11 Agustus 2017
08:55 WIB
JAKARTA- Bak karamel, pahit manis gula lekat dengan sejarah Jawa, khususnya daerah Solo dan sekitarnya. Dua pabrik gula yang berada di sebelah timur dan barat Solo, Colomadu dan Tasikmadu, didirikan oleh Mangkunegara IV. Pada masanya , keduanya menjadi sumber pendapatan utama bagi Kerajaan Mangkunegaran.
Mangkunegaran merupakan satu dari empat kerajaan Jawa yang pada masa kolonial dikenal sebagai vorstenlanden atau "tanah raja-raja", merujuk pada daerah kerajaan Jawa yang bersifat otonom dan tidak secara langsung dikuasai pemerintah Hindia Belanda.
Vorstenlanden terbagi dalam dua karesidenan, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Karesidenan Surakarta terbagi lagi menjadi dua wilayah, yakni Kasunanan Surakarta milik Susuhunan (berarti Yang Disanjung) dan Mangkunegaran milik Adipati Mangkunegoro (yang berarti Ribaan Negara).
Wilayah Mangkunegaran mencakup pusat pemerintahan yang berlokasi di Kota Surakarta bagian utara dan daerah pedesaan yang berlokasi di selatan dan timur Solo. Sekarang, wilayah di selatan Solo masuk ke wilayah Kabupaten Wonogiri. Sementara itu, yang berada di timur masuk wilayah Kabupaten Karanganyar.
Sebelum memiliki pabrik gula, sumber pendapatan tradisional Mangkunegaran adalah pajak tanah. Namun, penghasilan dari pajak tanah dirasa kurang mencukupi kebutuhan Mangkunegaran. Wasino (2005) mengisahkan, ide untuk mendirikan perkebunan tebu sekaligus pabrik gula konon bermula ketika Mangkunegara IV berkunjung ke kediaman putra menantunya yang menjabat sebagai Adipati Demak.
Di sana ia mengamati, pohon tebu dapat tumbuh subur di area-area perkebunan kelapa yang menjadi bahan dasar industri gula Jawa. Mengetahui bahwa di wilayahnya sendiri pun ada lahan dengan karakteristik serupa, Mangkunegaran IV langsung berkeinginan membangun industri gula milik Praja Mangkunegaran.
Langkah pertama yang dilakukannya adalah menarik kembali tanah-tanah milik kerajaan (tanah lungguh) yang disewakan ke pengusaha-pengusaha perkebunan asing. Jalannya dengan tidak memperpanjang perjanjian sewa. Penarikan tanah berlangsung dari tahun 1862—1871, dimulai dari tanah yang dikelola kalangan keluarga raja, kemudian dilanjutkan ke para pegawai istana lainnya.
Tahun 1871, tanah lungguh yang telah ditarik mencapai 121,25 jung atau 485 bahu. Tanah yang berada di dataran tinggi, seperti di Karangpandan, dimanfaatkan untuk perkebunan kopi. Sementara itu, yang berlokasi di dataran rendah digunakan untuk penanaman tebu.
Guna membangun perkebunan tebu, pertama kali Mangkunegara IV memilih tempat di Desa Krambilan, Distrik Malang Jiwan, yang terletak di utara Kartasura. Area ini merupakan sentra perkebunan kelapa sekaligus sebagai sentra industri gula kelapa (krambil dalam bahasa Jawa berarti kelapa sehingga krambilan berarti daerah sumber kelapa-red). Daerah ini kemudian dialihkan menjadi perkebunan tebu. Setelah sumber daya tersedia, didirikanlah pabrik gula Colomadu (colo berarti gunung, madu berarti gula) di kawasan tersebut.
Pabrik gula Colomadu berhasil meraih sukses. Dalam panen perdana tahun 1862, dari 135 bahu sawah yang ditanami tebu berhasil diperoleh 6.000 pikul gula. Keberhasilan ini memberi Mangkunegaran modal untuk membangun pabrik gula kedua, yakni pabrik gula Tasikmadu (tasik berarti lautan, madu berarti gula).
Pabrik yang mulai dibangun tahun 1871 itu didirikan di Desa Sandakara, Karanganyar. Wasino menyebutkan, hasil gula dari pabrik-pabrik ini dijual ke Singapura dan Bandaneira, selain digunakan untuk konsumsi lokal.
Sayangnya, saya tak berhasil menemukan informasi lebih lanjut mengenai berlimpahnya gula dari kedua pabrik ini—di samping pabrik-pabrik gula lain—yang membentuk cita rasa manis yang kini dianggap mendominasi kuliner Jawa.
Memilih Merah dari Putih
Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java yang diterbitkan pada 1871 sebaliknya memaparkan, kendati perkebunan tebu dan industri gula saat itu sudah bermunculan di Jawa, orang Jawa tak terbiasa menggunakan gula tebu sebagai sumber pemanis makanan. Yang digunakan sebagai pemanis tetap gula kelapa yang berwarna merah, yang acap dikenal sebagai gula Jawa , "...gula yang digunakan oleh penduduk asli (Jawa) tidak terbuat dari tebu, tetapi dari aren dan jenis palma lainnya.." (Raffles, 1871: 107). Tebu, Raffles mengisahkan, biasa dinikmati layaknya buah dalam bentuk aslinya, sedangkan pengolahan tebu menjadi gula saat itu hanya dilakukan oleh para pengusaha perkebunan China.
Lain lagi menurut Farid Ruskanda dan Isa Ridwan dalam Java Sugar Industry and Sugar Cane Engineering in Nineteenth Century. Mereka mengisahkan bahwa tebu menjadi salah satu komoditas yang budi dayanya dikembangkan melalui kebijakan tanam paksa (cultuur stelsel) oleh pemerintah Hindia Belanda.
Komiditas ini memang terutama dialokasikan untuk ekspor. Gula berkualitas terbaik diekspor ke Eropa, sedangkan kualitas di bawahnya dikirim ke British India. Yang kualitasnya kurang baik, yakni gula berwarna kecokelatan, diekspor ke Jepang. Lalu yang kualitasnya paling rendah, digunakan untuk kebutuhan konsumsi kapal-kapal dagang Belanda.
Memang sepengetahuan saya, masakan tradisional Jawa aslinya tidak menggunakan gula pasir atau gula tebu sebagai pemanis. Kini, hal itu memang sering dilakukan untuk meningkatkan rasa manis secara efisien.
Harus diakui, gula tebu memiliki rasa manis yang lebih kuat dibandingkan gula kelapa atau aren. Jadi, dalam jumlah lebih sedikit, sudah diperoleh rasa manis yang dikehendaki. Tetapi, aslinya, resep-resep masakan tradisional Jawa yang saya kenal menggunakan gula kelapa.
Rupanya, meski untuk kepentingan ekonomi Jawa mengembangkan industri gula tebu yang berwarna putih, untuk urusan lidah mereka tetap memilih gula kelapa yang berwarna merah kecokelatan. Soalnya, meski gula kelapa tak semanis gula tebu alias mondo-mondo (sedang-red) saja, gula kelapa memiliki rasa gurih dan legit yang tak ditemui pada gula tebu.
Rasa manis gurih dari gula Jawa ini hadir dalam begitu banyak masakan, mulai dari sayur, masakan daging, buah, apalagi kue, jenang/bubur, atau jajanan pasar yang memang dimaksudkan sebagai camilan manis. Sayur gudeg yang terkenal sebagai ikon kuliner Yogyakarta dapat menjadi contoh ekstrem sayur yang menggunakan gula Jawa sebagai bumbu. Saking dominannya rasa manis dalam hidangan ini, salah seorang teman saya yang berasal dari Sulawesi menolak menyebut gudeg sebagai sayur, tetapi menggolongkannya sebagai sejenis kolak.
Gudeg. kotajogja.com
Tak hanya menyumbang pemanis dalam bentuk gula, kelapa memberikan bentuk pemanis lainnya, yakni air kelapa. Di keluarga saya, masakan bacem wajib dimasak menggunakan air kelapa, tanpa tambahan gula sebagai pemanis.
Tahu, tempe, atau potongan daging ayam yang dimasak bacem di-ungkep (direbus dengan api kecil hingga bumbu meresap betul ke dalam bahan makanan, menghasilkan masakan yang merata enaknya di bagian luar maupun dalam-red) dalam air kelapa, ketumbar, bawang merah, bawang putih, garam, daun salam, dan lengkuas. Hasilnya, bacem yang manis gurih, meski tanpa gula dan penyedap masakan, siap disantap.
Gula jawa dibuat melalui beberapa tahapan. Pertama, ada tahap menyadap bunga kelapa yang tandannya belum mekar. Tahapan ini disebut nderes dalam bahasa Jawa, yang artinya menyadap.
Tandan bunga kelapa yang belum mekar (mayang) dibersihkan, kemudian ditekuk menggunakan tali dengan hati-hati selama 2—3 hari agar tangkainya tak sampai patah, tetapi membentuk sudut kemiringan kira-kira 60 derajat. Di ujung tandan ini kemudian ditempatkan bumbung atau buluh bambu yang telah dibersihkan, sebagai penampung. Barulah ujung mayang kelapa diiris sehingga nira mengalir keluar dan terkumpul di bumbung. Setiap pohon kelapa menghasilkan nira dalam jumlah bervariasi, yakni 3—10 liter. Nira yang baik berwarna jernih, tidak asam, dan berbau wangi.
Nira kemudian disaring dan direbus dengan panas konstan. Para pembuat gula tradisional sering memilih tungku berbahan bakar kayu karena memberikan panas tinggi, meskipun tungku jenis ini memerlukan keterampilan tersendiri untuk mengendalikan api agar panas yang dihasilkan tetap.
Setelah nira mulai berubah menjadi cokelat dan mulai mengental, ditambahkan santan kental. Campuran nira dan santan ini terus diaduk sampai mengental dan warnanya menjadi cokelat. Baru setelah kental, gula dimasukkan dalam cetakan-cetakan dan didinginkan menjadi gula padat.
Adanya santan inilah yang menguatkan rasa gurih pada gula Jawa. Nira terbaik menghasilkan gula kelapa yang berwarna cokelat kekuningan, jernih, dan keras. Sementara itu, nira yang berkualitas kurang baik menghasilkan gula berwarna cokelat tua kehitaman dan teksturnya mudah remuk. (Ruth Hesti Utami)