c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

21 Juli 2020

20:07 WIB

Jepang Anggap Harga Produk Hortikultura Indonesia Masih Mahal

Harga produk hortikultura Indonesia lebih mahal 40% dibandingkan harga produk Vietnam dan Thailand

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Jepang Anggap Harga Produk Hortikultura Indonesia Masih Mahal
Jepang Anggap Harga Produk Hortikultura Indonesia Masih Mahal
Buruh tani memindahkan bibit cabai yang sudah siap jual di Dusun Wedani, Desa Badang, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (15/7/2020). Desa setempat dikenal sebagai kampung bibit, karena sebagian besar warganya memiliki usaha penyemaian berbagai jenis tanaman hortikultura yang dijual ke berbagai daerah di Jawa Timur mulai Rp200-Rp300 per biji. ANTARAFOTO/Syaiful Arif

JAKARTA – Importir Jepang menilai produk hortikultura Indonesia masih terlampau mahal dibandingkan produk Vietnam dan Thailand. Beban produksi dan instabilitas volume ekspor masih menjadi tantangan pelaku usaha di dalam negeri.

Presiden Nanyang Trading Katsunari Kasugai mengatakan, beragam produk hortikultura asal Indonesia masih terlampau tinggi 40% dibandingkan Vietnam dan Thailand.

Importir menilai, biaya produksi yang tinggi dan produktivitas komoditas yang rendah menyebabkan komoditas Nusantara kalah bersaing.

“Keadaan tersebut menjadikan produk ekspor Nusantara menjadi lebih mahal dibandingkan negara pesaingnya,” ujarnya dalam webinar bertajuk ‘Market Access Workshop: Horticulture’, Jakarta, Selasa (21/7).

Ia mencontohkan, pihaknya hanya bisa mengimpor produk hortikultura sebanyak satu kontainer dalam rentang waktu dua bulan sekali. Keadaan tersebut jelas tidak bisa memenuhi permintaan konsumen Jepang yang tinggi.

Ke depan, ia merekomendasikan, seluruh pihak dapat bekerja sama untuk mencari jalan keluar untuk menyesuaikan biaya dan volume produksi sehingga meningkatkan daya saing. “Jika kendala tersebut bisa ditekan serendah mungkin, maka saya yakin kinerja ekspor Indonesia bisa meningkat lima kali lipat dibandingkan kondisi sekarang ini,” katanya.

Presidium Agri Watch Dean Novel mengatakan, kondisi tersebut terjadi lantaran bantuan benih yang tidak berkualitas, tata niaga komoditas yang panjang, dan patokan HPP yang tidak seimbang dengan harga agro-input yang bebas di pasar.

Kondisi petani juga tertekan karena kepemilikan lahan yang minim sehingga tidak memenuhi skala ekonomis, hingga tata kelola  budidaya usaha tani secara konvensional inefisien.

Ia menilai, kebijakan pemerintah di bidang pertanian masih parsial dan belum mencakup integrasi antara hulu dan hilir. “Begitu juga dengan BUMN di bidang pertanian yang masih berorientasi proyek, bukan produksi,” katanya kepada Validnews.

Ke depan, ia menyarankan, pemerintah mesti mengambil peran atau membuat kebijakan tentang skema pertanian kluster dengan offtaker. Dengan model seperti itu akan menyebabkan keseimbangan dan integrasi hulu-hilir bisnis pertanian.

Di sisi hulunya dapat dibantu beragam fasilitas pengadaan yang berkualitas. Sementara, hilirnya diberikan insentif agar dapat berproduksi secara efisien dan maksimal.

“Jangan seperti sekarang, pasar bebas dan tidak terkendali,” ujarnya. (Khairul Kahfi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar