c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

15 Juli 2017

13:45 WIB

Gastrodiplomacy, Memenangkan Hati lewat Perut

Thailand-lah yang memelopori gastrodiplomacy. Tahun 2002, pemerintah Thailand memulai program Global Thai Program, yang menargetkan penambahan restoran di manca negara dari 5.500 di tahun 2002 menjadi 8.000 di tahun 2003

Gastrodiplomacy, Memenangkan Hati lewat Perut
Gastrodiplomacy, Memenangkan Hati lewat Perut
Inilah salah satu cara untuk mengajak siswa berbicara tentang urusan global: Ajarkan melalui makanan. iStockphoto (http://www.npr.org/)

JAKARTA - Suatu hari, saya bermimpi. Dan karena mimpi adalah dunia dimana hal-hal khayali terjadi, dalam mimpi itu saya diundang menghadiri jamuan untuk menghormati tamu negara. Berbagai hidangan, internasional maupun khas Indonesia, bahkan fusion, disajikan silih berganti.

Di antara berbagai hidangan istimewa itu, ada satu yang saya terkesan benar. Hidangan itu terdiri dari potongan salmon fillet, didampingi sayuran berbentuk panjang seperti buncis, tetapi berwarna putih. Kalau bukan karena kedua ujungnya yang rata, saya pasti mengiranya asparagus putih.

"Ini sayur apa ya?" tanya saya kepada pramusaji.

"Itu umbut rotan," jawabnya.

Eh? Seumur hidup, saya hanya mengenal rotan dalam bentuk kursi. Atau, sedikit nostalgic, penggebuk kasur. Tak saya sangka rotan dapat dimasak menjadi hidangan lezat. Bagaimana cara memasaknya ya? Apakah direbus lama banget - katakanlah selama dua hari - sampai melunak dan bisa dimakan?

Sayang, belum sempat saya mendapatkan penjelasan dari si pramusaji, saya terbangun. Mimpi indah saya pun terputus. Di pangkuan saya, terbentang halaman surat kabar berisikan artikel tentang rencana kepindahan ibu kota Indonesia ke daerah lain. Salah satu daerah yang disebut-sebut sesuai untuk ibu kota baru adalah Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Dan salah satu makanan khas Palangkaraya, disebutkan dalam artikel itu, adalah... umbut rotan.

Wah, pantaslah saya memimpikan umbut rotan dalam jamuan kenegaraan. Kalau ibu kota Indonesia benar-benar pindah ke Palangkaraya, pantaslah bila hidangan khas Palangkaraya, bersama hidangan khas Indonesia lain, muncul sebagai bagian dari repertoir jamuan untuk tamu negara.

Mengutip Brillat-Savarin bahwa makanan adalah bagian dari identitas, menyajikan hidangan khas Indonesia kepada tamu dari negara lain adalah bentuk upaya kita memperkenalkan Indonesia. Dan mengingat lansekap kuliner Indonesia yang demikian kaya, tampaknya para diplomat kita tidak akan pernah kekurangan bahan pembicaraan saat menjalankan culinary diplomacy.

Sam Chapple-Sokol, chef pastry di Gedung Putih sekaligus konsultan diplomasi kuliner, menyebut penempatan diplomasi kuliner dalam interaksi formal antar pejabat negara sebagai "Track I Culinary Diplomacy," alias diplomasi kuliner jalur utama.

Presiden Sukarno adalah salah satu pimpinan negara kita yang tercatat mempratekkannya. Sejarawan JJ Rizal dalam Mustika Rasa (2016 : x-xi) mengisahkan bagaimana Sukarno ikut sibuk memeriksa menu hidangan bagi para peserta Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Tanpa ragu, ia memasukkan berbagai makanan tradisional Sunda seperti colenak, rangginang dan bajigur dalam menu.

Tak hanya itu, ia juga meminta para penjual makanan yang dianggapnya merepresentasikan cita rasa Bandung secara prima, seperti sate Madrawi, untuk ikut menghidangkan suguhan bagi para tamu konferensi. Konon, sebagai hasilnya, Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru dan beberapa delegasi KAA dari Afrika ingin mendatangi rumah makan sate Madrawi lantaran tak puas menikmati sate hanya di ruang jamuan.

Selain diplomasi kuliner antar pejabat negara, Chapel-Sokol juga menyebut kelompok diplomasi kuliner lainnya, yang disebutnya gastrodiplomacy. Ini merujuk pada upaya pemerintah sebuah negara memperkenalkan kekayaan kulinernya kepada masyarakat luas negara lain. Yang dimaksud bukanlah sekedar kegiatan promosi kuliner yang bersifat ad hoc, tetapi benar-benar program yang bersifat holistik dan berkesinambungan.

Rockower dalam Recipe for Grastrodiplomacy (2012 : 1-12) mengatakan, gastrodiplomacy digunakan banyak negara sebagai strategi branding untuk memperkuat identitas bangsa di tengah percaturan internasional. Dengan memperkenalkan keunikan kuliner sebagai bagian dari identitas nasional, gastrodiplomacy "memunculkan" dan memperkuat identitas sebuah negara sehingga semakin dikenal masyarakat dunia, dan lebih penting lagi, semakin digemari.

Menurut Rockower, Thailand-lah yang memelopori gastrodiplomacy. Tahun 2002, pemerintah Thailand memulai program Global Thai Program, yang menargetkan penambahan restoran di manca negara dari 5.500 di tahun 2002 menjadi 8.000 di tahun 2003. Sebagai kebijakan pendukung, pemerintah Thailand mempermudah pengusaha restoran di luar negeri mengimpor bahan makanan dari Thailand, membantu mereka merekrut koki-koki Thailand dan mendapatkan dukungan keuangan (soft loan).

Tujuan dari program ini, sebagaimana dikutip oleh The Economist (2002), "tidak sekedar memperkenalkan kelezatan makanan Thailand kepada mereka yang belum pernah mencicipinya, tetapi juga mempererat hubungan antar bangsa." Sementara itu, untuk menjaga kualitas makanan yang dihidangkan, Departemen Perdagangan Thailand memberikan sertifikat pada restoran-restoran yang dipandang memenuhi standar dan kriteria pemerintah.

 

JAMUAN MAKAN - Presiden Joko Widodo (kanan) melakukan jamuan makan dengan Mantan Presiden Barack Obama dan Presiden Tiongkok Xi Jinping, di Bali beberapa tahun silam. Pool/ist

Korea Selatan pun melakukan gastrodiplomacy, dilatarbelakangi kekhawatiran pemerintah Korea Selatan tentang kurang dikenalnya nama negara mereka. Sejumlah produk Korea Selatan memang sudah dikenal dunia. Tetapi, karena nama Korea Selatan belum dikenal, banyak orang mengira produk-produk itu berasal dari Jepang.

Seoul lalu meluncurkan kampanye "Korean Cuisine to the World" pada April 2009, dengan target meningkatkan jumlah restoran Korea di manca negara empat kali lipat, menjadi hampir 40.000 pada 2017. Dana sebesar US$ 40 juta dialokasikan untuk mempromosikan masakan Korea di lembaga pendidikan kuliner internasional, serta untuk mendukung siswa-siswa Korea mengikuti pendidikan dan pameran di luar negeri.  

Gastrodiplomacy a la Korea ini benar-benar melibatkan semua pihak. Bahkan astronot pertama Korea, So-yeon Yi, membawa makanan khas Korea seperti ramen dan kimchi ke angkasa luar dan membagikannya pada para astronot dari negara lain.

Dari sisi perdagangan, kampanye ini mungkin tidak mendatangkan pendapatan negara yang besar. Makanan, ataupun bahan makanan, hingga kini tidak menjadi komoditas ekspor andalan Korea Selatan. Tapi tak pelak lagi, kampanye itu sukses mendongkrak popularitas makanan Korea.

Tersebarnya makanan Korea di berbagai negara, bersama produk-produk kebudayaan Korea lainnnya, membuat negara itu dikenal, bahkan digemari masyarakat negara lain. Televisi Korea, KBS World, mengemukakan hasil survey bahwa di New York, penggemar makanan Korea meningkat menjadi 31 persen pada 2011, dibandingkan 9 persen pada 2009.

Selain itu, gastrodiplomacy yang dilakukan pemerintah Korea Selatan turut berperan membuahkan revenue dari sektor pariwisata, yang menurut tradingeconomics.com, rata-rata sebesar 755.271 juta dollar dari 1995-2017.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Indonesia juga melakukan berbagai upaya gastrodiplomacy, meskipun dengan skala dan cara yang berbeda. Pendaftaran rendang sebagai hasil budaya Indonesia di UNESCO, adalah bagian dari gastrodiplomacy. Kedutaan Indonesia di berbagai negara kerap mengadakan berbagai kegiatan untuk memperkenalkan makanan Indonesia kepada masyarakat dunia.

Bagi Indonesia, tampaknya yang bisa dimulai dengan cepat adalah citizen culinary diplomacy, yang secara harfiah berarti diplomasi kuliner warga. Ini mencakup berbagai bentuk interaksi warga antar negara (people-to-people) yang berkaitan dengan kuliner, dan bisa dibayangkan betapa luas lingkupnya.

Tak perlu menunggu pemerintah, semua orang bisa menjadi duta kuliner dengan cara yang dipilihnya. Dan meski tak menggunakan sumber daya negara, diplomasi ini bukannya tak memiliki kekuatan. Keberhasilan diplomasi kuliner Korea Selatan di Los Angeles, Amerika Serikat, tak terlepas dari peran Kogi taco, food truck yang menjual fusion masakan Korea dan Meksiko, seperti kimchi quesadillas atau bulgogi taco. Saat pertama dibuka tahun 2009, konon warga LA rela mengantri selama dua jam untuk membeli makanan.

Di Melbourne, Australia, pada tahun 2011 diplomasi kuliner pernah digunakan untuk mengatasi masalah sosial yang muncul setelah terjadinya sejumlah kasus kekerasan terhadap siswa India di Australia. Seorang warga Melbourne bernama Mia Northrop memulai inisiatif melalui Facebook, yang dinamai Vindaloo against Violance. Kampanye itu mengajak warga Australia untuk makan di restoran-restoran India pada hari tertentu, sebagai protes damai terhadap tindak kekerasan terhadap warga beretnis India. Kampanye ini tercatat berhasil memperoleh dukungan 17 ribu orang.

Nah, diplomasi kuliner seperti apa yang Anda pilih? Saya sendiri, memilih menuntaskan rasa ingin tahu saya tentang umbut rotan. Apakah ibu kota Indonesia jadi pindah ke Kalimantan Tengah atau tidak, tak jadi soal. Umbut rotan adalah salah satu keunikan kuliner kita. Sayang bila tak diperkenalkan kepada dunia, bukan? (Ruth Hesti Utami)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar