13 Agustus 2020
16:18 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Pemerintah diharapkan menyiapkan langkah strategis untuk memitigasi beragam tantangan proteksionisme perdagangan di tingkat dunia. Penerapan proteksionisme di dalam negeri berpotensi menjadi pemberat ekosistem perdagangan domestik.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Konsijungan mengatakan, saat ini fenomena proteksionisme perdagangan dunia semakin marak terjadi. Hal tersebut ditandai dengan pemberlakuan tarif kepada mitra dagang, kewajiban lisensi impor serta hambatan teknis.
“Seperti perjanjian Sanitari dan Fitosanitari atau SPS measure yang sering membuat produk kita sulit dipasarkan di negara lain. Proteksionisme jelas berkontribusi terhadap disrupsi global,” katanya dalam seminar daring ‘Mendorong Peningkatan Kinerja Ekspor Lewat Kebijakan Perdagangan Bebas’, Jakarta, Kamis (13/8).
Berdasarkan data UNCTAD, per April 2020, terlihat pergerakan ekspor-impor yang cukup signifikan terjadi di dunia. Secara keseluruhan, pergerakan ekspor dan impor dunia masing-masing turun kisaran 14–40% dan 14–30%.
Hanya kinerja ekspor-impor kawasan Asia Tengah, Asia Timur dan Pasifik yang hanya terkoreksi minimal masing-masing di kisaran 0–4% dan 2–9%.
Kondisi kurang menguntungkan tersebut bisa diantisipasi dengan menerapkan kebijakan liberalisasi atau pembebasan perdagangan di dalam negeri. Pemberlakuan kebebasan perdagangan antar negara dapat dengan memungkinkan arus komoditas dapat keluar-masuk satu negara dan kawasan tanpa hambatan yang berarti.
Liberalisasi perdagangan, ujar dia, dapat berdampak positif terhadap inovasi pelaku usaha untuk menciptakan produk agar bisa diterima di pasar dunia. Selain itu, hal ini juga penting untuk memastikan ketersediaan komoditas penting dalam masa pandemi.
“Misalnya komoditas pangan, obat-obatan serta peralatan medis, serta bahan baku dari industri,” ujar Pingkan.
Pihaknya mencontohkan, upaya Kemenperin dalam menyubstitusi bahan baku impor sebanyak 35% pada 2022 juga perlu diamati dan diimbangi dengan kebijakan strategis di tengah peningkatan proteksionisme dunia. Meskipun, secara keseluruhan, Indonesia memang perlu terus memantau dan mengimbangi neraca perdagangannya.
“Namun, jangan sampai proteksionisme dagang menimbulkan dampak negatif yang kembali menyerang diri kita sendiri,” katanya.
BPS mencatat, neraca perdagangan Indonesia mengalami peningkatan kinerja pada Juni 2020 ditunjukkan nilai ekspor yang naik 15,09% (mom) menjadi US$12,03 miliar dan nilai impor yang naik 27,56% (mom) menjadi US$10,76 miliar. Jadi, neraca perdagangan tercatat surplus sebesar US$1,27 miliar.
Ke depan, CIPS merekomendasikan kepada pemerintah untuk meninggalkan kebijakan proteksionisme dan memastikan kelancaran perdagangan dengan mengeliminasi hambatan tarif serta non-tarif. Sementara itu, pemerintah dapat mempercepat realisasi dan negosiasi perjanjian perdagangan dengan negara lain.
Indonesia tercatat masih bernegosiasi untuk delapan perjanjian perdagangan. Salah satunya dengan Uni Eropa dan telah mengidentifikasi 15 potensi perjanjian perdagangan bebas lainnya. “
Perjanjian semacam ini penting karena dapat meningkatkan arus investasi, membuka pasar ekspor, mengurangi hambatan perdagangan antarnegara baik yang berupa pengurangan tarif serta pengurangan hambatan non-tarif,” ujarnya.
Selain itu, langkah strategis untuk optimalisasi manfaat untuk mendorong ekspor perlu dilakukan dengan meningkatkan kualitas produk, branding, sistem logistik, sistem pembayaran, business matching dan ketersediaan bahan baku.
Ia optimistis, beragam perjanjian atau FTA dapat berdamapak positif apabila diimbangi dengan sosialisasi dan pendampingan produk oleh pemerintah sehingga mampu meningkatkan daya saing produk lokal. “Intinya ada sinergi antara pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat,” katanya.
Berdasarkan data World Bank Global Economic Prospect 2020 perlambatan ekonomi akibat perang dagang dan pandemi Covid-19 telah mengakibatkan kontraksi hingga -13,4% untuk semester pertama 2020.
Pada tahun lalu, pertumbuhan perdagangan global tertahan di level 0,8% akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Tahun 2021 diharapkan dapat menjadi momentum perbaikan pertumbuhan perdagangan global dengan proyeksi di angka 5,3%.
Kasubdit Agro Direktur Pengembangan Produk Ekspor Kemendag Mila Kamila mengatakan, saat ini perundingan dagang Indonesia akan sulit rampung dalam waktu dekat. Hal ini disebabkan banyak negara pelaku perjanjian yang akan mengutamakan fokusnya untuk pemulihan ekonomi dalam negerinya masing-masing.
Tentu, ujar dia, tantangan lain adalah meningkatkan perjanjian dagang yang sudah diratifikasi.”FTA yang sudah ada di ASEAN dengan implementasi ASEAN plus, IA- CEPA sudah berlaku, IEU-CEPA masih on going, dan RCEP belum selesai,” ujarnya.
Sementara, pemerintah juga berupaya untuk meningkatkan daya saing produk UMKM lewat inovasi dengan memperkuat riset dan pengembangan. Langkah diversifikasi produk juga sedang digalakkan pemerintah.
“Di Bandung ada perusahaan yang semula ekspor tekstil sekarang berubah ke masker dan APD,” katanya. (Khairul Kahfi)