21 Maret 2019
20:48 WIB
JAKARTA – Menyandang predikat negeri maritim dengan luas perairan mencapai dua pertiga dari total luas nusantara, nyatanya tidak membuat transportasi laut berjaya. Lebih tepatnya, sudah mulai tidak berdaya dan terabaikan karena perkembangan moda transportasi lain.
Makin murahnya tiket pesawat, misalnya, membuat kapal laut tak lagi menjadi andalan utama bagi masyarakat untuk berpindah ke satu pulau ke pulau lain. Tentu, menyeberang kini bisa lebih cepat dengan burung besi.
Mulai tergantikannya kapal-kapal di Samudra Indonesia dengan burung-burung besi yang dikelola banyak maskapai, sebenarnya mulai terasa ketika memasuki awal milenium baru. Sebelumnya, transportasi laut, baik barang maupun penumpang, tetap diminati sekalipun penerbangan berjadwal mulai ada.
Untuk diketahui, bisnis pelayaran profesional yang memanfaatkan luas laut Indonesia seluas 7,81 juta kilometer, sudah muncul pada kisaran tahun 1890. Kala itu, berdiri perusahaan Belanda yang mengurusi bisnis pelayaran di nusantara dengan nama Koninkelijitke Paketvaart Maattscappi (KPM).
Bisnis pelayaran di Indonesia pun kian berjaya pasca Indonesia merdeka. Terlebih ketika PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) terbentuk pada pertengahan tahun 1952. Kemampuannya mengantar antarpulau dengan biaya yang relatif terjangkau, membuat moda transportasi ini menjadi primadona.
Hadirnya pesawat-pesawat komersial pada kisaran tahun 1960 pun belum mampu menggerus padatnya kapal laut dengan penumpang. Kala itu, orang-orang yang menggunakan burung besi untuk sarana transportasi biasanya hanya untuk kepentingan kedinasan. Di luar itu, seperti untuk urusan pribadi atau berwisata, hanya dilakukan segelintir kecil orang.
“Transportasi udara tuh, di tahun 1970-an penggunanya masih banyak untuk kedinasan, orang-orang kayak liburan dan itu jumlahnya masih terbatas sekali,” ujar Pengamat Penerbangan, Gerry Soejatman, saat dihubungi Validnews, awal Maret ini.
Tak Lagi Primadona
Berjayanya kapal laut dan sepinya peminat transportasi udara masih terus berlangsung sampai awal tahun 2000-an. Gerry mengatakan pasca Orde Baru, ada kebijakan deregulasi penerbangan yang membuat munculnya banyak maskapai penerbangan.
Sebut saja, Indonesia AirAsia, sebuah ekspansi usaha dari maskapai Malaysia pada tahun 1999. Kemudian Lion Air pada tahun yang sama, Kalstar Aviation pada tahun 2000, Batavia Air (2002), Adam Air (2003), hingga Sriwijaya Air dan Wing Air pada tahun yang sama.
Banyaknya pertumbuhan maskapai-maskapai swasta ini kemudian membuat persaingan antarperusahaan penerbangan semakin ketat. Dari sinilah muncul adanya penerbangan berbiaya murah atau LCC.
Dari sinilah, masyarakat mulai berbondong-bondong mulai menjajal transportasi udara. Maklum saja, dengan konsep berbiaya murah, godaan menjajal menumpang pesawat sulit ditolak.
Pengamat transportasi Unika Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno pun mengamini, kehadiran layanan LCC sukses mengubah kebiasaan orang untuk menjadi gemar menggunakan transportasi udara. Alhasil, terjadi perpindahan yang cukup deras dalam transportasi laut ke layanan burung besi.
“Peralihan penumpang terjadi ketika era tarif tiket pesawat murah,” ujarnya kepada Validnews, Kamis (21/3).
Senada, Ketua Umum Indonesian National Shipowner’s Association (INSA) Carmelita Hartoto mengakui, peningkatan penumpang pesawat di Indonesia memang nyata dirasakan ketika penerbangan LCC mulai ramai di nusantara. Dikarenakan pada masa itulah, harga tiket menjadi dapat dijangkau masyarakat berbagai kalangan.
“Jumlah penumpang memang mengalami penurunan sejak ada LCC karena memang pesawat lebih cepat,” ujarnya dalam pesan WhatsApp yang diterima Validnews, Selasa (19/3).
Direktur The National Maritime Institute Siswanto Rusdi mengungkapkan, saat ini kondisi transportasi laut menjadi kian ironis. Transportasi laut sekarang hanya menjadi alternatif ketiga setelah transportasi udara dan transportasi darat. Hanya kawasan timur Indonesia yang masih memfavoritkan jenis moda transportasi menggunakan kapal untuk keperluan bepergian atau mengantar barang.
“Kalau di kawasan 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), transportasi laut masih menjadi primadona, tapi tidak untuk di Pulau Jawa,” katanya kepada Validnews, akhir Februari kemarin.
Momentum Balik
Memasuki tahun 2019, harga tiket penerbangan domestik mengalami peningkatan. Sempat turun sebentar, napas lega masyarakat mesti tertahan lantaran penurunan itu kemudian malah diikuti oleh kebijakan bagasi berbayar.
Tak hanya masyarakat, para pelaku usaha jasa pengiriman pun terkena imbas, meski bukan karena kebijakan bagasi berbayar. Mereka mesti rela merogoh kocek lebih dalam untuk biaya kargo yang juga terkerek naik.
Tarif Surat Muatan Udara (SMU) maskapai Garuda, misalnya, mulai naik sejak Oktober 2018 sampai Januari 2019 lalu. Akumulasi nilai kenaikan tarif SMU Garuda yang terkecil ditaksir sebesar 70%. Sementara itu, yang tertinggi menempuh 350%.
Kenaikan tarif tiket penumpang dan kargo burung besi itu menjadi momentum balik bagi angkutan laut untuk kembali berjaya di negeri maritim. Masyarakat mulai kembali melirik moda transportasi lain.
Masyarakat yang harus pergi ke suatu tempat di pulau seberang, lebih rela menempuh waktu lebih lama dengan menggunakan kapal demi mengurangi pengeluaran. Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, misalnya, jumlah penumpang kapal di Pelabuhan Trisakti dikabarkan meningkat cukup signifikan sejak awal Januari 2019.
Menurut Superintenden Operasional Pelabuhan Trisakti Masruni, jumlah penumpang kapal biasanya tidak lebih dari sepuluh orang per hari. Kapal bahkan kerap hanya ditumpangi oleh truk dan angkutan barang.
“Kenaikan jumlah penumpang ini, sebagian besar dipengaruhi oleh kenaikan harga tiket pesawat dan dikenakannya biaya bagasi pesawat,” katanya seperti dilansir Antara, Selasa (12/3) lalu.
Kembali diliriknya transportasi laut diamini oleh Djoko Setijowarno. Ia melihat ini sebagai imbas dari naiknya harga tiket pesawat yang terlalu tinggi secara tiba-tiba.
“Ya (masyarakat) kembali ke laut karena tiket pesawat ini harganya enggak bakal turun lagi,” katanya dalam sambungan telepon dengan Validnews, Minggu (17/3).

Tidak hanya penumpang orang, perusahaan jasa pengiriman juga mengalihkan sebagian pengiriman melalui jalur laut. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo), Mohamad Feriadi mengungkapkan, itu dilakukan sebagai salah satu upaya menekan biaya operasional. Namun, langkah ini diambil selama tidak melanggar kesepakatan waktu pengiriman yang telah dijanjikan kepada konsumen.
“Karena (pengiriman) via udara, dari segi biaya, tidak lagi seperti sebelumnya. Kan kita tentu mencari cara-cara pengiriman dengan biaya yang lebih terjangkau,” ujarnya kepada Validnews, Senin (18/3).
Penurunan penggunaan transportasi udara, baik untuk penumpang maupun kargo tampak jelas dalam data Badan Pusat Statistik (BPS). Setidaknya pada Januari 2019 saja, jumlah penumpang domestik transportasi udara anjlok 12,55% dibandingkan periode yang sama tahun 2018.
Pada tahun 2019, jumlah penumpang domestik lewat udara hanya menyentuh 6,6 juta penumpang. Padahal pada tahun 2018, jumlah penumpang pesawat domestik sukses menyentuh 7,61 juta.
Pada saat yang sama, penumpang angkutan laut dalam negeri justru mengalami peningkatan. Masih tipis memang, dibandingkan Januari 2018, terjadi kenaikan sebesar 1,31%.
Untuk diketahui, pada Januari 2019 jumlah penumpang domestik yang menggunakan kapal sebagai moda transportasinya mencapai 1,73 juta orang. Sementara itu pada Januari 2018, jumlahnya tercatat lebih sedikit, yakni 1,70 juta orang.
Belum Signifikan
Meskipun mulai beralih, Feriadi melanjutkan, pengiriman kargo lewat udara tetap menjadi prioritas bagi Asperindo. Khususnya terkait pengiriman barang antar pulau. Menurutnya, pengiriman dengan menggunakan transportasi laut tak dijadikan prioritas lantaran membutuhkan waktu yang relatif lama.
“Karena kan kapal waktu tunggunya, waktu layarnya, biasanya bisa lebih panjang ketimbang kiriman udara. Enggak sesuai nanti dengan perjanjian dengan pelanggan,” kata pria yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) ini.
Berpendapat serupa, Camelita mengungkapkan, kenaikan tiket maupun tarif kargo pesawat dinilai tidak akan secara signifikan mengerek jumlah penumpang dan barang yang diangkut kapal. Pasalnya, masyarakat maupun perusahaan jasa pengiriman saat ini cenderung mengutamakan kecepatan.
“Mungkin ada peralihan pengguna jasa ke moda angkutan laut, tapi kenaikannya tidak terlalu signifikan,” ucapnya.
Senada, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Abra Talattov, mengatakan, kapal masih belum dijadikan prioritas oleh perusahaan jasa pengiriman. Pasalnya, perusahaan-perusahaan tersebut masih saling berkompetisi berkaitan dengan kecepatan pengiriman barang.
“Jadi sepanjang ada alternatif paling cepat, darat atau udara, akan jadi pertimbangan bagi pengusaha pengiriman barang untuk mendistribusikan lewat laut,” katanya melalui sambungan telepon kepada Validnews, Kamis (21/3).
Pilih Logistik
Meski belum kembali menjadi moda unggulan, Pelni sendiri yakin ke depan dengan segmen pasar yang berbeda dari pesawat, kapal akan tetap digunakan. Pasalnya, barang-barang dengan jumlah besar pada umumnya memang dikirimkan dengan moda transportasi satu ini.
Pelni pun selama ini telah bekerja sama dengan PT Pos Indonesia untuk mengirimkan barang-barang yang lebih tahan lama sehingga pengirimannya tak diburu waktu.
“Biasanya barang yang dikirim menggunakan pesawat itu barang yang tidak tahan lama. Ada sendiri (pasarnya),” kata Komisaris PT Pelni, Raldi Hendro Koestoer, saat ditemui Validnews, Senin (18/3).
Tak ingin berakhir demikian, upaya pengembangan pun coba terus dikerek oleh Pelni. Bahkan perusahaan menyatakan akan mulai mengarahkan bisnis inti Pelni ke sektor jasa pengiriman logistik dan barang. Kapal-kapal yang tadinya hanya mampu mengangkut penumpang pun akan dimodifikasi sedemikian rupa untuk dapat mengangkut barang.
“Ya kita modif. Yang kami angkut hanya barang-barang yang sifatnya sederhana bukan barang sekelas mesin,” ucapnya.
Peralihan fokus ke arah logistik dinilai lebih logis mengingat jumlah penumpang kapal kerap tidak stabil. Meskipun mulai ada sedikit peningkatan, Raldi pesimistis kondisi tersebut dapat bertahan. Ia meyakini penumpang kapal hanya menunggu muntahan dari momen-momen tertentu, seperti kenaikan harga tiket pesawat.
“Sebentar saja, jumlah penumpang kapal langsung kembali normal. Kan begitu Lion Air harganya agak membaik, jumlah penumpang kapal kembali berkurang,” ucapnya.

Terus Menggaet
Realitas akan labilnya pasar penumpang transportasi laut sebenarnya juga disadari banyak pihak. Akan tetapi, upaya untuk terus menggaet penumpang maupun kargo tiada berhenti diupayakan. Salah satunya INSA yang mengakui pihaknya tengah mengembangkan sistem booking dalam jaringan (online) untuk pengiriman barang dengan menggunakan kapal.
“Sistem ini diterapkan untuk memudahkan pengguna jasa dalam mengirimkan barang,” kata Carmelita.
Selain pengembangan teknologi, integrasi dipandang transportasi laut dengan darat juga diperlukan, terutama untuk mempermudah dan mempercepat pengiriman barang. Pasalnya, Abra dari Indef menilai, pengiriman barang melalui laut cenderung memakan waktu lama. Selain menghabiskan waktu yang lama, sesampainya di pelabuhan, barang pun harus menempuh jalan yang tidak selalu mulus untuk betul-betul sampai ke tempat tujuan.
“Mestinya memang ada jaringan yang terintegrasi. Jadi dari pelabuhan ada kereta apinya. Beberapa pelabuhan kan punya titik kemacetan. Itu jadi perhatian juga,” ungkap Abra.
Sementara itu untuk menggaet lebih banyak penumpang, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sendiri sejatinya tengah menggencarkan penggunaan e-ticketing baik untuk kapal perintis maupun kapal PSO (Public Service Obligation). Dengan tiket elektronik tersebut, Kemenhub berharap kesalahan data tidak lagi terjadi. Dengan demikian, target subsidi yang hendak diberikan kepada penumpang tertentu tak salah sasaran.
“Karena kalau masyarakat membeli tiket secara online, kebocoran jumlah penumpang yang harus menerima subsidi, seharusnya semakin kecil,” katanya Kepala Seksi Pelayaran Rakyat Sub Direktorat Lalu Lintas Angkutan Laut Kemenhub, Hasan Sadili, kepada Validnews, Senin (18/3).
Upaya bisa terus dilakukan, namun pada akhirnya masyarakatlah yang memilih. Belum tentu potensi maritim yang menggelimpah di nusantara membuat transportasi yang menggunakan akses laut menjadi terus berjaya.
Bagaimanapun peralihan terus berlangsung jika tak mampu menjawab kebutuhan masyarakat pasti akan tergerus. Soal kebutuhan ini bukan saja soal harga murah, melainkan juga soal kecepatan waktu yang terus mengejar konsumen. (Sanya Dinda, Bernadette Aderi, Shanies Tri Pinasthi, Teodora Nirmala Fau, Zsazya Senorita, Fuad Rizky)