14 Juli 2020
14:28 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Kementerian Perdagangan optimistis proteksionisme karena pandemi covid-19 tak akan berlangsung lama dan dapat diatasi dengan perjanjian perdagangan.
“Proteksionisme adalah fenomena yang umum ditemui dalam setiap krisis, baik krisis karena faktor ekonomi maupun yang diakibatkan aspek kesehatan seperti pandemi covid-19. Proteksionisme tersebut kemudian berpotensi menimbulkan deglobalisasi,” ujar Wamendag Jerry Sambuaga, dikutip dari Antara, Selasa (14/7).
Wamendag mengatakan, interdependensi antarnegara adalah sebuah keniscayaan, tidak mungkin sebuah negara memenuhi kebutuhannya sendiri secara utuh sendirian. Sebagian bahan baku tak mungkin diproduksi sendiri dan pasti didatangkan dari negara lain.
“Tidak mungkin pula sebuah negara bisa menyediakan kebutuhan-kebutuhan dengan efisien tanpa perdagangan antarnegara. Misalnya, dalam konteks pandemi saat ini untuk penyediaan alat kesehatan, obat, dan vaksin, serta untuk kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya,” jelas Jerry.
Menurut Jerry, proteksionisme menjadi fenomena umum karena setiap negara mengalami tekanan ekonomi yang berat. Jadi sebagai mitigasi, masing-masing negara berusaha memulihkan perekonomian dengan mengutamakan produksi dalam negeri. Namun untuk jangka panjang, kebutuhan membuka diri dengan perdagangan luar negeri akan kembali.
Jerry juga mengatakan semua negara saat ini tergabung dalam berbagai asosiasi atau persatuan antarnegara baik yang khusus perdagangan dan ekonomi maupun kerja sama yang lebih luas, baik dalam kerangka regional, multilateral, maupun global.
“Oleh karena itu, menutup diri secara penuh dari perdagangan luar negeri adalah sesuatu yang tidak mungkin. Bahkan Korea Utara tidak sepenuhnya tertutup dengan perdagangan antarnegara,” ujar Jerry.
Meskipun demikian, Jerry menyadari akan ada perubahan kebijakan dari setiap negara dalam konteks pandemi ini. Pandemi telah berdampak serius pada banyak sektor dan akhirnya akan mempengaruhi struktur ekonomi nasional, regional, dan global.
“Inilah yang harus kita antisipasi dalam konteks perjanjian perdagangan internasional. Sebagai dampak pandemi, bukan hanya metode berundingnya yang disesuaikan, tetapi juga isi atau konten perjanjian akan berubah,” ujarnya.
Karena struktur ekonomi masing-masing negara, dalam konteks regional dan global akan berubah, misalnya pada hubungan Amerika Serikat dan China. Indonesia juga harus mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi.
Antisipasi ini berguna agar proses perundingan perdagangan makin menjadi lebih berimbang dan mempunyai jalan keluar dari kondisi-kondisi yang tidak diinginkan akibat dampak pandemi. Dengan demikian, masing-masing pihak akan memperoleh dan merasakan keadilan.
“Tujuan kita jelas, apapun perundingan dagang Indonesia, dengan negara manapun, harus mencerminkan kepentingan dalam negeri sebagai upaya menyejahterakan rakyat. Kita harus mencermati seluruh butir perundingan agar tujuan itu tercapai,” tegas Jerry.
Untuk itu, Jerry menekankan Kemendag terus menjalin sinergi lintas kementerian dan lembaga. Pada masa mendatang, Jerry berharap sinergi ini terus meningkat, mengingat agenda pembahasan perjanjian perdagangan dan ekonomi Indonesia dengan negara lain masih cukup banyak.
“Kita bersyukur komunikasi dan koordinasi yang dilakukan masing-masing kementerian dan lembaga berjalan dengan baik, begitu juga koordinasi di tingkat menteri koordinator maupun di tingkat kabinet. Sangat bagus sekali. Jadi meskipun agenda kita banyak, kita optimistis bisa menyelesaikannya dengan baik,” pungkas Jerry. (Nadia Kurnia)