c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

19 Februari 2019

21:25 WIB

Melihat dari Dekat Kawasan Berikat

Total ekspor KB-KITE pada 2017 mencapai Rp780,81 triliun, dengan nilai impor Rp325,7 triliun. Dari total itu, konstribusi ekspor KB sendiri mencapai Rp634,1 triliun atau 81,21%

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Melihat dari Dekat Kawasan Berikat
Melihat dari Dekat Kawasan Berikat
Sejumlah petugas beraktivitas di salah satu Pusat Logistik Berikat (PLB) di Indonesia di Kawasan Industri Krida Bahari, Cakung, Jakarta Utara, Kamis (10/3). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf

JAKARTA –  Mimpi berdikari lewat produk buatan sendiri sudah lama jadi asa negeri yang dilimpahi sumber daya alam ini. Mimpi ini salah satunya secara gamblang dituangkan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Indonesia 1983. Maksudnya agar negeri ini tak melulu bergantung pada kekayaan migas yang terbatas jumlahnya. Kebijakan pemerintah pun lalu dirancang demi memancing geliat industri dalam negeri memproduksi berbagai produk yang mampu bersaing di pasar global.

Salah satunya, dengan pemberian insentif yang digelontorkan dalam bungkus kawasan ekslusif bernama kawasan berikat (KB). Dalam kawasan ini, lalu lintas dagang diyakini kian efisien lantaran barang impor atau barang yang didatangkan dari Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL) ditangguhkan kewajiban perpajakannya. Asalkan, produk yang dihasilkan industri yang menikmati fasilitas ini berorientasi ekspor.  

Penangguhan kewajiban perpajakan tersebut lumayan lengkap. Pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat menyebutkan bahan baku dan bahan penolong impor tak dikenai bea masuk, cukai dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor (PDRI).  

Juga, adanya pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), tidak dipungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor, diberikan atas pemasukan barang dari Kawasan Bebas yang akan diolah lebih lanjut dan/atau digabungkan dengan hasil produksi di Kawasan Berikat.

“Kenapa kita memberikan insentif itu? Karena supaya investor itu tertarik. Kita dapat apa dari situ Indonesia? Pasti dapat dari investasi ya,” kata Kepala Humas Ditjen Bea dan Cukai, Deni Surjantoro, kepada Validnews, di Kantor Bea Cukai Pusat, Jakarta, Jumat (15/2).

Dongkrak Ekspor
Walau terbilang program lawas, aturan terkait kawasan itu juga diperbaharui demi terus menggenjot ekspor nasional. Terbaru, November tahun 2018 lalu rebranding kawasan berikat dicanangkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.04/2018.

Melalui aturan ini proses perizinan kian cepat. Semula diperlukan waktu hingga 15 hari kerja di kantor pabean. Belum lagi ditambah 10 hari kerja di Kantor Pusat Bea Cukai. Kini, dengan aturan baru itu, perizinan bisa beres dalam waktu 3 hari kerja di kantor pabean dan 1 jam di kantor wilayah.

Berbagai kemudahan yang diberikan diharapkan bisa jadi stimulus industri melakukan ekspor. Sebab meski bertumbuh, ekspor nonmigas nyatanya belum mampu menopang neraca dagang Indonesia pada 2018. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia sepanjang Januari–Desember mencapai US$180,06 miliar, tumbuh 6,65% dibandingkan 2017. Namun, ekspor ini nyatanya belum mampu mengungguli laju impor. Di periode yang sama, impor Indonesia tercatat sebesar US$188,62 miliar atau melonjak 20,15% dibandingkan 2017. Akibatnya, defisit tercetak sebesar US$8,56 miliar.

Bahkan, ekspor Januari 2019 justru bergerak negatif. Pada bulan tersebut, ekspor mencapai US$13,87 miliar, turun 3,24% dibandingkan bulan sebelumnya. Di mana ekspor nonmigas tumbuh tipis 0,38% ke angka US$12,63 miliar.

Kontribusi KB nyatanya cukup besar. Sama-sama mendapatkan fasilitas perpajakan dengan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), nyatanya sumbangan KB lebih besar terhadap total ekspor nasional. Dari total fasilitas fiskal yang diberikan pun 97%-nya mengalir ke KB.

