19 Oktober 2020
19:44 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Industri kimia merupakan salah satu sektor yang aktivitasnya tidak terhindarkan dari berbagai bentuk risiko. Oleh karena itu, dalam upaya meminimalkan kerugian bagi perusahaan, diperlukan langkah pencegahan dan penanggulangan bahaya.
“Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, disebutkan bahwa perusahaan industri wajib menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, serta pengangkutan atau transportasi,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian, Doddy Rahadi dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Senin (19/10).
Regulasi lainnya tertuang pada Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia.
Inpres tersebut memberi kewenangan kepada Kementerian Perindustrian untuk meningkatkan surveilans kewaspadaan, deteksi potensi risiko, dan respons cepat penanggulangan keadaan darurat bahan kimia berbahaya bersumber dari berbagai industri kimia.
“Penegakan aturan tersebut ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Menteri Perindustrian No. 19 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Keadaan Darurat Bahan Kimia dalam Kegiatan Usaha Industri Kimia,” ujar Doddy.
Beleid itu mewajibkan industri kimia untuk melakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan keadaan darurat bahan kimia melalui identifikasi risiko bahaya pada industri. Serta penyusunan dokumen-dokumen prosedur keadaan darurat bahan kimia.
Menurut Doddy, sebagai tindak lanjut dari regulasi yang telah diberlakukan, Balai Besar Kimia dan Kemasan atau BBKK mendapat tugas terkait pengelolaan bahan kimia di industri dan pengelolaan bahan kimia yang tepat berdasarkan sifat bahayanya.
“Selain itu, BBKK juga berpartisipasi dalam penanganan bahan kimia berbahaya melalui kegiatan-kegiatan standarisasi, pengujian, konsultasi, pelatihan serta sertifikasi untuk produk-produk kimia berbahaya tersebut,” papar dia.
Doddy menambahkan, pengelolaan bahan kimia berbahaya sebagai upaya keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan lingkungan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan merupakan aspek yang sangat penting dan perlu mendapatkan perhatian.
Dia berharap dengan menerapkan sistem manajemen pengelolaan bahan kimia berbahaya sesuai ketentuan yang berlaku, pemakaian, penanganan, maupun penyimpanan bahan kimia berbahaya tersebut dapat terkontrol atau terkendali dan tertelusur.
Upaya itu dinilai membawa keselamatan dan kesehatan kerja yang terjaga, serta lingkungan menjadi terlindungi.
“Dapat disimpulkan bahwa manajemen pengelolaan bahan kimia berbahaya memerlukan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian,” ujar Doddy.
Oleh karena itu, lanjut dia, industri nasional harus mampu bersaing dan siap menghadapi tantangan atau isu-isu global. Menjaga keamanan, kesehatan, dan keselamatan kerja merupakan salah satu upaya selain untuk menunjang performa industri juga untuk meningkatkan daya saing industri nasional di kancah global.
“Bahan kimia dapat membahayakan makhluk hidup dan lingkungan jika tidak dikelola dengan baik, tetapi di lain sisi tanpa bahan kimia maka kehidupan kita tidak berjalan dengan segala kemudahan dan kemajuannya seperti yang terjadi saat ini,” ucap Doddy.
Hasil pantauan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2019 kepada 399 perusahaan, menunjukkan total timbulan limbah B3 mencapai 53,54 juta ton.
Tak hanya itu, terjadi juga peningkatan luasan lahan terkontaminasi limbah B3 yang cukup signifikan selama kurun waktu lima tahun, mulai dari 2015 sampai 2019.
Pada 2015, luasan lahan terkontaminasi limbah B3 sebesar 211.359,2 meter persegi (m2), dengan jumlah tonase yang harus dipulihkan sebesar 501.470,4 ton.
Kemudian, pada 2019, luasan lahan terkontaminasi limbah B3 menjadi 840.024,85 m2, dengan jumlah tonase yang harus dipulihkan sebesar 890.316,44 ton. (Rheza Alfian)