25 Oktober 2017
21:57 WIB
JAKARTA – Bagai buah simalakama, industri rokok di Indonesia sudah sekian lama berkontribusi besar bagi devisa negara. Bagaimana tidak, per tahun ini saja lebih dari Rp150 triliun mampu diraup dari industri berbahan dasar utama tembakau ini.
Namun di sisi lain, ancaman kesehatan mengenai bahaya rokok baik bagi pengguna aktif maupun pengguna pasifnya pun tidak kalah menyeramkan. Berbagai penyakit tak bisa ditampil muncul dari kebiasaan merokok maupun karena terpapar asap lintingan tembakau ini.
Kepada Validnews, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Hasbullah Thabrany mengemukakan, beberapa penyakit yang kerap menjangkiti manusia karena asap dari lintingan tembakau ini. Beberapa di antaranya adalah jantung koroner, kanker, dan penyakit tidak menular (PTM) lainnya.
Ancaman kesehatan tersebutlah yang membuat akademisi yang juga menjabat sebagai Anggota Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau ini merasa kenaikan cukai dengan persentase lebih tinggi perlu diberlakukan. Selain mampu mendukung penambahan penerimaan negara dari sektor industri ini, kenaikan tarif cukai rokok pun dianggap mampu mengendalikan tingkat konsumsi rokok di masyarakat.
Sebagai informasi, berdasarkan data dari Philipp Morris International, penjualan rokok di Indonesia pada tahun 2016 kemarin telah mencapai 315,6 miliar batang per tahun. Angka ini naik 0,56% dari tahun 2015, di mana lintingan tembakau yang terjual berada di angka 314,5 miliar batang per tahun.
Karena itulah, kenaikan cukai rokok ke angka 10,04% yang telah diputuskan per 19 Oktober 2017 kemarin dalam rapat internal kepresidenan di istana negara dianggap tepat oleh Thabrany. Menurutnya, dari segi pendapatan negara, kenaikan cukai tersebut dapat menambah porsi penerimaan hingga ke angka Rp198 triliun.
Sementara itu, berdasarkan kajian Centre for Health Economics and Policy Studies (CHEPS) UI yang berjudul “Menentukan Harga Rokok Ideal”, setiap kenaikan 10% harga rokok—yang salah satunya dipicu tarif cukai—hanya menurunkan konsumsi sebanyak 5,2%.
“Artinya, kenaikan cukai 10% efeknya tidak akan terasa besar, baik itu dari sisi perusahaan maupun konsumen. Jadi, cukai 10,04% itu tidak akan mematikan industri rokok seperti yang digembar-gemborkan,” tuturnya, Rabu (25/10).
Di luar daripada cukai, akademisi ini juga sempat melontarkan usul mengenai pembagian cukai rokok untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini dianggap penting. Pasalnya, meskipun dana yang dialirkan masuk dari cukai ke negara terbilang besar, kerugian biaya kesehatan untuk para pencandu ataupun orang yang terpapar rokok jauh lebih tinggi.
“Kerugian akibat penyakit, seperti jantung koroner, kanker, dan penyakit berbahaya lainnya mencapai 3,5 kali dari nilai cukai. Itulah mengapa pemerintah perlu menaikkan harga rokok. Jika masyarakat lebih sehat, pemerintah kan lebih menghemat anggaran kesehatan warga,” ungkap Tenaga Ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional ini.
Ragam Penyakit
Sebagai informasi, berdasarkan data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pada tahun 2015, terdapat lima PTM yang memakan dana BPJS Kesehatan paling besar. Penyakit-penyakit itu, antara lain penyakit kardiovaskular, seperti jantung koroner, gagal ginjal, kanker, stroke, dan thalassemia. Kesemuanya disebut-sebut sebagai kerugian akibat kepulan asap rokok.
Humas BPJS Nopi Hidayat menyebutkan, anggaran BPJS Kesehatan yang digunakan untuk membiayai klaim pasien penyakit jantung pada 2015 mencapai Rp5,5 triliun untuk rawat inap dan Rp1,1 triliun untuk rawat jalan. Tahun 2016, anggaran yang dikeluarkan total untuk pasien jantung pun meningkat menjadi Rp6,49 triliun.
Sementara, anggaran sebesar Rp1,67 triliun habis untuk penanggulangan pasien gagal ginjal untuk rawat jalan, dan Rp769,5 miliar untuk rawat inap. Angka yang dikeluarkan pada 2016 baik untuk rawat inap dan rawat jalan kemudian memebsar menjadi Rp2,2 triliun.
