14 Maret 2019
09:06 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Kinerja BUMN dinilai bisa didongkrak ke arah yang lebih positif. Salah satunya dengan mendorong BUMN melantai di bursa.
“Dari data yang kita, BUMN yang sudah go public itu biasanya dia punya return atau kemampuan mencetak profitnya itu jauh lebih baik dari pada yang belum go public,” kata Managing Director Lembaga Management (LM) FEB UI Toto Pranoto kepada media seusai acara Seminar bertajuk "Prospek BUMN di Tahun Politik" di Jakarta, Rabu (13/3).
Untuk mencapai tahap itu, menurutnya anak perusahaan BUMN lah yang perlu didorong terlebih dahulu. Sebab, jika berkaca dari PLN dan Pertamina saja, kedua BUMN ini memiliki wilayah pengelolaan yang sangat besar dari hulu ke hilir. Melalui Initial Public Offering (IPO) anak perusahan BUMN ini harapannya bisa memperkuat paling tidak di satu sektor terlebih dahulu, di hilir misalnya.
“Sehingga nanti kalau konsolidasinya sudah selesai dan diperkuat, baru nanti indukya bisa dipikirkan untuk go public, tambahnya.
Ia optimis hal ini dapat tercapai jika induk BUMN telah berhasil membereskan lini-lini bisnisnya dengan baik. Sederet anak perusahaan BUMN pun menurutnya sangat potensial untuk bisa melantai di bursa.
IPO anak usaha pun sudah dilakukan. Ia mencontohkan sejumlah anak perusahaan Wijaya Karya, yang sudah lebih dulu melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Bahkan menurut Toto, Waskita Beton dan Waskita Gedung yang telah terlebih dahulu masuk pasar saham menunjukan performa yang bagus.
Diakui, tantangannya adalah proses IPO mensyaratkan perubahan dalam pengelolaan BUMN. Secara administratif, BUMN tersebut setidaknya dituntut telah mencatatkan keuntungan dalam tiga tahun terakhir. Sebagai public listed company, BUMN juga harus mampu memenuhi persyaratan terkait fully disclosure information atau keterbukaan informasi. Ini terlihat dari publikasi laporan tahunan yang diberikan pada publik maupun regulator.
“Menurut saya banyak positifnya go public itu membuat perusahaan harus dikelola dengan cara-cara yang lebih baik. Karena sekarang yang jadi pemegang sahamnya bukan cuma pemerintah. Tapi lebih banyak lagi yang menuntut juga agar mereka mendapatkan keuntungan,” pungkas toto.
Toto menyatakan data kinerja perusahaan pelat merah di 2018 yang dirilis Kementerian BUMN beberapa waktu lalu memang menunjukkan daya saing tersendiri jika dibandingkan BUMN di Malaysia dan Singapura. Sayang, kondisi ini 80%nya masih ditopang oleh 20 BUMN saja yang sudah listed atau menjadi perusahaan terbuka (BUMN Tbk.).
Berdasarkan data tersebut, pertumbuhan aset BUMN pada 2018 tumbuh 12,23% menjadi Rp8.092 triliun dibanding 2017 (Rp7.210 triliun). Bahkan, jika dibandingkan aset tahun 2015 yang senilai Rp5.760 triliun, terjadi lonjakan aset hingga 40,48%.
Kinerja operasional BUMN secara agregat, menurut dia, juga cukup memuaskan. Ini terlihat dari pertumbuhan ekuitas di 2018 menjadi Rp2.479 triliun. Tumbuh 4,16% dibanding 2017 (Rp2.380 triliun) dan 24,51% dibanding 2015 (Rp1.991 triliun). Pertumbuhan laba 2018 (Rp188 triliun) tumbuh 1,08% dibanding 2017 (Rp186 triliun), dan tumbuh 25,33% dibanding 2015 (Rp150 triliun).
Sementara dilihat dari kontribusi BUMN terhadap negara pada 2018 dalam bentuk pajak, dividen, dan PNBP lain terjadi pertumbuham sebesar 19,21% dibanding 2017, menjadi Rp422 triliun. Tumbuh 39,27% dibanding 2015 (Rp303 triliun).
Kinerja itu diraih meski BUMN Indonesia bertahan dengan model pengembangan sisi komersial dan non profit oriented dalam pembangunan dan pelayanan publik, maupun sebagai pioneering pada sektor tertentu. Menurutnya ini dapat menunjukkan bahwa sistem pengembangan BUMN memang perlu menyesuaikan dengan natural condition bisnis di suatu negara.
Dengan capaian tersebut, ia menyebut, BUMN Indonesia dapat bersaing dengan BUMN negara tetangga Khazanah (BUMN Malaysia) dan Temasek (BUMN Singapura). BUMN Indonesia tetap bertumbuh di tengah kerugian yang dialami BUMN negara tetangga Khazanah.
Tahun lalu, untuk pertama kalinya Khazanah mencatatkan kerugian RM6,3 miliar. Setara dengan US$1,5 miliar atau dalam rupiah merugi Rp21 triliun. Kerugian ini disinyalir terjadi karena sejumlah BUMN Malaysia tidak mampu mencapai targetnya, adanya gejolak di pasar, hingga pengaruh perubahan regulasi di negera tersebut.
Sementara, kinerja Temasek (BUMN Singapura) sepanjang tahun lalu relatif stabil dan bisnisnya terus meningkat. Toto menilai portofolio yang sangat terdiversifikasi di seluruh dunia jadi kunci keberhasilan keberhasilan BUMN itu. Itu juga didukung dengan otonomi penuh pada model management investment holding dan sudah memiliki talent management yang baik. (Bernadette Aderi)