04 Juli 2018
19:51 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Masa mudik Lebaran yang baru saja lewat terasa berbeda dengan mudik tahun-tahun sebelumnya. Kemacetan yang biasanya menjadi momok bagi pemudik yang ingin merayakan Lebaran di kampung halaman tak lagi terasa begitu menyiksa tahun ini.
Selain jalan tol yang sudah ada, untuk membantu memperlancar arus mudik kali ini pemerintah membuka beberapa jalan tol fungsional. Ini adalah jalan tol yang belum 100% selesai, namun sudah bisa dilalui kendaraan bermotor saat mudik dan balik dengan membuka ruas satu jalur dua lajur.
Beberapa jalan tol fungsional yang dibuka pada Lebaran kali ini adalah Jalan Tol Batang-Semarang (Ruas Batang-Krapyak), Jalan Tol Solo-Ngawi (Ruas Salatiga-Kartasura), Jalan Tol Ngawi-Kertosono (Ruas Wilangan-Nganjuk), dan Jalan Tol Pandaan-Malang (Ruas Pandaan-Purwodadi).
Tak hanya infrastruktur jalan tol berikut area untuk beristirahat, upaya menjaga arus pemudik agar tetap lancar adalah penyediaan BBM non SPBU di sepanjang jalur mudik. Upaya ini dilakukan demi mengantisipasi pemudik yang terjebak kemacetan dan kesulitan mengakses SPBU untuk mengisi tanki kendaraannya.
Demi mendekatkan BBM dengan penggunanya ini, Pertamina menyediakan layanan meliputi KiosK Pertamax yang menjual BBM kemasan, Motor pembawa BBM kemasan dan Mobile Dispenser atau Tangki BBM yang dilengkapi dengan dispenser sehingga bisa langsung melayani penjualan BBM.
Untuk armada ini akan beroperasi apabila kondisi di lapangan menunjukkan kondisi darurat serta kejadian kemacetan panjang. Tak kurang ada 200 armada BBM motor yang beroperasi di sepanjang Cikampek, Cipali hingga Jawa Timur.
Langkah perusahaan minyak pelat merah ini dinilai positif oleh pengamat transportasi.
“Selama ini, saya juga ikut arus mudik kemarin ya. Ya memang di beberapa itu (BBM kemasan-red) disediain, di rest area. Di rest-rest area temporary atau darurat dilengkapi semua, nggak masalah. Itu semua jalan. Tidak ada kekurangan,” ujar pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno saat dihubungi Validnews, Senin (2/7).
Pertamina memang menjadi garda terdepan urusan penyediaan bahan bakar ini. BUMN yang akrab dengan tagline “mulai dari angka nol” ini memang memiliki tanggung jawab penyediaan bahan bakar di seluruh nusantara, tak hanya di masa mudik Lebaran.
Penyediaan BBM oleh negara lewat BUMN sebagai perpanjangan tangannya lantaran komoditas yang satu ini memiliki peran strategis, baik bagi sektor transportasi maupun industri.
Kebutuhan masyarakat akan BBM pun terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang lalu lalang di jalanan dan pertumbuhan industri.
Dari data Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas tahun 2017, diketahui penggunaan Jenis BBM Umum (JBU) seperti Premium Edisi Jawa Madura dan Bali dan Perta Series (Pertalite, Pertamax, Pertamax Plus dan Pertamax Turbo) sebesar 55,4 juta kiloliter (kl).
Lalu, konsumsi Jenis BBM Tertentu (JBT) seperti minyak tanah dan solar sebesar 15,03 juta kl sementara penggunaan Jenis BBM Penugasan Khusus (JBKP) seperti penjualan Premium di luar pulau Jawa, Madura dan Bali sebesar 7,04 juta kl.
Totalnya konsumsi BBM pada tahun ini menjadi 77,47 juta kl atau tumbuh 5,31% dibandingkan tahun sebelumnya.
Di 2016, konsumsi BBM semua jenis mencapai 73,56 juta kl. Masih dari data BHP Migas, jumlah ini meliputi JBU mencapai 48,65 juta liter. Sedangkan JBT 14,28 juta kl dan JBKP sebanyak 10,62 juta kl.