Tentu dengan biaya sebesar itu, tak hanya negara yang sebenarnya wajib untuk ikut memelihara kesehatan para konsumen rokok. Produsen rokok yang sudah sekian lama menangguk untung jumbo seharusnya juga ikut bertangung jawab.
Mereka bisa ikut menyisihkan “sedikit” keuntungan mereka bagi para konsumennya guna mengatasi masalah kesehatan dan hal-hal lainnya. Toh, karena para perokok itulah mereka bisa mengumpulkan pundi-pundi kekayaannya.
Asal tahu saja, berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga tahun 2016 para industri hasil tembakau ini telah memproduksi 342 miliar batang rokok yang lebih dari 90%-nya telah terjual secara bebas di masyarakat. Angka ini memang sedikit menurunkan dibandingkan produksi tahun sebelumnya di mana produksi rokok mencapai 348,1 miliar batang, tapi tak terlalu signifikan.
Pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Centre (DDTC) Bawono Kristiaji menyebutkan, industri rokok saat ini memang tergolong industri yang sudah dikenai banyak beban. Tidak hanya cukai, perusahaan-perusahaan produsen rokok pun dikenakan pajak yang tidak sedikit, mulai dari pajak penghasilan (PPh), pajak rokok daerah, hingga pajak pertambahan nilai.
Ia menjelaskan, dari harga satu batang rokok, maksimal 57%-nya merupakan cukai yang harus diserahkan kepada negara. Dari sisa nilai tersebut, harus dipotong lagi sebesar 10% dari cukai untuk pajak daerah. Belum lagi ada PPN atas perokok yang dikenakan tarif 9,1% dari harga jual eceran.
“Jadi istilahnya, kalau dilihat komposisinya apakah industri hasil tembakau ini adalah perusahaannya ini banyak dikenakan pungutan, saya bisa bilang iya. Kontribusinya besar terhadap perekonomian, pada penerimaan negara,” ucap peneliti pajak ini.

Sedikit Tapi Besar
Sebagai informasi, data Kementerian Keuangan yang dikompilasi DDTC menyebut, tahun 2016 saja total cukai dan pajak rokok daerah mencapai angka Rp151,7 triliun. Pembagiannya sendiri adalah Rp137,9 triliun berasal dari cukai hasil tembakau dan Rp13,8 triliun lagi
Merupakan pajak daerah. Angka ini sedikit lebih kecil dibandingkan total cukai dan pajak daerah pada tahun 2015 yang secara berturut-turut senilai Rp139,5 triliun dan Rp13,9 triliun.
Ia menyebut, hanya 28,2% dari pendapatan penjualan rokok yang merupakan jatah dari produsen rokok. Jumlah tersebut bahkan masih harus dikurangi lagi dengan pajak penghasilan karyawan dan direksi beserta ongkos produksi secara umum.
Dari persentase itu, terlihat memang industri rokok hanya memegang sedikit sekali keuntungan dari lintingan tembakau yang mereka produksi. Namun jangan salah, dengan hanya mengantongi persentase yang sedikit saja, para taipan rokok sudah bisa bertengger dalam daftar orang terkaya di Indonesia.
Mengambil contoh dari perusahan-perusahaan rokok yang memiliki market share terbesar di Indonesia, seperti Sampoerna dan Gudang Garam; keduanya setidaknya selalu diberkahi untung yang melimpah.
Dengan pangsa pasar sebanyak 35%, Sampoerna setidaknya berhasil mengantongi laba bersih Rp12,76 triliun pada tahun 2016. Angka tersebut meningkat daripada keuntungan di tahun 2015 sebanyak Rp10,36 triliun. Di tahun ini sendiri, keuntungan yang telah diraup produsen rokok raksasa ini sampai kuartal II 2017 telah mencapai Rp6,05 triliun atau berpotesi meningkat dibanding tahun lalu sampai akhir tahun nanti.
Sementara itu, Gudang Garam pada tahun lalu berhasil memperoleh laba bersih setelah pajak sebesar Rp6,67 triliun. Angka ini pun jauh lebih besar dibandingkan untung netto di tahun 2015 senilai Rp6,45 triliun. Hingga kuartal kedua tahun ini, laba produsen rokok dengan pangsa pasar sebesar 23% ini telah mencapai Rp3,12 triliun.
Sama-sama besar, setidaknya inilah yang dapat terlihat dari untung bersih para produsen rokok serta biaya penyakit yang disebabkan oleh rokok. Di satu sisi, hak konsumen atas kesehatannya yang terdampak rokok sebenarnya harus diampu juga oleh para pelaku usaha di industri hasil tembakau ini.

Terganjal Aturan
Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo Siswoyo pun mengamininya. Hanya saja, peran produsen saat ini menurutnya masih terkendala aturan yang mengepung.
“Di aturan itu kan nggak boleh, misalnya ada CSR yang ada ini, ada ini. Memang ada kendala karena aturan kira nggak memperbolehkan seperti itu,” ucapnya kepada Validnews, Rabu (25/10).
Ia menjelaskan, beberapa kontribusi produsen rokok di bidang kesehatan maupun pendidikan—dalam bentuk CSR maupun lainnya—kini tidak diizinkan lagi. Penyebabnya, kesan positif yang nanti diberikan akibat sumbangsih ini dikhawatirkan bisa berpengaruh pada tingkat konsumsi rokok nusantara.
Namun, sebenarnya telah ada niat dari kalangan pelaku industri yang berkolaborasi dengan para konsumen rokok untuk memperjuangkan hak atas kesehatan para perokok ini. Pada intinya juga, sebetulnya para produsen patuh pada regulasi jadi jika ada ketentuan yang mengharuskan mereka memberikan kontribusi tambahan khusus untuk konsumen rokok di bidang kesehatan.
Walaupun demikian, untuk hal ini ia kembali mengingatkan bahwa negara telah mengambil sekitar 70% dari hasil penjualan rokok. Dengan demikian, sudah seharusnya pula negara juga ikut andil mengenai hak-hak kesehatan bagi para konsumen. Hal ini pulalah yang sebenarnya telah disinggung dalam RUU Pertembakauan.
“Sekarang RUU mati suri jadi ya kita lihat saja nanti. Tapi, wacana-wacana ke situ sudah ada. Paling tidak untuk keberpihakan, terutama di sisi kesehatan, sudah ada wacana,” ujarnya.

Sekadar Aturan
Mengenai pembagian hasil pajak rokok untuk kesehatan dan hal lainnya sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Pasal 31 UU tersebut diamanatkan bahwa minimal 50% dari penerimaan pajak rokok provinsi atau kabupaten/kota haruslah digunakan untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
Hanya saja menurut Bawono Kristiaji, kepatuhan terhadap regulasi inilah yang sulit untuk dipantau. Padahal seharusnya dengan pajak daerah yang mencapai 10% dari nilai cukai, setidaknya bisa menambal defisit BPJS Kesehatan yang disebabkan oleh biaya penyakit-penyakit akibat hasil tembakau, yang kini telah berkisar di angka Rp9 triliun.
Sebagai informasi, selain pajak rokok di daerah, cukai pun seharusnya tidak luput disisihkan untuk hak para konsumen. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, 2% dari total nilai cukai yang diterima seharusnya digunakan salah satunya untuk pembinaan lingkungan sosial. Hal tersebut tertuang dalam bulir pasar 66A undang-undang tersebut.
Mengenai keefektifannya yang dinilai masih minim, pengamat pajak ini menyatakan, bukan menjadi alasan untuk melakukan lompatan logika guna menambahkan pungutan baru kepada produsen. Khususnya untuk terkait hak kesehatan konsumen.
Tidak dapat ditampik, memang dampak kesehatan yang diakibatkan dari industri ini sangatlah besar. Namun tidak bisa disangkal pula, selain industri rokok, banyak industri lainnya yang juga bisa merusak kesehatan secara langsung maupun tidak.
“Misalkan rumah makan padang karena mereka bikin kolesterol juga. Kan logikanya begitu. Jadi istilah, kenapa harus industri rokoknya? Saya bukan membela industri rokoknya. Bahwa mereka memproduksi barang yang merusak kesehatan, itu benar. Tapi kita nggak bisa tutupi juga bahwa ada barang-barang lain yang akumulasinya juga bisa merusak kesehatan,” tegas pria yang akrab disapa Aji ini.
Karena itulah, yang mestinya digenjot adalah pengawasan terhadap nilai pajak daerah dan cukai yang khusus dikontribusikan untuk kesehatan maupun lingkungan. Bagaimanapun juga, nilai tersebut tidaklah kecil.
Nilai 50% dari total pungutan pajak rokok daerah pada tahun 2016 setidaknya sebesar Rp6,9 triliun. Angka inilah yang bisa disumbangsihkan langsung kepada para konsumen rokok melalui pelayanan kesehatan maupun penegakan hukum.
Di samping itu, tersedia pula dana 2% dari cukai—atau sekitar Rp27,4 triliun untuk tahun 2016—yang bisa difungsikan untuk pembinaan sosial bagi masyarakat. Tapi, seperti menggantang asap, harapan tersebut menguap begitu saja, tersapu hembusan para perokok yang masih mengisap kuat-kuat lintingan tembakau. (Teodora Nirmala Fau, Rizal)