c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

05 Desember 2019

09:11 WIB

Indonesia Menang Sengketa Kertas di WTO

Semenjak pengenaan kebijakan Masuk Anti-Dumping oleh Australia, ekspor kertas Indonesia tercatat turun dari US$34 juta pada 2016 menjadi US$12 juta pada 2018

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Indonesia Menang Sengketa Kertas di WTO
Indonesia Menang Sengketa Kertas di WTO
Sejumlah pekerja beraktivitas di bagian konverting kertas di pabrik PT Indah Kiat Pulp & Paper di Perawang Kabupaten Siak, Riau, Kamis (2/6). ANTARAFOTO/FB Anggoro.

JAKARTA – Panel Sengketa di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) memenangkan gugatan Indonesia atas Australia yang mengenakan kebijakan Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk produk A4 Copy Paper asal Indonesia (DS529). Kemenangan ini diharapkan menangkal tuduhan dumping yang kerap dialamatkan pada produk kertas nusantara.

“Kemenangan atas sengketa ini sangat penting, mengingat dampak sistemiknya terhadap tuduhan dumping dari negara lain. Diharapkan putusan dan rekomendasi Panel ini dapat meminimalisasi tuduhan serupa ke depannya,” ujar Menteri Perdagangan Agus Suparmanto melalui siaran pers, Kamis (5/12).

Agus menyebutkan keputusan tersebut tertuang dalam laporan akhir kasus sengketa pengenaan BMAD untuk produk A4 Copy Paper asal Indonesia yang diterbitkan WTO kemarin, Rabu (4/12). Sengketa Indonesia dan Australia telah berlangsung sejak 1 September 2017.

WTO menyatakan kebijakan Australia mengenakan BMAD terhadap produk A4 Copy Paper asal Indonesia tersebut melanggar Pasal 2.2 dan 2.2.1.1 perjanjian anti-dumping WTO.

Terkait pasal 2.2, Australia telah mengkonstruksi nilai normal produsen kertas foto kopi A4 Indonesia tanpa terlebih dahulu menguji apakah harga penjualan domestik dapat dibandingkan secara layak dengan harga penjualan ekspor.

Sementara terkait pasal 2.2.1.1, Australia menolak memakai data pembukuan aktual produsen walaupun data dimaksud sudah memenuhi persyaratan GAAP (Generally Accepted Accounting Principles) dan secara masuk akal telah merefleksikan biaya sehubungan dengan produksi.

“Kalimat pertama Pasal 2.2 ketentuan anti-dumping WTO, karena Australia tidak mempunyai dasar untuk menggunakan harga ekspor pulp dari Brazil dan Amerika Selatan ke China dan Korea. Kedua, tidak mengeluarkan profit dari acuan harga pulp yang digunakan,” jelas Agus.

Sedangkan, terkait gugatan Pemerintah Indonesia terhadap temuan adanya Particular Market Situation (PMS) di industri kertas Indonesia oleh Otoritas Australia, Panel memutuskan temuan tersebut belum dapat dibuktikan melanggar Pasal 2.2 Perjanjian Anti-Dumping WTO.

Meskipun demikian, Panel memutuskan, terlepas ada atau tidaknya PMS, Otoritas Penyelidikan tetap harus melakukan “proper comparison” antara harga domestik dan harga ekspor dalam menentukan nilai normal sebagaimana dipersyaratkan Pasal 2.2 Perjanjian Anti-Dumping.

Berdasarkan keputusan tersebut, Panel merekomendasikan Australia untuk melakukan tindakan korektif dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian perhitungan besaran margin dumping yang ditetapkan terhadap produk A4 Copy Paper Indonesia sejak 20 April 2017.

Atas laporan akhir ini, Mendag Agus mengungkapkan kedua negara sepakat juga untuk tidak melakukan banding ke Badan Banding (Appellate Body) WTO.

“Hal ini mengingat perkembangan kondisi AB WTO saat ini. Indonesia bersama Australia kemudian akan memastikan tahapan selanjutnya, yaitu mengimplementasikan rekomendasi Panel oleh Australia dalam kurun waktu yang akan disepakati bersama,” ungkap Agus Suparmanto.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana menyebutkan kemenangan tersebut diharapkan akan mengangkat kembali kinerja ekspor kertas Indonesia ke Australia yang sempat menurun semenjak pengenaan BMAD.

“Nilai ekspor kertas tersebut menurun dari US$34 juta pada 2016 menjadi US$12 juta pada 2018 akibat pengenaan BMAD oleh Australia sebesar 12,6% sampai dengan 38,6%,” ujar Wisnu.

Per Oktober 2019, bubur kayu dan pulp merupakan satu dari sepuluh golongan barang penyumbang devisa terbesar. Nilai ekspor bubur kayu dan pulp pada Oktober mencapai US$288,9 juta. Sementara, nilai pada Januari-Oktober 2019 mencapai US$2,35 miliar atau setara 1,83% dari total ekspor Indonesia pada periode tersebut.

Indonesia Eximbank Institute menyebutkan dibandingkan komoditas ekspor unggulan Indonesia lainnya, komoditas pulp dan kertas memiliki struktur industri yang sangat kuat. Industri pulp dan kertas tidak mengalami ketergantungan impor bahan baku. Bahkan, bahan baku dalam bentuk Akasia dan Eucalyptus tersedia dalam jumlah yang banyak untuk jangka waktu yang panjang.

Hal ini membuat sektor industri pulp dan kertas di Indonesia memiliki keunggulan komparatif, dibandingkan dengan industri serupa dari negara pesaing seperti Amerika Serikat (AS) maupun Eropa. Keduanya memerlukan waktu 40-80 tahun untuk mengadakan bahan baku produksi pulp dan kertas, sedangkan di Indonesia hanya diperlukan waktu enam tahun. Kekuatan inilah yang membuat penetrasi pasar industri kertas Indonesia ke pasar ekspor. (Fin Harini)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar