05 Desember 2019
20:24 WIB
JAKARTA – Sudah sejak mulai bekerja, Anata Mc Auliffe (31) membantu perekonomian kedua orang tuanya. Sampai menikah dan memiliki tiga anak, perempuan yang biasa disapa Tata itu masih membagi pendapatan keluarga kecilnya untuk kedua orangtua kandungnya di Jakarta, ditambah kedua mertuanya yang tinggal di Aceh. Dalam sebulan, kisaran Rp500 ribu sampai Rp1 juta bisa ia gelontorkan bagi kebutuhan orangtua dan mertua.
Jumlah tersebut bisa jadi bertambah jika ada permintaan khusus. Pasalnya, Tata dan suami selalu berupaya memberikan bantuan kepada orang tua setiap kali dibutuhkan.
Misalnya, sebulan lalu, ketika mertuanya meminta pertolongan untuk mengadakan perhelatan pernikahan salah seorang anggota keluarga di kampung sana, Tata dan suami tak sampai hati untuk menolaknya. Ini karena keduanya merupakan anak pertama dalam keluarga yang umumnya menjadi tempat bergantung kedua orang tua.
“Misalnya kemarin buat pernikahan atau misalkan ada kebutuhan mendesak, mama harus ini, papa harus ini. Paling kadang sejuta, kadang Rp500 ribu, semampunya sih,” katanya melalui sambungan telepon kepada Validnews, Rabu (4/12).
Kebutuhan keluarganya memang cukup beragam. Ayahnya, meski masih bekerja, tidak punya dana darurat sehingga kerap menghampirinya jika membutuhkan uang tambahan. Begitu pula dengan ibunya yang berbisnis multi-level marketing (MLM) yang sesekali tersandung utang. Hal ini membuat Tata mesti membantu menanggulangi melunasinya.
Sementara itu, mertuanya yang tinggal di Aceh menggantungkan hidup dari berkebun kopi. Tata dan suaminya pun akan pasang badan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, saat musim sedang tidak berpihak pada para pekebun.
Tata mengaku, sebetulnya tidak bisa membantu banyak kedua orang tuanya. Pasalnya dalam keluarga kecilnya, hanya suaminya yang bekerja kantoran dengan gaji sebesar upah minimum regional (UMR) Jakarta.
Suaminya memang memiliki kerja sampingan di percetakan, tetapi penghasilan dari situ tidak menentu. Biasanya pada awal bulan, Tata akan lebih mementingkan memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya daripada mengalokasikan uang untuk orang tua atau mertuanya.
Jika ada uang lebih, barulah Tata dan suaminya bisa memberi pada orangtua mereka. Untunglah, Tata yang sehari-hari mengurus ketiga anaknya, masih bisa berjualan online via WhatsApp. Uang hasil berdagang itu sesekali menjadi andalan saat orang tua atau mertuanya mendadak membutuhkan uang.
Tetap membantu finansial orangtua di tengah keterbatasan pun dilakukan oleh Fatonah (40). Hanya bekerja sebagai asisten rumah tangga di Jakarta yang berpenghasilan rata-rata sebesar Rp1,8 juta per bulan, perempuan ini mengaku rutin mengirim uang pada orang tuanya yang tinggal di kampung.
Uang untuk bapak dan ibunya di luar kiriman yang ia hantarkan untuk kebutuhan dua orang anaknya. Uang untuk bapak dan ibunya secara khusus diberikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari orangtuanya. Hanya saja, nominal yang dikirimkan tidak selalu sama.
“Kalau ada saja, setiap bulan pasti ngasih, tapi enggak pasti nominalnya. Tapi, paling Rp300 ribu kek, rezekinya kita saja,” ucapnya pada Validnews, Kamis (5/12).
Sama halnya dengan Tata dan Fatonah, Nanda (29) juga selalu membagi penghasilannya untuk kebutuhan orangtuanya. Di mana setiap bulannya, ia rutin memberikan “uang jajan” bagi ayah dan kedua mertuanya. Khusus untuk ayahnya, ia mengaku mesti menganggarkan dana lebih untuk biaya berobat.
“Sebagian sudah ditanggung BPJS sih, cuma kan ada juga obat yang enggak di-cover. Paling untuk itu, sama buah-buahan khususnya. Untuk biaya obatnya, mungkin bisa di atas Rp500 ribu tiap bulan,” tutur karyawan swasta.
Selain biaya pengobatan ayahnya, Nanda menambahkan, kebutuhan sehari-hari ayahnya pun menjadi pertanggungannya. Mulai dari makanan sampai biaya tagihan di rumah. Hal tersebut sudah ia lakukan semenjak ia masih lajang.
Untunglah ketika sudah menikah, ia dan suami memilih tinggal bersama ayahnya. Dengan begitu, bujet bisa ditekan karena tidak perlu dana tambahan besar untuk keluarga kecilnya. Baik untuk makanan dan tagihan, tetap sebesar sebelum menikah.
“Untungnya tinggal di rumah ayah. Kalau enggak kan berarti biaya listrik, gas, sama makan bisa dua kali lipat,” ujarnya lagi.
Rasa Keluarga
Tata, Nanda, dan Fatonah hanya tiga contoh dari orang dewasa yang memiliki tanggung jawab untuk keluarga kecilnya serta merasa wajib membantu kedua orang tuanya. Sangat mungkin masih banyak orang yang mengalami kondisi serupa di Indonesia, bahkan dunia.
Kaum yang hidup dengan menanggung beban keuangan keluarga kecil, serta membiayai orang tua dapat disebut sebagai generasi sandwich alias generasi yang terjepit. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy A. Miller pada tahun 1981.
Profesor sekaligus direktur praktikum Universitas Kentucky, Lexiton, Amerika Serikat (AS) itu memperkenalkan istilah generasi sandwich dalam jurnal berjudul “The ‘Sandwich Generation: Adult Children of the Aging”.
Tingkat kekeluargaan yang tinggi disinyalir menjadi salah satu faktor yang melanggengkan kehadiran generasi sandwich di Indonesia. Survei dari GoBear Indonesia beberapa waktu lalu menunjukkan, hanya 14% dari responden mereka yang tidak mendapat dukungan dari keluarga dan kerabat apabila kehilangan pekerjaan mendadak.
“Orang Indonesia mengatakan masih bisa mendapat dukungan keuangan dari keluarga dan kerabat ketika kehilangan sumber penghasilan,” kata survei tersebut.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto pun memandang kemunculan generasi sandwich di Indonesia didukung oleh kondisi kekeluargaan yang kuat. Kerap kali, perekonomian keluarga tidak hanya menjadi urusan keluarga inti, tetapi juga keluarga besar.
Ia memandang kekerabatan ini sebagai hal yang positif karena masyarakat Indonesia secara keseluruhan menjadi lebih kuat dalam menghadapi berbagai gejolak perekonomian.
“Di kita, aspek kekerabatan, gotong royong, saling bantu terasa sangat bermanfaat pada saat tekanan ekonomi begitu tinggi. Misalnya, di Indonesia, gelandangan ada, tapi sampai mati kedinginan karena enggak punya rumah itu jarang,” ucapnya pada Validnews, Kamis (5/12).
Hanya saja, Eko memandang, beban generasi sandwich di Indonesia lebih berat karena pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi. Apalagi, Indonesia tidak seperti negara maju yang sudah bisa memberikan perlindungan pada orang-orang tua lanjut usia karena pendapatan per kapita dan pajak dari masyarakat negara maju yang lebih besar.
Hal tersebut diamini oleh Tata maupun Nanda. Bagi Tata bahkan, bentuk bantuan yang ia berikan kepada orang tua tak lepas dari budaya Indonesia di mana seperti ada aksi turun-temurun saat anak yang sudah berpenghasilan memberikan sebagian penghasilannya kepada orangtua. Hal ini juga yang mendorongnya untuk menopang kebutuhan finansial orang tua dan mertuanya.
Senada, Nanda pun merasa membiayai orangtua merupakan kewajiban sebagai anak yang terpengaruh budaya berasaskan rasa kekeluarga yang tinggi. Langkah Nanda untuk menanggung berbagai biaya ayahnya, lebih dikarenakan keinginannya untuk berbakti sebagai seorang anak,
“Ayah masih punya pensiun sih. Tapi berapa sih besarnya pensiun? Biar itu buat dia senang-senang saja. Biaya hidupnya, saya dan suami tanggung,” ujarnya.
Ingat Darurat
Dengan kondisi mesti membantu menanggung biaya orang tua, juga membiayai kebutuhan keluarga kecil, membuat generasi sandwich kerap kali harus berurusan dengan masalah keuangan. Bagi Tata sendiri, dengan kondisi mesti memenuhi kebutuhan keluarga kecil dan keluarga besar, Tata mengaku pendapatannya selalu habis tiap bulan. Alhasil, Tata tidak mampu menyisakan uang untuk tabungan dan dana pendidikan anak.
“Belum ada tabungan masa depan. Sembrono banget sih memang kalau dilihat dari orang keuangan mah, pasti sudah kena caci maki. Jadi mikir untuk hari ini, besok lihat nantilah,” seloroh Tata.
Padahal dengan kondisi mesti menghidupi keluarga lebih satu, keberadaan tabungan untuk keadaan darurat penting disiapkan. Chairman OneShildt Financial Planning Risza Bambang menyarankan, generasi sandwich sebaiknya menyisihkan sekitar 10—30% dari pendapatan mereka untuk keperluan darurat yang tidak terduga.
Idealnya, kata Risza, dana darurat mesti dipersiapkan sebesar 12 kali lipat dari rata-rata pengeluaran setiap bulan. Lebih bagus lagi kalau mereka bisa menyediakan dana darurat hinga 18 kali pengeluaran setiap bulan. Artinya, dana darurat itu harus bisa mengcover pengeluaran setahun sampai setengah tahun, ketika saat darurat itu datang.
“Delapan belas bulan itu yang safe. Jadi, antara 12–18 bulan dana darurat,” katanya kepada Validnews, Rabu (4/12).
Ia melanjutkan, dana darurat itu sebaiknya dibagi untuk tiga generasi, yakni dana darurat untuk orang tua yang menjadi tanggungan, dana darurat untuk diri sendiri, dan dana darurat untuk kebutuhan anak-anak. Porsinya secara berturut-turut sebesar 30%, 40%, dan 30%.
Jika merasa terlalu banyak pintu pengeluaran, Resza pun memberi opsi lain, dana darurat dibagi menjadi dua saja. Dana darurat untuk anak-anak dan diri sendiri bisa dijadikan satu. Perhitungannya sebesar 40% dana darurat untuk orang tua dan 60% untuk diri sendiri serta anak-anak.
“Kalau yang 40% itu sebaiknya ditaruh di tempat-tempat yang aman yang risikonya rendah, paper investment. Mungkin reksadana yang underlying-nya bukan saham, tetapi obligasi atau properti,” imbuhnya.
Sementara itu, dana darurat untuk diri sendiri dan anak-anak bisa diletakkan dalam investasi yang berisiko lebih tinggi. Hanya saja, hal ini juga perlu mempertimbangkan jarak usia diri sendiri dengan anak-anak.
Apabila anak sudah memasuki masa kuliah, biasanya dana yang dibutuhkan akan meningkat, sehingga sebaiknya tidak semua dana darurat diletakkan dalam investasi yang berisiko tinggi.
“Jadi, dia akan membutuhkan dananya di saat-saat yang singkatkan. Jadi, jangan menaruh terlalu banyak di (investasi) berisiko tinggi,” tuturnya.
Potensi Berlanjut
Dengan budaya gotong royong di Indonesia, Eko memandang, model generasi sandwich di Indonesia akan terus berlanjut. Tidak berhenti di generasi yang saat ini sudah memasuki usia kerja dan berkeluarga, nantinya generasi milenial yang saat ini baru berusia 20 tahunan, juga akan dibebani himpitan pengeluaran untuk kebutuhan keluarga kecil dan orang tua.
Apalagi, ia memandang, penghargaan generasi milenial terhadap kesuksesan mulai bergeser. Menurutnya, generasi milenial mulai memandang dampak sosial sebagai target sukses yang lebih penting daripada sekadar materi. Karena itu, generasi milenial memiliki kepedulian yang lebih tinggi terhadap lingkungannya dibandingkan generasi-generasi di atasnya.
“Dari sisi itu, bisa meningkatkan awareness kalau dengan masyarakat umum saja mereka bisa meningkatkan kepedulian, apalagi dengan orang tua dan anak,” ucapnya.
Hanya saja, jika kesadaran generasi milenial untuk mengurangi jumlah anak bisa ditingkatkan, beban mereka ke depan kemungkinan dapat berkurang. Meskipun secara moral pembatasan jumlah anak masih diperdebatkan, Eko memandang langkah ini cukup efektif untuk mengurangi beban generasi milenial ke depan dan akan berdampak positif pula terhadap perekonomian secara nasional.
“Tapi mungkin untuk jumlah anak itu dibatasi, tidak strict regulated, tapi moral question, dengan harapan hasil dari pembangunannya itu bisa dinikmati secara bersama. Itu sudah terbukti di negara maju saat ini,” katanya.

Sebenarnya saat ini, dengan bonus demografi yang masih dialami oleh Indonesia, rasio ketergantungan Indonesia mengalami penurunan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, rasio ketergantungan Indonesia mencapai nilai 50,5. Artinya, setiap 100 penduduk usia kerja menanggung 50 orang yang belum atau tidak lagi produktif.
Lima tahun kemudian, pada tahun 2015, rasio ketergantungan turun menjadi 48,6. Nah, pada tahun 2020 mendatang, pemerintah memproyeksikan rasio ketergantungan kembali turun menjadi 47,7 dan menjadi 47,2 pada 2025.
Bantuan Pemerintah
Mengenai generasi sandwich, Eko mengungkapkan, pemerintah sebenarnya bisa membantu mereka. Misalnya dengan mengurangi iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan bagi peserta yang sudah berusia sangat tua.
Pemerintah juga bisa menginterupsi dengan mengurangi beban generasi sandwich dalam hal biaya pendidikan anak-anak mereka. Hal ini bisa dilakukan melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang harus langsung menyentuh setiap siswa.
“Sekarang lebih banyak mengalirnya belum ke manfaat langsung yang diterima siswa, baru sebatas sarana prasarana guru, dan terpencar ke berbagai kementerian dan itu enggak efektif akhirnya,” ucapnya.
Di samping itu, menurutnya, pemerintah bertugas untuk meningkatkan literasi asuransi, termasuk asuransi dana pensiun, yang saat ini masih rendah. Eko memandang kurangnya minat masyarakat untuk berasuransi dan memiliki dana pensiun disebabkan oleh masih rumitnya proses klaim asuransi.
Ia memandang jika proses klaim asuransi lebih mudah, ke depan akan lebih banyak masyarakat yang tertarik untuk memanfaatkannya.
“Kalau dari demand, kemungkinan masyarakat milenial menegah ke atas sangat dengan cepat (memanfaatkan asuransi) kalau industri asuransi bisa membuktikan, gampang, semua dia urusin. Tapi mungkin belum banyak (yang seperti ini). Mungkin ada, tapi sosialisasi, promosi, masih kurang, dan itu yang harus dilakukan,” bebebrnya.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tingkat inklusi asuransi pada 2016 hanya berada di kisaran 12,08%. Tingkat inklusi dana pensiun bahkan lebih parah, hanya 4,66%.
Uniknya, literasi masyarakat terhadap asuransi maupun dana pensiun sebenarnya lebih tinggi dibandingkan tingkat inklusinya, berbeda dengan perbandingan literasi dan inklusi produk keuangan lain. Tingkat literasi masyarakat terhadap asuransi pada periode yang sama terpantau di level 15,76%. Sementara itu, literasi terhadap dana pensiun sebesar 10,91%.
Dengan kata lain, sebenarnya sudah banyak orang yang memahami selak beluk asuransi. Tapi, ia belum bisa mengikuti asuransi karena berbagai alasan. Bisa jadi, tak ada lagi dana tersisa untuk itu.
Untuk mengurangi beban di masa mendatang, Risza mengatakan, orang-orang yang belum masuk menjadi generasi sandwich, bisa menyiapkan tabungan dan dana darurat sedini mungkin, tak perlu menunggu berusia 35 atau 40 tahun. Menurutnya, saat ini masih banyak generasi muda yang perlu disadarkan, dana darurat merupakan kebutuhan yang penting untuk dipenuhi.
“Sudah harus mulai, mereka harus disadarkan, angka 9–12 bulan, 3–6 bulan, itu angka-angka normatif. Jadi, walaupun Anda masih single, coba penuhi yang 12 bulan,” katanya.
Ia juga menyarankan supaya anak-anak dengan orang tua yang masih produktif dapat memanfaatkan aset orang tua mereka. Hal ini supaya aset orang tua mereka dapat menghasilkan uang yang bisa dijadikan tabungan masa tua.
“Kalau orang tua kita masih kerja, masih punya income, punya aset, kita harus kasih pengertian bahwa aset ini harus diutilisasi secara produktif, jangan cuma dibiarkan saja,” pungkasnya. (Sanya Dinda, Kartika Runiasari, Rheza Alfian, Bernadette Aderi, Teodora Nirmala Fau)