Selain mendistribusikan BBM, Pertamina juga memiliki tugas untuk mendistribusikan bahan bakar elpiji untuk keperluan rumah tangga dan industri.
Hulu Energi
Selain berkiprah di sisi hilir, Pertamina memiliki peran di sisi hulu migas lewat anak usaha bernama PT Pertamina Hulu Energi (PHE).
PHE sendiri dibentuk oleh Pertamina pada 1 Januari 2008 berdasarkan UU no 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang disahkan pada 23 November 2001. Berdasarkan regulasi tersebut, PHE secara resmi ditugaskan untuk bertindak selaku strategic operating arm Pertamina melalui berbagai kerja sama dengan pihak ketiga di dalam maupun luar negeri lewat berbagai skema kerja sama.
Termasuk dalam skema kerja sama ini adalah JOB-PCS (Joint Operating Body – Production Sharing Contract), JOA – PSC (Joint Operating Agreement – Production Sharing Contract), PI/ PPI (Participating Interest/ Pertamina Participating Interest) dan Partnership.
Hingga akhir 2017, PHE memiliki 53 anak perusahaan di dalam negeri dan 6 di luar negeri. Anak-anak perusahaan ini mengelola 53 wilayah kerja (WK) di dalam negeri dan 2 WK di luar negeri.
Rinciannya, terdapat 8 WK dengan skema kerja sama JOB. Lalu, sebanyak 20 WK di mana PHE bertindak sebagai operator dan 23 WK non operator. Lalu, 2 WK di luar negeri.
Dari seluruh lapangan, total produksi PHE mencapai 30.029,46 ribu barel minyak. Jumlah ini meningkat 31.09% ketimbang produksi tahun sebelumnya sebesar 22.907,14 ribu barel minyak.
Sejak Hindia Belanda
Menilik ke masa lalu, sebenarnya kegiatan eksplorasi hingga produksi minyak sudah dilakukan sejak masa lalu. Ralph Beals dalam jurnal bertajuk Trade and Structural Change in Pacific Asia (1987) menyebutkan kegiatan eksplorasi minyak bahkan sudah dilakukan sebelum tahun 1900. Tepatnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing, seperti Stanvac, Shell dan Caltex di Indonesia atau pada saat itu masih disebut Hindia Belanda.
Eksplorasi hingga eksploitasi minyak bumi nusantara makin ramai dilakukan oleh perusahaan asing setelah pemerintah Hindia Belanda menerbitkan peraturan yang bernama Indische Mijnwet pada 1899. Beleid ini mengatur kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan oleh swasta Belanda.
Di bawah beleid ini, kontrak kerja sama antara pemerintah dan swasta Belanda adalah dalam bentuk konsesi. Para kontraktor/perusahaan asing diberi kewenangan penuh untuk bertindak sebagai operator yang bertanggungjawab penuh terhadap operasi pertambangan, memiliki minyak dan gas bumi yang dihasilkan, serta memiliki sebagian besar aset terkait termasuk hak atas tanah di permukaan.
Di lain sisi, pemilik ladang minyak yakni negara hanya mendapatkan royalti sebesar 4% dari produksi kotor, pajak penghasilan, pajak tanah, dan bonus-bonus tertentu.
Aturan ini tetap berlaku untuk mengatur pengelolaan pertambangan migas di tanah air hingga lima belas tahun setelah Indonesia meraih kemerdekaan.
Minimnya hasil yang bisa dinikmati pemerintah tentu saja sangat merugikan. Namun, keterbatasan pengetahuan mengenai pertambangan minyak pada saat itu membuat aturan ini tetap dianut.
Pengamat Energi, Umar Said saat wawancaranya kepada Validnews, Senin (2/6) menyebutkan tentang sistem konsesi ini sangat membatasi campur tangan pemerintah.
“Jadi pemerintah enggak boleh campur tangan. Dia mau ngebor pakai bor dari AS, dari Belanda, dari mana terserah dia, pemerintah tidak campur tangan, ini konsesi. Perusahaan berkuasa penuh atas operasi. Pemerintah paling-paling cuman mengurus keselamatan kerja dan penerimaan royalti,” paparnya.
Di bawah beleid Indische Minjwet ini, eksplorasi dan eksploitasi minyak di nusantara menuai hasil yang cukup besar. Di 1911, disebutkan Hindia Belanda sukses memproduksi 13 juta barel per tahun atau setara dengan 3,4% produksi dunia. Di awal 1940, Hindia Belanda bahkan sukses memproduksi 61,5 juta barel per tahun. Setengah dari produksi minyak tahun itu diekspor ke luar dan menjadi penyumbang 20,6% total ekspor pada masa itu.
Kejayaan produksi ini tak berlangsung lama lantaran pergerakan industri minyak di Hindia Belanda terganggu pecahnya Perang Dunia ke II. Meski begitu, kondisi ini menjadi berkah buat Indonesia. Pejuang-pejuang Indonesia pun mulai melakukan pengambilalihan sumber-sumber minyak peninggalan Belanda di berbagai daerah semenjak merdeka di tahun 1945.
Lewat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 juga pemerintah Indonesia mencoba menyudahi peraturan yang dibuat Belanda di tahun 1899 silam. Ini mengacu pada bunyi pasal 33 bahwa kekayaan Indonesia adalah milik negara dan diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Minyak dan gas bumi merupakan SDA strategis yang tidak terbarukan, karena itu sepenuhnya harus dikuasai oleh negara.
Menurut Satria Permana dalam tesisnya berjudul “Badai di Tengah Oil Boom: Krisis Manjamen Keuangan Pertamina Tahun 1974-1975” (2012), pemerintah RI kemudian membentuk Perusahaan Tambang Minyak Nasional Rakyat Indonesia (PTMNRI) untuk mengelola industri minyak agar tetap berjalan.
Beberapa perusahaan lain juga berdiri setelahnya di tahun 1946 seperti Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI) yang merupakan bekas perusahaan Stanvac di Talang Akar dan juga Perusahaan Tambang Minyak Negara (PTMN) di Cepu.
Walau sudah mulai menguasai industri minyak-minyak di daerah-daerah pun tidak membuat Indonesia bebas seutuhnya dari negara asing. Belanda dan sekutunya masih mampir ke Indonesia dari tahun 1945-1949 dengan alasan Aksi Polisionil atau Agresi Militer. Tujuan mereka sederhana yakni menguasai semua sumber daya alam Indonesia, tidak terkecuali minyak. Perusahaan-perusahaan yang tadinya sudah diupayakan dinasionalisasi harus kembali ke pemilik awal.
Pejuang-pejuang Indonesia yang tidak terima dengan hal tersebut mulai menghancurkan kilang-kilang minyak dan lahan-lahannya. Industri minyak di Indonesia praktis lumpuh di era itu. Kebanyakan kilang minyak rusak parah dan sulit untuk diakses karena belum seimbangnya kondisi politik nasional pada saat itu.
Adanya ketegangan antara Indonesia dan juga Belanda membuat mereka sepakat untuk menggelar Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Hasilnya kurang begitu baik karena Indonesia hanya diakui kedaulatannya oleh Belanda. Sementara untuk hak pengelolaan sumur-sumur minyak milik perusahaan-perusahaan minyak seperti BPM, Caltex, Stanvac, Shell tidak diberikan kepada Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat).
Regulasi Bentrok
Dari situ, Pemerintah RI pun mulai sadar atas potensi minyak di Indonesia. Mereka mencoba memanfaatkan ladang-ladang minyak tua di Indonesia dan mulai ada upaya lagi untuk menasionalisasikan lagi perusahaan-perusahaan minyak asing di Indonesia.
Seperti contohnya kasus PTMN yang sempat vakum karena gerak-geriknya diganggu oleh Belanda dan sekutu. Di tahun 1951, PTMN dihidupkan kembali oleh pemerintah RI dan diubah namanya menjadi PN Permigan (Perusahaan Minyak dan Gas Negara). Perusahaan ini hanya mengelola tambang minyak tua berumur 30-40 tahun dengan peralatan seadanya. Produksinya pun sangat kecil, rata-rata 800 barel per hari.
Tahun 1954 sama seperti kasus PTMN, Pemerintah RI mengambil alih PTMNRI dan mengubah namanya jadi PTMSU (Perusahaan Tambang Minyak Sumatera Utara). Alat-alatnya masih sederhana dan juga ladang-ladang minyaknya berantakan. Masih banyak belum jelasnya status kilang-kilang minyak di Indonesia membuat para pegawai PTMSU melakukan mosi kepada pemerintah RI agar proses nasionalisasi kilang minyak di Indonesia bisa diperjelas.
Untuk menjawab mosi tersebut, pemerintah lewat KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat), Jenderal Abdul Harris Nasution, selaku penguasa perang pusat (Pepera) menunjuk Kolonel dr. Ibnu Sutowo untuk membentuk struktur organisasi yang jelas di PTMSU di tanggal 22 Juli 1957. Di 15 Oktober 1957 PTMSU berubah namanya menjadi PT. ETMSU (Perseroan Terbatas Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara).
Jenderal Nasution kurang menyukai nama itu. Pasalnya, nama tersebut kurang melambangkan nasionalisme. Ia menginginkan sebuah nama yang menunjukkan kalau minyak yang diolah dan didapatkan adalah milik nasional.
Ibnu pun mengiyakan perintah tersebut dan membentuk embrio awal dari apa yang menjadi Pertamina di hari ini pada 10 Desember 1957. Nama PT. Permina (Perusahaan Minyak Nasional) pun disematkan pada entitas baru tersebut. Berdirinya PT. Permina juga tercatat di Keputusan Menteri Kehakiman RI no. JA.5/32/11 tertanggal 3 April 1958.
Ibnu memiliki keinginan untuk meningkatkan produksi minyak dari PT. Permina. Dia lalu melakukan manuver dengan menghubungi Harrold Hutton, seorang pengusaha asal Amerika Serikat. Hutton didampingi rekannya Gohier mengunjungi Pangkalan Minyak Brandan milik PT. PERMINA. Walau prihatin melihat kondisi pangkalan minyak tersebut, berkat upaya tim Ibnu meyakinkan Hutton, kesepakatan kerja sama pun diraih.
Selama empat bulan bekerja sama, PT. Permina menuai hasil positif. Mereka mulai melakukan pemuatan minyak mentah hasil produksi pertambangan pertama ke dalam kapal Shozui Maru sebanyak 13.400 barel atau sekitar 1.700 ton senilai US$30.000.Kegiatan ekspor juga dilakukan oleh Permina dengan mengekspor minyak ke Jepang tanggal 24 Mei 1958.
Sayangnya belum standar regulasi yang jelas mengatur mengenai kegiatan jual beli dan ekspor impor menjadikan adanya konflik kepentingan di sini. Di satu sisi Belanda masih menaruh pengaruhnya lewat regulasi Indische Mijnwet 1899 sementara Indonesia memiliki pasal 33 di UUD 1945 ayat nomor 2 dan ayat nomor 3. Hal ini membuat kegiatan jual beli tersendat dan mulai ada klaim permintaan keuntungan dari perusahaan asing mengenai penjualan yang dilakukan oleh PT. Permina.
”Nah, tahun 1960 ini ada perubahan. Ada orang namanya Teuku Moh Hasan dari Aceh. Dia bilang sama Bung Karno, ‘Bung ini tidak benar, kalau kita pakai ini tidak benar.’ Lalu, ditanya balik oleh Bung Karno dimana enggak benarnya,” kata Umar.
Teuku Moh Hasan lantas menjelaskan bahwa dengan konsesi berarti memberikan tanah pada orang lain. Karena itu ide dasar konsesi bertentangan dengan UUD 1945 yang mengatakan bumi dan air dan kekayaan alam milik negara.
“Jadi enggak boleh lagi sistem konsesi karena ini dikasihkan lalu mereka yang kuasa. Jadi ayo dicari sistem baru,” lanjut Umar menirukan Teuku Moh Hasan.
Dari pemikiran ini, lahirlah UU No. 44 Tahun 1960. Berlandaskan undang-undang tersebut, model kontrak karya, atau contract of work pun mewujud. Melalui skema ini kontraktor hanya diberi kuasa untuk menambang. Minyak dan gas bumi yang dihasilkan bukan milik kontraktor. Mereka pun tidak punya hak atas tanah permukaan. Kontraktor menjalankan manajemen operasi dengan sistem profit sharing dengan Pemerintah.
Hukum yang mengatur industri minyak dari era penjajahan Belanda juga resmi tidak berlaku semenjak peraturan ini efektif diberlakukan. Perusahaan asing juga harus merubah nama mereka untuk melepas hubungan mereka dengan pertambangan minyak asing misal PT. Caltex Pacific Indonesia (Caltex), PT. Stanvac Indonesia (Stanvac) dan PT. Shell Indonesia (Royal Dutch Shell).
Agoes Sapto Rahardjo dalam buku Industri LNG & Evolusinya Di Indonesia (2015) menjelaskan, sistem kontrak karya ini hanya bertahan 3 tahun sebelum digantikan oleh Production Sharing Contract (PSC) yang dicetuskan Ibnu Sutowo. Sistem PSC sendiri tidak membagi keuntungan seperti kontrak-kontrak terdahulu. Melainkan membagi hasil minyak bumi dan gas yang sudah digali dari sumur-sumur minyak. Dengan persentase 65% untuk Permina dan sisanya untuk kontraktor. Kontrak PSC ini sendiri masih dipakai sampai saat ini.
Awal Pertamina
Permina menjadi yang terdepan dalam industri minyak di tahun-tahun ini dikarenakan hubungan mereka yang dekat dengan militer. Mereka juga bahkan mendapatkan pinjaman dari salah satu perusahaan konsorsium dari Jepang sebesar US$53 Juta di April 1960. Orang yang menghubungkan mereka dengan investor Jepang juga merupakan bekas intelijen dari Laksamana Tadashi Maeda yang dahulu membantu Indonesia meraih kemerdekaannya.
Di tahun yang sama, PT Permina berubah status menjadi Perusahaan Negara (atau Badan Usaha Milik Negara, sekarang disingkat BUMN) dengan nama PN. Permina. Indonesia juga mendapatkan kehormatan di tahun 1962 untuk masuk OPEC (Organization of The Petroleum Exporting Countries) karena aktif menjadi pengekspor minyak di dunia.
Selain PN. Permina, ada perusahaan minyak lain yang beroperasi di Indonesia. Shell dan Hindia Belanda dulu memiliki kesepakatan dengan membentuk NIAM (Nederlandsche Indische Aardoil Maatschappij) yang beroperasi sejak Juli 1931 dan berakhir di 1958. Pengoperasian NIAM berada di Jambi dan Kalimantan Timur.
Tahun 1958, NIAM resmi diambil alih pemerintah RI dan diubah namanya menjadi PT Permindo (Perusahaan Minyak Nasional Indonesia). Setengah dari sahamnya yang tadinya dimiliki Hindia Belanda diubah menjadi milik Indonesia sehingga Shell berkewajiban untuk membantu Indonesia untuk melakukan produksi. Di 1961 mereka mengubah namanya menjadi PN. Permindo.
Sementara itu Permigan jalan bisnisnya kurang begitu stabil. SDM yang belum cukup dan pengelolaannya masih berantakan membuat produksi hanya 800 barel per hari. Prihatin dengan hal tersebut, di 12 Oktober 1965, Pemerintah melebur Permigan agar bergabung dengan PN. Permina. Sementara PN. Permindo diubah namanya di tahun yang samanya menjadi PN. Pertamin.
Orde Baru, Wajah Baru
Isu PKI membuat lanskap politik dan ekonomi Indonesia bergoyang lagi. Presiden Soekarno pun lengser dan digantikan oleh Presiden Soeharto di tanggal 12 Maret 1967. Soeharto pun langsung merombak beberapa sektor dan tidak ketinggalan juga sektor minyak dirombak.
Seperti salah satunya peraturan baru yang muncul dari Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan terkait dengan sektor pertambangan. Di antaranya mengatur tentang perlunya menggali potensi yang ada di alam dan diolah untuk menjadi kekuatan ekonomi riil.
UU No. 11 tahun 1967 juga lahir atas regulasi dari permintaan Soeharto. Alasan pembentukannya sederhana yakni untuk memperkuat Pasal 33 UUD 1945 di mana negara berhak menguasai semua sumber daya alam sepenuh-penuhnya untuk kepentingan negara dan kemakmuran rakyat.
Adanya penggolongan bahan-bahan galian dalam golongan strategis dan juga vital. Perusahaan swasta/nasional/asing hanya dapat bertindak sebagai kontraktor dari negara/Perusahaan negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Soeharto juga membuat tim yang berisikan ekonom-ekonom didikan Amerika Serikat atau yang lebih dikenal dengan “Berkeley Mafia” untuk mendesain program rehabilitasi ekonomi nasional. Dalam jangka pendek mereka diminta untuk mengendalikan inflasi dengan mengambil pendekatan balanced budget, membuka diri terhadap investasi dan mencari pinjaman untuk membantu finansial daerah. Tim ini sukses membuat rata-rata pertumbuhan GDP nasional sebesar 7%.
Sektor minyak juga terkena dampak positifnya. Di tanggal 20 Agustus 1968 menjadi tanggal bersejarah untuk industri minyak di Indonesia karena PN. Pertamin dan PN. Permina dilebur menjadi satu sehingga melahirkan PN. Pertamina (Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional).
Hal ini dilakukan pemerintah Indonesia untuk menyudahi politik yang mempengaruhi industri minyak semenjak deklarasi kemerdekaan 1945 silam. Langkah awal yang dilakukan mereka adalah membeli aset-aset yang pernah diolah oleh perusahaan asing seperti Caltex dan Stanvac.
Di periode 1968-1969, terjadi pertumbuhan produksi minyak bumi sebesar 15%. Eksplorasi lepas pantai perdana juga dilakukan Laut Jawa oleh Sinclair Exploration Company. Di 1970, Pertamina menandatangani kontrak PSC dengan perusahaan independen Indonesia American Oil Company (IIAPCO) yang membahas masalah ladang minyak di laut Jawa.
Pemerintah juga terus memperkokoh eksistensi Pertamina muda pada saat itu dengan menerbitkan UU No. 8 pada 1971. Peraturan ini menempatkan Pertamina sebagai perusahaan minyak dan gas bumi milik negara.
Berdasarkan UU ini, semua perusahaan minyak yang hendak menjalankan usaha di Indonesia wajib bekerja sama dengan Pertamina. Karena itu, Pertamina memainkan peran ganda yakni sebagai regulator bagi mitra yang menjalin kerja sama melalui mekanisme Kontrak Kerja Sama (KKS) di wilayah kerja (WK) Pertamina. Sementara di sisi lain, Pertamina juga bertindak sebagai operator karena juga menggarap sendiri sebagian wilayah kerjanya.
Sayangnya dari berita-berita positif tersebut, Direktur Utama Pertamina saat itu, Ibnu Sutowo harus terganjal isu korupsi di dalam internal Pertamina. Isu pertama muncul di November 1969 di harian Indonesia Raya.
Isu korupsi tersebut muncul lantaran ekspansi-ekspansi usaha Pertamina dinilai tidak tepat sasaran. Lembaga pengaudit bahkan tidak bisa mengaudit Pertamina juga dari sejak jaman bernama Permina. Sosok Ibnu Sutowo yang dari awal berdiri menjadi Direktur Utama ini pun juga tidak bisa disentuh oleh lembaga keuangan karena didukung pemerintah. Aktifis dan mahasiswa pun turun ke jalan meminta kejelasan.
Walau ditimpa isu negatif, kegiatan produksi dan ekspor Pertamina masih berjalan terus. Dari data BPS di tahun 1970, Indonesia sukses mengekspor minyak dan gas sebesar US$446 juta, menyumbang 40% dari total ekspor. Nilainya meningkat di 1971 menjadi sebesar US$478 Juta atau menyumbang 39% dari total ekspor.
Lalu, 1972 nilai ekspor mencapai US$913 juta dan memberikan kontribusi 51% terhadap total ekspor. Nilai ekspor melonjak menjadi US$1.609 juta di tahun berikutnya atau setara dengan 50% dari total ekspor.
Kenaikan nilai ekspor di tahun 1973 ini juga tidak lepas dari dampak perang yang terjadi antara Arab dan juga Israel. OPEC selaku regulator minyak bumi di dunia menerapkan embargo dan melarang ekspor ke negara-negara tertentu seperti Amerika Serikat.
Krisis minyak di seluruh dunia ini membuat Indonesia diuntungkan karena harga minyak naik dan Indonesia mendapatkan keuntungan yang cukup signifikan di situ. Fenomena ini dinamakan Oil Boom. (Mahatma Dania Putra, Shanies Tri Pinasthi, Fin Harini)