27 November 2020
16:37 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Implementasi hambatan non-tarif atau NTM pada tata niaga gula menjadi salah satu kontributor harga gula yang tinggi di Indonesia.
Head of Research Center for Indonesian Policy Studies atau CIPS Felippa Ann Amanta mengatakan, sebagai salah satu komoditas pokok, produksi gula oleh petani tebu domestik belum mampu memenuhi kebutuhan nasional.
Namun pada saat yang bersamaan, impor gula juga diatur secara ketat dengan berbagai ketentuan. UNCTAD pada 2020 mencatat, terdapat 55 NTM terhadap tata niaga gula.
"Mulai dari pemeriksaan pra-pengapalan, tindakan pengendalian kuantitas dan harga, tindakan sanitasi dan fitosanitasi, serta hambatan teknis perdagangan untuk gula," katanya, Jakarta, Jumat (27/11).
Impor gula di Indonesia juga diatur secara ketat melalui Permendag 14/2020 tentang Ketentuan Impor Gula. Beleid itu menjelaskan, Kemendag mengizinkan impor gula hanya untuk memenuhi kebutuhan industri, memenuhi stok gula nasional dan menstabilkan harga.
Negara mengizinkan sektor swasta untuk mengimpor gula, tetapi hanya gula mentah dan rafinasi untuk keperluan industri dan pemurnian. Impor gula putih untuk konsumsi rumah tangga merupakan urusan BUMN.
"Meski memungkinkan lebih banyak partisipasi sektor swasta, ketentuan tersebut juga menetapkan prosedur yang panjang untuk mendapatkan izin impor," jelasnya.
Untuk itu, importir harus mendapat rekomendasi dari tiga menteri yang berbeda, yang akan diberikan setelah rapat koordinasi antar kementerian. Rapat tersebut juga akan memutuskan jumlah gula yang diimpor tahun itu, yang secara efektif akan dikenakan pembatasan impor kuantitatif.
Selama ini, lanjut Felippa, produksi gula domestik tidak pernah berhasil memenuhi kebutuhan gula di Tanah Air. Pasalnya, kebutuhan gula konsumsi dalam negeri terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.
Sejak 2018 hingga 2020, jumlah populasi nasional meningkat sebesar 2,28% atau sekitar 6,051 juta penduduk.
Pada periode yang sama, total konsumsi gula juga meningkat sebesar 95.000 ton, dari 12,6 kg/kapita per tahun menjadi 13 kg/kapita per tahun. Total keseluruhan konsumsi gula nasional mencapai 7,18 juta ton.
"Hal ini menunjukkan betapa wajar muncul prediksi kebutuhan gula kedepannya juga akan terus meningkat," ujarnya.
Pada saat bersamaan, produktivitas gula Tanah Air juga belum mengalami kenaikan signifikan. Kementan mencatat, pada 2014, produktivitas GKP dari tebu sebesar 5.406 kg/ha hingga menghasilkan total 2,58 juta ton. Produksi sempat turun hingga titik terendah pada 2017 menjadi hanya 4.985 kg/ha.
Pada 2018, BPS mencatat produktivitas mulai sedikit naik menjadi 5.225 kg/ha serta menghasilkan 2,17 juta ton. Meski meningkat, produksi masih jauh dibanding konsumsi.
Sejauh ini, lanjutnya, pemerintah memang telah merespons kendala produksi dengan beberapa tahapan revitalisasi. Mulai pelatihan on dan off farm di tingkat petani, bantuan dana hingga pembangunan pabrik gula baru.
"Namun, program ini belum mampu menyelesaikan permasalahan gula kita,” tegasnya.
Baca Juga:
Maksimalisasi Perdagangan Internasional
Felippa mengakui upaya revitalisasi tidak bisa dihasilkan secara instan. Namun, pemerintah bisa memanfaatkan perdagangan internasional untuk memenuhi persediaan dan menstabilkan harga gula di Nusantara.
Merespon argumen bahwa program revitalisasi bukanlah program instan, Felippa mengatakan pemerintah dapat memanfaatkan perdagangan internasional sebagai cara untuk memenuhi kekurangan persediaan gula dan menjaga kestabilan harganya di Tanah Air.
"Sayangnya, harga yang disebut stabil belum tentu terjangkau bagi masyarakat luas. Mekanisme impor yang masih terbatas tidak cukup mampu menekan harga gula di tingkat konsumen," jelasnya.
Berdasarkan perbandingan data PIHPS dan Bank Dunia, gula nasional lebih mahal 217% dibandingkan harga internasional.
Dengan kondisi harga gula yang tinggi dan defisit persediaan gula, tidak mengherankan kejadian rembesan gula rafinasi selalu terjadi. Hal ini bisa berdampak negatif di sisi ekonomi dan kesehatan.
Sebagai informasi, secara khusus gula rafinasi hanya dipakai terbatas untuk kebutuhan industri, terutama di sektor makanan dan minuman.
"Ini terjadi lantaran pengadaan gula rafinasi melalui mekanisme impor raw sugar memiliki restriksi impor yang lebih sederhana. Ini akhirnya berdampak pada jumlah peredaran gula rafinasi dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga gula konsumsi,” tandasnya.
Felippa menambahkan, implementasi berbagai bentuk NTM telah terbukti memengaruhi harga komoditas pangan, terutama komoditas yang tergolong penting.
Hasil penelitian terbaru CIPS menunjukkan implementasi hambatan non-tarif memengaruhi harga komoditas pangan yang memiliki relevansi tinggi terhadap masyarakat Indonesia.
”Akibatnya berbagai harga komoditas domestik konsisten selalu lebih tinggi daripada internasional. Tentu ini sangat merugikan rakyat sebagai konsumen karena seharusnya mereka bisa mengakses komoditas tersebut dengan harga yang lebih terjangkau. Tingginya harga memengaruhi besarnya pengeluaran,” katanya. (Khairul Kahfi)