disebabkan ia banyak mengonsumsi sayur berklorofil tinggi. Di mana konsumsi tersebut membuat sel-sel baru lebih mudah tercipta di tubuhnya sehingga menghindarkannya dari kesan “tua”.

“Jadi karena kita vegan dan sehat, buktinya anak saya yang sulung lulus cum laude. Yang bungsu ikut ngegym dan badannya jadi, tanpa suntikan steroid. Dia di tempat fitness dipanggil vegan boy,” pamer pria ini. 

Hanya saja, mujarab untuk kesehatan nyatanya tidak serta-merta membuat pilihan menjadi vegan dipandang aman oleh ahli gizi MRCCC Siloam Hospital Semanggi Agnes Riyanti Inge Permadhi. Menurutnya, memilih menjadi vegan akan diikuti oleh bayangan kekurangan gizi apabila masukan makanannya tidak tepat.

Namun, perempuan yang dipanggil Dokter Inge ini mengatakan, persoalan tersebut tetap ada ada solusinya. Para vegetarian bisa melengkapi asupan protein hewani dengan kacang-kacangan dan biji-bijian. Sejauh ini, ia menyebut banyak vegetarian yang sudah mengetahui hal tersebut dan resto vegetarian sudah menyediakan menu dengan asupan gizi yang lengkap.

“Jadi vegetarian sih saya tidak menganjurkan, saya menganjurkan menjalani gaya hidup sehat. Tapi, memilih gaya hidup sehat jadi vegetarian itu juga bukan sesuatu yang salah,” ucapnya.

Senada dengan Dokter Inge, ahli gizi Rumah Sakit Medistra, Dokter Cindiawati menekankan, pentingnya suplemen vitamin B12 kepada para vegan, vitamin yang hanya ada di protein hewani.

“Yang vegetarian pun perlu mempertimbangkan asupan suplemen yang mungkin dibutuhkan supaya jangan terjadi defisiensi (kekurangan gizi pada tubuh),” ucap Dokter Cindi kepada Validnews, Kamis (13/06).

Selain B12, zat-zat yang perlu diperhatikan oleh para vegan adalah zat besi, seng, vitamin D, omega 3, dan kalsium. Kepada para vegan, dokter ini menyarankan untuk memakan makanan yang bergizi lengkap dan seimbang dengan kebutuhan tubuh. Para vegan lanjutnya, juga perlu berkonsultasi ke dokter spesialis gizi klinik sebagai pengecekan gizi. (Agil Kurniadi, Bernadette Aderi, Zsazya Seniorita, Fin Harini, Teodora Nirmala Fau)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar