29 November 2018
17:13 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JEDDAH – Sentimen negatif di pasar Uni Erop membuat pemerintah Indonesia harus mencari pasar baru untuk produk sawit dan turunannya. Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Arlinda mengatakan, produk minyak dari tumbuh-tumbuhan tersebut dapat dialihkan ke negara-negara nontradisional di belahan dunia lain.
"Khusus untuk sawit karena kita diganggu di pasar Uni Eropa, kami mencoba untuk melirik negara lain di luar pasar utama tadi," kata Arlinda di Jeddah, seperti dilansir Antara, Kamis (29/11).
Lebih lanjut dijelaskannya, negara-negara nontradisional itu dapat dibagi dalam beberapa kawasan. Wilayah tersebut merupakan negara yang belum tersentuh perdagangan dengan Indonesia. Contohnya, negara-negara di Asia Selatan, seperti India, Pakistan, Sri Lanka, dan Bangladesh. Eropa Timur pun menjadi lirikan Kemendag. Beberapa di antaranya Rusia, Kazakstan, Uzbekistan,
“Bahkan ada negara-negara pecahan Rusia yang juga menjadi target kami," ungkap Arlinda.
Kemendag juga melakukan penjajakan dengan Cile yang berdekatan dengan Amerika Latin, kemudian Kazakstan, dan Uzbekistan.
Negara-negara di perbatasan Teluk Persia pun juga turut dilirik. Misalnya Arab Saudi, Oman, Bahrain, Kuwait, Uni Emirat Arab, sampai Qatar. Untuk kawasan itu, ia menilai, persoalan Qatar dengan negara Arab lainnya dapat menjadi peluang Indonesia untuk masuk dan memenuhi kebutuhan produk dari negara tersebut.
Sementara di Afrika, Kemendag berupaya melakukan negosiasi dengan Mozambik. Selain itu, Tunisia yang dekat dengan Italia, Maroko yang dekat dengan Spanyol dan sampai dengan Aljazair yang memiliki kesepkatan perdagangan bebas dengan Eropa.
Terkait kampanye negatif sawit, Arlinda menyampaikan, Indonesia berusaha menenangkan diri dan membuktikan tuduhan-tuduhan yang dilayangkan tidak benar. Pemerintah berupaya memberikan informasi komprehensif terkait produk sawit asal Indonesia. Utamanya dengan meyakinkan pasar bahwa Indonesia menganut produk sawit yang berkelanjutan dan merupakan produsen sawit pertama di dunia.
"Kita akan melakukan forum bisnis untuk sawit, memberikan knowledge kepada mereka mengenai produk sawit dan turunannya sehingga nanti mereka paham," ujar Arlinda.
Hal itu dilakukan melalui forum bisnis khusus sawit, termasuk pada para pengusaha di Arab Saudi yang cukup merespons baik produk sawit Indonesia. Arab Saudi kerap mengimpor produk sawit dari negara ketiga, seperti India dan Malaysia, di mana sebagian produknya berasal dari Indonesia.
“Jadi, jika mereka mau, tidak perlu negara ketiga, langsung saja dari Indonesia. Itu yang sedang kami jajaki. Kami minta ITPC juga menjadi mediator antara produsen sawit dan importir nya di sini," kata Arlinda.
Atas upaya tersebut, Konsul Jenderal RI Jeddah, Mohamad Hery Saripudin memastikan Arab Saudi tetap meminati produk sawit dan turunannya asal Indonesia. Pasar Arab Saudi menurutnya masih bebas dari upaya tersistematis kampanye hitam, seperti yang terjadi di belahan dunia lain.
Arab Saudi pun sebenarnya masih banyak mengimpor minyak sawit dan turunannya dari negara selain Indonesia. Padahal, menurut penelusuran, produk yang ada di negara tersebut sebagian besar berasal dari Indonesia.
"Inilah tugas pemerintah, dalam hal ini KJRI Jeddah dan Kemendag, untuk membuka simpul-simpul yang masih tertutup," tegas Hery.
Jika dilihat dari data Statistik Indonesia 2018 oleh BPS, khusus untuk ekspor minyak kelapa sawit Indonesia memang sempat mengalami penurunan di tahun 2016 hingga 13,03% dari tahun sebelumnya yang mencapai 27,67 juta ton. Namun tahun 2017, volume ekspor kembali bergerak positif 4,7 juta ton atau tumbuh 19,55% dari tahun sebelumnya. Ekspor ke India yang melonjak hingga 35,03% jadi salah satu pendongkrak pertumbuhan volume ekspor tahun lalu.
Harga Anjlok
Masalahnya, saat ini gejolak harga sawit tengah anjlok dan mulai membuat resah para produsen kelapa sawit. Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalimantan Barat (Kalbar), Idwar Hanis, pun meminta pemerintah untuk segera mengatasi situasi ini dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan sebagai solusi.
"Harga yang anjlok tentu berdampak besar bagi Kalbar. Kita tahu Kalbar sebagai salah satu sentra sawit di Indonesia. Yang menanam sawit bukan hanya perusahaan, namun juga masyarakat sehingga harga yang jatuh sangat berdampak dengan ekonomi masyarakat," tuturnya di Pontianak, Kamis (29/11).
Namun, ia mengapresiasi langkah pemerintah yang melakukan penyesuaian pungutan ekspor untuk CPO dan produk turunannya. Selama ini, setiap ton ekspor CPO dikenakan pungutan US$50. Padahal, posisi harga CPO sudah di bawah US$500 per ton. Kondisi itu sangat mengkhawatirkan, terlepas dari faktor apa yang mempengaruhi penurunan harga tersebut.
"Penghapusan pungutan ekspor adalah solusi jangka pendek sembari seluruh pihak terus berupaya meningkatkan daya serap pasar domestik dan memperluas pasar ekspor. Di dalam negeri sendiri, pelaku usaha perkebunan kelapa sawit juga harus terus meningkatkan produktivitas,” ucapnya.
Ia berharap kebijakan tersebut dapat segera menaikkan harga CPO di pasar internasional. Jika masalah harga tidak ditangani segera, dampak yang dikhawatirkan adalah pemutusan hubungan kerja dan berdampak negatif terhadap petani sawit.
Sebagai informasi tambahan, harga TBS per 15 November 2018 di Kalbar yakni untuk umur 3 tahun Rp994.56, umur 4 tahun Rp1.063,76, umur 5 tahun Rp1.136,93, umur 6 tahun Rp1.172,62, umur 7 tahun Rp1.215,15, umur 8 tahun Rp1.253,56, umur 9 tahun Rp1.274,72, dan umur 10-20 tahun Rp1.331,32. (Bernadette Aderi)