Dari survei DJBC dengan University Network for Indonesia Export Development (Unied) yang dipublikasikan Senin (18/2), tercatat keduanya menopang 34% total ekspor nasional 2017. Meski demikian, angka ini lebih rendah dibandingkan kontribusi ekspor keduanya pada tahun sebelumnya yang menyumbang 37,76% ekspor nasional. Sementara terhadap total ekspor sektor industri nasional, keduanya menyumbang sebesar 46%.

Total ekspor KB-KITE pada 2017 mencapai Rp780,81 triliun, dengan nilai impor Rp325,7 triliun. Dari total itu, kontribusi ekspor KB sendiri mencapai Rp634,1 triliun atau 81,21%. Tercatat tiga industri dengan kontribusi terbesar dalam fasilitas KB adalah industri makanan dan minuman (Rp258,99 triliun) tekstil/pakaian/benang (119,04 triliun), dan elektronik (Rp80,42 triliun).

Importir terbesar dari ketiga sektor tersebut adalah industri elektronik dengan total impor Rp75,03 triliun. Disusul industri tekstil dengan nilai impor mencapai Rp74,02 triliun.

Pengolahan kembali oleh industri elektronik dalam negeri ternyata juga mampu memberikan nilai tambah terbesar terhadap PDB, yaitu Rp89.55 triliun. Nilainya setara dengan 35,95% total nilai tambah seluruh industri dalam fasilitas KB yang mencapai Rp249,07 triliun di tahun 2017.

Sementara dari serapan tenaga kerjanya, beragam industri dalam fasilitas KB tercatat mampu menyerap tenaga kerja lokal hingga 1,55 juta jiwa. Serapan terbesar dilakukan oleh industri tekstil/pakaian/benang (46,34%), elektronik (23,08%), dan barang dari logam (6,71%).

Menurut Kepala Unied, Arif Satria, hasil survei itu pada dasarnya menunjukkan bagaimana setiap industri KB memiliki kontribusi yang berbeda-beda terhadap beragam aspek perekonomian.

Tak hanya itu, keberadaan KB juga dinilai secara tidak langsung mendorong aktivitas ekonomi di daerah lain di sekitarnya. Tahun 2017 lalu, aktivitas ekonomi industri dalam fasilitas KB dikatakan telah mendorong pertumbuhan 218 ribu usaha. Mulai dari usaha perdagangan, akomodasi, makanan, hingga transportasi. Padahal total industri dalam fasilitas KB tercatat kurang lebih hanya mencapai 1,6 ribu saja.

Jawasentris
Diakui Menteri Keuangan, Sri Mulyani di Jakarta, Senin (18/2) penyehatan neraca pembayaran nasional masih jadi pekerjaan rumah bersama. Salah satunya adalah dengan mendorong kinerja ekspor dan investasi. Sebab, dari trennya pertumbuhan ekonomi nasional, umumnya berkembang linier dengan peningkatan permintaan impor. Oleh karena itu, ia mengharapkan kerja sama semua pihak demi memperbaiki daya saing produk Indonesia di pasar internasional.

“Dalam kompetisi internasional ini hanya mereka yang produktif, kompetitif, dan reliable dari sisi produksinya yang dapat bertahan,” tutur dia.

Ia tak ambil soal dengan pendapatan pajak KB yang tidak jauh dengan nilai fasilitas fiskal yang diberikan. Baginya, nilai ekonomi keseluruhan lah yang lebih penting. Dilihat dari kontribusi terhadap ekspor yang di atas 30%, terdapat investasi, kesempatan kerja, hingga dampak simultannya bagi kegiatan ekonomi di sekitarnya. Mengacu pada angkanya, penerimaan pajak pusat dari KB hanya sebesar Rp77,78 triliun, yang 88,02% nya berasal dari industri elektronik. Selisih Rp22,45 triliun saja dari total nilai investasi yang digelontorkan pemerintah tahun 2017.

Yang jadi soal baginya, adalah masih tersentralnya industri pulau Jawa. Menurutnya jika orientasinya ekspor, kawasan industri seharusnya tak berada jauh dari batas negara tetangga. Namun yang terjadi adalah dari 1.244 perusahaan dengan fasilitas KB, 90% nya berada di wilayah Jawa, utamanya Jawa Barat dengan 581 perusahaan.

