17 Oktober 2020
12:10 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Pemerintah dinilai perlu merelaksasi, bahkan menghilangkan hambatan perdagangan pangan yang meliputi ketentuan tarif maupun non-tarif.
Keberadaan hambatan akan memengaruhi minat investor untuk masuk ke pasar Indonesia.
Head of Research Center for Indonesian Policy Studies Felippa Ann Amanta mengatakan, sebagaimana amanat UU Cipta Kerja untuk terus memperkuat kapasitas petani dan pertanian untuk meningkatkan produksi dan produktivitas di tingkat nasional.
"Upaya ini bisa ditempuh lewat pengembangan riset, penyediaan irigasi, transfer teknologi hingga akses KUR," katanya dalam siaran resmi, Jumat.
Adalah hal wajar, jika Indonesia menerapkan hambatan non-tarif atau NTM dalam perdagangan nasionalnya. Hanya saja, pengimplementasian yang ketat pada sektor yang memengaruhi kesejahteraan seperti pangan berpotensi berdampak negatif. Salah satunya adalah pada angka kemiskinan.
Secara khusus, lanjutnya, implementasi berbagai bentuk NTM telah terbukti memengaruhi harga komoditas pangan, khususnya komoditas yang tergolong penting.
Hasil penelitian terbaru CIPS menunjukkan implementasi NTM memengaruhi harga komoditas pangan yang memiliki relevansi tinggi terhadap masyarakat Indonesia, yaitu beras dan daging.
”Akibatnya, harga domestik secara konsisten selalu lebih tinggi daripada harga internasional," ujarnya.
Antara 2015-2018, jumlah kebijakan NTM di Indonesia meningkat hampir 14% dari 169 di 2015 menjadi 192 di 2018. Berbagai kebijakan NTM ini berasal dari 13 lembaga pemerintah berbeda.
Kemendag merupakan kontributor terbesar dalam terbitnya berbagai kebijakan NTM (28,6%), diikuti oleh Kemenperin (27,4%) dan Kementan (19,9%). Kementan bahkan menambahkan kebijakan NTM sebesar 47% antara 2015 dan 2018 dari 132 menjadi 194.
Penilaiannya, fenomena ini sangat merugikan rakyat sebagai konsumen yang seharusnya bisa mengakses komoditas tersebut dengan harga yang lebih terjangkau. Pada akhirnya, tingginya harga memengaruhi besarnya pengeluaran.
Harga makanan dan kemiskinan berkorelasi karena pengeluaran terbesar rumah tangga adalah untuk makanan.
Bank Dunia menyebut, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 48,55% dari pengeluarannya untuk makanan dan minuman. Laporan yang sama juga menyebut, mereka yang menghabiskan uang di bawah US$2,97/kapita per hari membelanjakan 56,21% penghasilannya untuk makanan.
Kondisi ini membuat masyarakat Indonesia, terutama berpenghasilan rendah, sangat rentan terhadap fluktuasi harga pangan.
Pada rumah tangga hampir miskin, hal ini bahkan bisa mendorong mereka ke kemiskinan. "Ketika harga naik, orang-orang yang sudah di ambang kemiskinan dihadapkan pada pilihan untuk menjadi miskin atau kelaparan," katanya.
Indonesia termasuk negara berpenghasilan menengah ke bawah yang sebenarnya sudah berhasil mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya karena pertumbuhan ekonominya.
Berdasarkan data BPS 2019, dalam dua dekade terakhir, tingkat kemiskinan nasional telah berkurang lebih dari setengah dari 24% pada 1998 menjadi 9,2% pada 2019. Artinya, pada 2019, ada 24,7 juta orang tergolong miskin diantara 270 juta penduduk, menurun dari 32,5 juta orang pada 2009.
Walaupun signifikan membaik, lanjut Felippa, penurunan ini tetap gagal mencapai target yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 yang bertujuan untuk menurunkan kemiskinan menjadi antara 7-8% pada 2019.
Selain itu, Bank Dunia juga memperkirakan sekitar 20,19% dari populasi rentan jatuh ke dalam kemiskinan dengan pendapatan mereka sedikit di atas garis kemiskinan nasional.
Turunnya angka kemiskinan menyebabkan kesehatan dan gizi Indonesia juga telah meningkat, tetapi masih ada beberapa bidang yang memprihatinkan.
Berdasarkan data BPS 2019, persentase orang yang mengonsumsi kurang dari 1.400 kilo kalori per hari telah berkurang dari 12,96% pada 2015 menjadi 8,23% pada 2018. Skor Indonesia dalam Indeks Kelaparan Global meningkat dari 24,9 pada 2010 menjadi 20,1 pada 2019.
"Tapi peningkatan ini masih menempatkan Indonesia di dalam kategori tingkat kelaparan yang serius," ujarnya.
Skor Indonesia lebih buruk dari Malaysia (13.1) dan Vietnam (15.3) yang berada dalam tingkat kelaparan sedang serta Thailand (9.2) yang berada pada tingkat kelaparan rendah.
CIPS merekomendasikan kajian menyeluruh terhadap semua NTM lintas kementerian dan lembaga di sektor pangan dan pertanian. Kiranya, ia berharap, ada langkah yang ditempuh untuk untuk melangsingkan regulasi sehingga tidak ada NTM yang tumpang tindih berlebihan.
"Pengurangan hambatan perdagangan NTM, masyarakat bisa menikmati pangan berkualitas dan beragam dengan harga terjangkau," katanya.
Kebijakan Berkeadilan
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Said Abdullah mengatakan, pelonggaran kebijakan tarif dan non-tarif bisa dimaklumi dalam jangka pendek dan darurat seperti dalam masa pandemi. Sebagai langkah penyediaan dan akses pangan semua orang.
Hanya saja, dalam jangka panjang, ia tidak terlalu yakin fenomena itu akan berhasil menstabilkan harga pangan. Apakah impor pangan yang tinggi bakal menjamin kelompok rentan akan semakin banyak akses pangan.
"Realitanya, kelompok ini selama pandemi ada kecenderungan juga terbebani. Beberapa waktu sebelumnya malah importasi pangan tetap tinggi, meski pada saat bersamaan jumlah orang dalam kerawanan pangan juga sama tinggi," ujarnya kepada Validnews, Sabtu (17/10).
Selain itu, ia menilai, importasi yang besar cenderung menekan produsen pangan lokal. Contohnya, isu impor beras 2011-2012 menurunkan harga gabah petani sekitar Rp500–1.000.
Ia membayangkan, lewat kebijakan perdagangan atau FTA saja sudah cukup menekan kegiatan petani di tingkat produsen. Belum lagi, impor pangan yang tinggi juga akan memperumit pola konsumsi pangan nasional yang fokus pada beberapa jenis produk saja.
Contoh terbaiknya adalah pola konsumsi produk turunan gandum yang terus meningkat selama ini. "Pada akhirnya pangan Indonesia yang bervariasi tidak memiliki tempat, diversifikasi pangan menjadi gagal. Apalagi, sampai sekarang kita belum bisa membudidayakan sorgum secara optimal," katanya.
Sementara itu, ketergantungan yang terlampau tinggi juga bisa berbahaya dalam konteks stabilitas nasional.
"Saya kembali ulang, jika negara lain tidak mau mengekspor seperti situasi sekarang bagaimana? Kita kan tidak mungkin memaksa," tegasnya.
Hendaknya, ujar Said, kebijakan pangan seimbang mengakomodasi konsumen dan produsen. Ke depan ia menyarankan, pemerintah perlu mendukung peningkatan kapasitas dan memperbaiki tata produksi tani, penguatan kualitas produk, insentif rantai nilai, hingga penguatan insentif proses ekspor.
Selanjutnya, momen pandemi juga bisa meyakinkan Indonesia sendiri untuk semakin meningkatkan investasi di dalam negeri. Hal ini diyakini bisa memperkuat produk tani domestik dengan keragaman dan potensi yang tersedia. (Khairul Kahfi)