21 April 2021
19:21 WIB
JAKARTA - Gabungan Perusahaan Makanan Ternak tolak opsi skema importasi pakan ke dalam negeri. GPMT melihat kebijakan tersebut berpotensi nyata mematikan seluruh ekosistem industri perunggasan nasional, tanpa terkecuali.
Ketua Umum GPMT Desianto Budi Utomo menjelaskan, secara nasional pabrik pakan Indonesia masih memiliki kapasitas menganggur atau idle capacity terpasang terhadap produksi sekitar 35%. Artinya, masih ada ruang bagi industri terkait untuk terus mengoptimalkan potensi yang semestinya.
"Sementara itu, importasi pakan akan berdampak sangat masif terhadap industri pakan nasional yang sudah lebih dari 50 tahun mengalami swasembada pakan," katanya dalam siaran resmi yang diterima, Jakarta, Rabu (21/4).
Lebih lanjut, kebijakan tersebut akan berdampak negatif meluas di luar industri pembuatan pakan ternak. GPMT tidak ragu menjabarkan, multiplier effects importasi pakan bisa meluas ke subsektor lainnya yang lebih riil dan besar lagi cakupannya.
Misalnya, dampak buruk langsung kepada petani jagung, peternak dan pedagang ayam petelur maupun pedaging, tenaga kerja budidaya ayam, anak–anak kandang, hingga penyerapan katul atau dedak dan bahan pakan lainnya.
"Ada sekitar lebih dari 12 juta keluarga petani dan peternak yang kehidupannya bergantung pada industri pakan," jelasnya.
Kendati demikian, pihaknya juga akan mengambil pelajaran dari kasus importasi ayam di Filipina. Impor daging ayam ke Filipina yang dilakukan hanya untuk uji dampak saja, telah menyebabkan industri ayam di Filipina collapse dan hingga sekarang ini tidak bisa bangkit lagi.
"Akan menjadi trigger untuk importasi ayam dengan dasar pemikiran bahwa harga ayam impor (Brazil) lebih murah," kata Budi.
Sebelumnya, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Syailendra sempat mengemukakan untuk mengimpor pakan ternak ke Tanah Air. Usulan tersebut mengemuka lantaran pemerintah melihat kebijakan importasi cukup relevan mengatasi persoalan pakan yang mendera industri unggas beberapa tahun belakangan.
"Saya bilang, kalau enggak bisa bertahan lebih baik (seluruh industri perunggasan) kenapa tidak kalau impor pakan saja? Tapi, kan risikonya harus dipertimbangkan, masa teman-teman pabrik pakan harus tutup," katanya.
Baca Juga:
Kondisi Terkini Industri Pakan
Sementara itu, Budi menginformasikan harga pakan ternak di lapangan hanya berkisar Rp7.000-7.800/kg, dengan harga rata-rata skitar Rp7.300/kg. Karenanya, para produsen pakan anggota GPMT berusaha keras untuk terus membantu peternak untuk tetap bisa bertahan kelangsungan usahanya.
"Dalam menghadapi situasi harga bahan baku utama pembuatan pakan baik bahan baku lokal seperti jagung maupun impor seperti soya bean meal, meat and bone meal dan lainnya yang terus meningkat," paparnya.
Selain itu, saat ini rata-rata tingkat penyerapan jagung dari anggota GPMT adalah di bawah 7 juta ton/tahun. Jumlah ini hanya sedikit berbeda dengan tingkat penyerapan pada 2019-2020 yang masing-masingnya mencapai 6,6 juta ton/tahun dan 6,5 juta ton/tahun, dengan asumsi pemakaian jagung dalam formula pakan adalah sebesar 40%.
Idealnya, pemakaian jagung untuk beberapa jenis pakan rata–rata mencapai 50%, bahkan untuk jenis pakan tertentu pemakaian jagung dalam formula pakan bisa lebih dari 50%.
Kecukupan jagung di industri pakan konsisten mengalami penurunan tipis setiap bulan di awal tahun ini. Dari 35 hari pada Januari, kemudian 33 hari pada Februari, dan terbaru di kisaran 32 hari pada Maret.
"Idealnya kecukupan jagung pada industri pakan untuk dua bulan," ucapnya.
Kondisi terkini, pada saat puncak panen alias panen raya pada Maret-April, harga jagung terus melambung. Bahkan per 20 April 2021, harga jagung di sentra penghasil seperti di Sumatera Utara harganya sudah menyentuh Rp6.100/kg dengan spesifikasi kadar air 15% franco pabrik.
"(Harga jagung terkini) jauh di atas harga acuan dalam Permendag 7/2020 yang sebesar Rp4.500/kg," pungkasnya. (Khairul Kahfi)