Sementara di Sumatra yang berdekatan dengan Singapura atau Sulawesi yang lebih dekat dengan China, masing-masing hanya memiliki 84 dan 19 perusahaan berfasilitas KB. Kondisi ini pun tak mengherankan baginya karena dengan infrastruktur yang lebih baik, Pulau Jawa dinilai lebih tinggi daya saingnya dibanding pulau-pulau lain.

“Seharusnya kita sudah bisa memiliki vision untuk Sumatera. Dengan proxy-nya (kedekatan wilayah.red) dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand harusnya dia bisa jadi tempat yang kompetitif. Karena bahan bakunya di sana, orang-orangnya juga cukup tinggi populasinya,” tutur dia.

Ancam Kabur
Ke depannya Menteri Keuangan ingin fasilitas KB dapat mengubah mindset pengusaha. Sebab dengan penurunan tarif, sebenarnya pasar domestik tak ubahnya dengan pasar ekspor. Sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia pun menurutnya memiliki modal pasar domestik yang besar. Maka seharusnya pasar domestik Indonesia bisa lebih kompetitif jika bersaing dengan produk global. Masalahnya, daya saing industri di hulu maupun di hilir di Indonesia belum kompetitif sehingga harus bergantung pada bahan baku impor.  

“Fakta bahwa kita masih mengimpor banyak berarti pengusaha kita di dalam negeri di pasar kita sendiri pun dia tidak kompetitif. Inikan berarti samar. Kalau kita bisa tembus pasar yang lain, kenapa kita di dalam negeri kita masih tidak bisa kompetitif?” kata dia.

Kalahnya daya saing industri nasional menurutnya jadi alasan kuat yang mendorong investor untuk keluar dari Indonesia. Terlebih jika fasilitas fiskal seperti KB ditiadakan. Hal ini pun tercermin dalam survei DJBC di mana 36% perusahaan berniat pindah ke negara lain jika fasilitas KB ini dihapuskan. Bahkan 54,3% menyatakan akan memilih Vietnam sebagai negara yang akan dituju nantinya.

Untuk itu, dalam rangka memperbaiki fasilitas Menteri Keuangan berharap adanya peningkatan performa sistem digital dalam pelayanan kepabeanan ini. Sebab masih dalam survei kontribusi KB, 21,88% responden industri menghendaki adanya perbaikan dalam sistem aplikasi Customs-Excise Information System and Automation (CEISA), atau sistem pelayanan dan pengawasan yang diawasi langsung oleh Pusat Informasi dan Teknologi Dirjen Bea Cukai. Juga, Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), dan Pertukaran Data Elektronik (PDE). Sementara 27,59% mengharapkan perbaikan dalam kecepatan birokrasi.

“Ini adalah dua faktor yang sangat penting dan dapat dikontrol oleh kita (bea dan cukai.red). Jadi tidak ada alasan untuk bea dan cukai untuk tidak memperbaiki kedua hal ini,” tegasnya.

Ia berharap dua indikator itu tahun depan dapat nihil persentasenya karena perbaikan yang telah dilakukan pemerintah setelah ini.  

Mengakui manfaat yang dinikmati dunia usaha, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi Sanny Iskandar menyebutkan fasilitas KB bisa membantu industri berkompetisi dengan produk dari negara lain. Aturan ini menurutnya merupakan salah satu peran pemerintah melindungi produk dalam negeri.

Itu dinilai wajar dilakukan karena hal yang serupa pun turut dilakukan negara lain. Namun terkait banyaknya kawasan ekonomi yang kini digagas pemerintah, pengkajian akan maksud dari kebijakan itu menurutnya perlu dilakukan.

“Kita mesti lihat dulu ya, dengan tujuan berbeda otomatis perlakuannya juga berbeda. Jika sekiranya apa yang diharapkan dan menjadi tujuannya itu sama atau mungkin mirip ya tidak ada salahnya juga untuk digabung,” ujar Sanny ketika dihubungi Validnews, Rabu (13/2).

Sementara itu, Pengamat ekonomi Indef Ahmad Heri Firdaus pun menilai sistem IT masih jadi kendala dalam tata kelola fasilitas kawasan KB saat ini. Padahal menurutnya dengan sistem yang lebih canggih, pelanggaran hukum dalam KB juga bisa diminimalkan jumlahnya. Tapi hal ini, kata dia pun harus dilakukan secara terintegrasi, sebab KB dapat lebih optimal diawasi jika semua lembaga terkait dapat turun tangan, seperti Kementerian Perhubungan misalnya.

Perketat Pengawasan
Terkait pelanggaran hukum KB, Deni Surjantoro menyebutkan pengawasan berlapis sebenarnya telah diaplikasikan oleh pihaknya. IT inventory secara online adalah sistem yang disiapkan untuk membantu proses administrasi dan dokumentasi hilir mudik perdagangan di kawasan. Bahkan secara visual, keberadaan CCTV pun digunakan untuk memastikan kondisi barang yang masuk maupun keluar.

“Kalau ada anomali baru kita lakukan investigasi. Ujung-ujungnya penindakan. Kontrolnya ketat nih, walaupun kita memberikan insentif tetapi tetap kita kontrol,” tegasnya.

Menurutnya, kelonggaran yang sudah diberikan bukan berarti berbagai pelanggaran bisa dibiarkan. Terlebih mengingat besaran kewajiban perpajakan yang ditangguhkan dari fasilitas KB tak kecil. Berdasarkan survei yang dilakukan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) dengan Unied, besarnya hanya selisih Rp5,57 triliun saja dari anggaran kesehatan pada 2017, atau tepatnya sebesar Rp55,33 Triliun. Namun, besaran ini juga mencakup KITE.

Masalahnya, dalam tiga tahun terakhir ratusan pelanggaran telah ditindak oleh DJBC tiap tahunnya. Terbesar tahun 2017, dari total 234 penindakan nilai kerugian yang dialami negara ditaksir mencapai Rp209,09 miliar. Angka ini naik tujuh kali lipat dari kerugian tahun 2016 yang sebesar Rp33,15 miliar dari total 182 penindakan.

Kepada Validnews, Senin (18/2) Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan penindakan yang dilakukan pihaknya bukan hanya pelanggaran kelas teri. Seperti ketidaklengkapan administrasi, misalnya. Ditemukan juga pelanggaran yang paling ekstrem hingga tergolong nekat mengeluarkan barang tanpa seizin bea cukai.   

Atas berbagai indikasi pelanggaran dalam KB, pihak Bea dan Cukai mengklaim telah melengkapi aturan rebranding KB dengan prosedur yang mumpuni. Pengetatan aturan dilakukan sejak awal proses pengajuan perusahaan untuk mendapatkan fasilitas KB. Perusahaan diwajibkan terlebih dahulu memberikan penjelasan terkait kegiatan produksinya pada pihak bea dan cukai.

“Yang mempresentasikan juga langsung top management. Sehingga kita (Ditjen Bea dan Cukai.red) bisa yakin yang disampaikan di situ, salah satunya adalah alur proses produksinya. Dari mulai bahan baku sampai bahan jadi,” terang Kasi Evaluasi dan Harmonisasi Kebijakan Fasilitas Tempat Penimbunan Berikat, Budi Kristanto kepada Validnews di kantor Bea dan Cukai Pusat Jakarta, Jumat (15/2)

Sebab dari persyaratannya, industri harus memiliki proses pengolahan kembali bahan baku yang impor. Dengan demikian, produk yang diekspor sudah memiliki nilai tambah.

Diakui Budi, proses peningkatan nilai tambah oleh industri ini ada yang masih sangat sederhana. Namun menurutnya, industri tidak akan ambil risiko hanya melakukan penimbunan bahan baku impor mengingat besarnya investasi yang telah mereka keluarkan.

Sebagai pengawas, Budi juga menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan penindakan tegas ketika menemukan pelanggaran di lapangan. Sanksi bertahap siap diberikan berdasarkan tingkat pelanggaran hingga ancaman penutupan usaha.

Menurut Heru Pambudi, ketika diketahui industri belum memenuhi kuota ekspor yang ditentukan pihaknya akan terlebih dahulu memberikan teguran. Jika teguran itu tidak ditanggapi serius, sanksi kemudian dilayangkan.

Pada tahun berikutnya industri akan mendapatkan pengurangan jatah penjualan di pasar lokal. Lantas  jika sampai pada tahun kedua kejadian yang sama masih berulang, industri tersebut diwajibkan melakukan ekspor sepenuhnya terlebih dahulu tanpa melakukan perdagangan dalam negeri.

Sebagai informasi, hingga 50% hasil produksi boleh dipasarkan di domestik. (Bernadette Aderi, Teodora Nirmala Fau, Sanya Dinda, Monica Balqis)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar