06 Februari 2019
11:05 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Penandatanganan perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) antara pemerintah Indonesia dan Swiss dipandang sebagai langkah maju penegakan hukum pidana perpajakan di Tanah Air. Dengan adanya MLA, berbagai aset hasil tindakan pidana yang disimpan di Swiss yang selama ini tak terjangkau penegakan hukum menjadi terjangkau. Keberanian untuk melakukan penyelidikan menjadi batu ujian berikutnya.
Hal tersebut diungkapkan Pengamat Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analys (CITA) Yustinus Prastowo di Jakarta, Selasa (5/2). Pihaknya mengapresiasi penandatanganan MLA sebagai sebuah langkah maju yang akan bermanfaat bagi kedua negara, terutama bagi Indonesia dalam rangka melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan pidana perpajakan.
“Selama ini sulit dilakukan karena kendala keterbatasan akses dan daya jangkau. MLA ini akan memungkinkan bantuan pelacakan, perampasan, dan pengembalian aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss,” ujarnya.
Tindak pidana perpajakan, lanjutnya, merupakan pintu masuk yang paling mungkin dilakukan. Apalagi mengingat Swiss bukan sebagai 5 besar negara asal harta deklarasi dalam program pengampunan pajak. Lima negara terbesar adalah Singapura, Virgin Islands, Hongkong, Cayman Islands, dan Australia.
“Batu uji berikutnya adalah keberanian untuk melakukan investigasi, termasuk kemungkinan menyentuh elite dan oligarki yang kuat kuasa, yang kemungkinan pernah menikmati kekebalan hukum dan keuntungan luar biasa dari eksistensi suaka pajak dan lemahnya sistem hukum Indonesia,” tandas Yustinus.
Pada program pengampunan pajak pada 2016-2017, lanjut Yustinus, dihasilkan deklarasi harta kurang lebih Rp4.800 triliun, di mana Rp3.800 triliun adalah deklarasi dalam negeri dan Rp1.000 triliun deklarasi luar negeri. Selain itu, terdapat Rp145 triliun hasil repatriasi. Salah satu tujuan tax amnesty memang merepatriasi harta di luar negeri.
“Sementara, menurut Tax Justice Network, setidaknya terdapat sekitar US$331 miliar atau Rp4.600 triliun. Dengan demikian masih terdapat harta senilai sekitar Rp3.500 triliun yang belum diikutsertakan dalam pengampunan pajak. Tentu saja hal ini membutuhkan pendalaman,” katanya.
Ia menyebutkan, memang terdapat kemungkinan lain dari tidak masuknya Swiss dalam daftar lima negara besar asal harta deklarasi. Pasalnya, sejak 2005, pamor Swiss sebagai tax haven terus menurun dari 45% porsi global hingga tinggal 28% pada tahun 2015. Hal ini terjadi karena terungkapnya beberapa skandal penggelapan pajak yang melibatkan perbankan Swiss, selain inisiatif Pemerintah Swiss untuk melonggarkan kerahasiaan dan bekerja sama dengan negara lain. Lokus tax haven kemudian bergeser ke negara-negara di Eropa, Asia, dan Amerika.
Swiss selama ini dikenal sebagai surga bagi para pelaku tindak kejahatan untuk menyembunyikan pundi-pundi hasil kejahatannya. Yustinus, mengutip penelitian Gabriel Zucman (2017), jumlah asset global di offshore/tax havens mencapai 10% PDB global atau US$5,6 triliun atau setara Rp 80 ribu triliun. Sebesar US$2,3 triliun atau Rp 32 ribu triliun disimpan di Swiss.
Secara tradisional Swiss merupakan negara suaka pajak (tax haven) tertua dan paling diminati. Sejak tahun 1924, ketika Perang Dunia memaksa negara-negara menaikkan tarif pajak, tiga kota di Swiss yakni Geneva, Basel, dan Zurich menjadi tujuan penyimpanan dana asing.
“Apakah orang Indonesia yang menempatkan dananya di Swiss telah ikut migrasi sejak 2005, atau punya kepercayaan diri hartanya tidak akan tersentuh sehingga tidak perlu ikut pengampunan pajak,” imbuh Yustinus.
Menurut Yustinus, tindak lanjut untuk menuntaskan berbagai dugaan tindak pidana - baik korupsi, pencucian uang, maupun perpajakan – amat penting untuk memenuhi rasa keadilan publik, termasuk rasa keadilan bagi mereka yang selama ini memilih menjadi warga negara patuh hukum, wajib pajak yang taat. Juga, mereka telah ikut pengampunan pajak. Karenanya, MLA adalah tonggak dan instrumen penting.
Namun, mengingat perlu adanya koordinasi dan sinergi kelembagaan, gugus tugas antara KPK, Polri, Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, dan Ditjen Pajak perlu segera dibentuk.
Di sisi lain, Indonesia telah mengikuti inisiatif global Automatic Exchange of Information (AEOI), yang akan membuka akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dan telah diikuti tidak kurang dari 106 negara. Indonesia juga telah menerbitkan UU No. 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan yang memungkinkan pertukaran informasi domestik dan antarnegara dapat dilaksanakan.
“Karena itu, Pemerintah Indonesia mempunyai alasan yang kuat menandatangani MLA ini dan segera menerapkannya. Selain itu, Yustinus menilai, perlu dilakukan pengujian yang mendalam dan menyeluruh agar diperoleh hasil analisis yang akurat dan dapat dijadikan dasar bagi penegakan hukum,” tandasnya.
Melampaui silang sengkarut politik dan pemanfaatan MLA sekadar sebagai propaganda politik tanpa substansi, Yustinus memandang keberhasilan penandatanganan MLA ini dijadikan dasar penegakan hukum dan pembangunan tata kelola negara yang transparan dan akuntabel. Untuk itu seluruh pihak sudah sepantasnya memberikan dukungan.
Retroaktif
Sebelumnya, dikutip dari Antara, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI, Yasonna Hamonangan Laoly, menandatangani Perjanjian MLA dengan Menteri Kehakiman Swiss, Karin Keller-Sutter di Bern, Swiss, pada Senin (4/2). Penandatanganan ini dilakukan setelah melalui dua kali putaran perundingan yang digelar di Bali dan di Bern.
Pensosbud KBRI Bern mengatakan perjanjian yang terdiri dari 39 pasal ini antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan.
Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangka mendukung proses hukum pidana di negara peminta.
Menteri Yasonna menyatakan perjanjian MLA ini dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan (tax fraud).
"Perjanjian ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya," ujar Yasona.
Atas usulan Indonesia, perjanjian yang ditandatangani tersebut menganut prinsip retroaktif. Prinsip tersebut memungkinkan untuk menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan.
Hal ini sangat penting guna menjangkau kejahatan yang dilakukan sebelum perjanjian ini.
Perjanjian MLA RI-Swiss merupakan perjanjian MLA yang ke 10 yang ditandatangani Pemerintah RI (ASEAN, Australia, Hong Kong, RRC, Korsel, India, Vietnam, UEA, dan Iran), dan bagi Swiss adalah perjanjian MLA yang ke 14 dengan negara non-Eropa. (Fin Harini)