c

Selamat

Selasa, 18 November 2025

EKONOMI

04 September 2019

18:37 WIB

Fintech Indonesia Terhambat SDM

Nilai transaksi online mencapai Rp47,16 triliun pada 2018

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Fintech Indonesia Terhambat SDM
Fintech Indonesia Terhambat SDM
Ilustrasi. Fintech. (assets.entrepreneur.com)

JAKARTA – Meskipun melaju kenjang, pertumbuhan financial technology (fintech) di Indonesia dinilai masih kurang. Sumber daya manusia (SDM) disebut menjadi alasan kekurangoptimalan pertumbuhan fintech nusantara

Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, pendidikan dasar yang diterima masyarakat selama ini masih kurang cukup untuk menjadikan pribadi tersebut sebagai programmer yang mampu mengembangkan dunia fintech.

“Kita tidak pernah mengembangkan logika sehingga sekarang ini (tenaga kerja) dukung berkurang dari yang basic sampai programmer,” ujarnya di Auditorium Dhanapala, Jakarta, Rabu (4/9), seperti dilansir Antara.

Masalah ini pun ditegaskannya harus segera diantisipasi. Di mana salah satunya lewat pemberian pendidikan dan pelatihan vokasi yang menjadi fokus pemerintah pada 2020 mendatang.

Dengan langkah tersebut, diharapkan dapat tercetak SDM yang berkualitas. SDM yang mumpuni tersebut bisa turut serta membantu pemerintah dalam memfasilitasi ekosistem pendukung fintech tersebut seperti perkembangan teknologi, big data, dan infrastruktur pendukung lainnya.

“Diperlukan ekosistem yang baik dengan lembaga keuangan dan regulator kalau secara backbone untuk digital di Indonesia pemerintah sudah menyelesaikan sekitar 100% di kawasan timur Palapa Ring jadi kecepatan dan kualitasnya bagus di setiap daerah,” tuturnya.

Darmin menjelaskan adanya inovasi terutama dalam peningkatan kualitas SDM demi kemajuan fintech adalah investasi bagi masa depan sebab di era digital pekerjaan akan cepat berubah karena perkembangannya bersifat eksponensial.

“Ekonomi digital secara khusus adalah job masa depan. Ada yang tinggal enggak muncul lagi, ada yang baru dan akan lahir lagi. Fintech adalah salah satu area di mana job masa depan terus diciptakan,” katanya.

Darmin menegaskan, posisi pemerintah saat ini sangat mendukung pengembangan fintech. Di sisi lain, pemerintah juga fokus mengantisipasi berbagai tantangan dari perkembangan tersebut.

“Pemerintah dan otoritas mengantisipasi tantangan yang muncul dari pengembangan fintech di Indonesia, namun tetap membuka ruang adanya inovasi,” ujarnya.

Pertumbuhan digital di Indonesia memang semakin meningkat. Terpantau dari adanya nilai transaksi online mencapai Rp47,16 triliun pada 2018. Angka ini naik hingga 281,39% dari 2017 yaitu Rp12,38 triliun. Ini menandakan bahwa pemerintah harus terus memberikan fasilitas pendukung terhadap fintech agar dapat melaju dengan berbagai inovasinya.

Perkembangan fintech diyakini Darmin pula akan efektif meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Pasalnya dengan fintech, masyarakat bisa lebih terhubung dengan perbankan dalam rangka membuka rekening dan pemanfaatannya.

“Fintech jauh lebih ampuh dalam mendorong keuangan inklusif, perbankan akan bisa membantu masyarakat membuka rekening,” sebutnya lagi.

Adopsi teknologi yang sangat masif di industri keuangan terlihat dari cara masyarakat mengakses layanan keuangan. Jadi, peningkatan perkembangan fintech yang sangat pesat terutama pada pembayaran dan pinjaman (lending).

Hal tersebut dikonfirmasi oleh data OJK. Di mana ada 113 fintech pinjaman yang terdaftar. Sementara itu, berdasarkan data Bank Indonesia ada 58 fintech pembayaran yang berizin per Agustus 2019.

Darmin melanjutkan, perkembangan tersebut sangat membantu para pelaku UMKM dan turut juga menangani penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) dengan akumulasi pinjaman dari fintech lending mencapai lebih dari Rp200 triliun pada akhir 2020.

“Paling mudah untuk startup (fintech) masuk ke sana. Kemudian bisa diorganisasikan petani atau peternaknya dalam penyaluran KUR,” katanya.

Senada dengan Darmin, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga mengatakan bahwa fintech bisa meningkatkan inklusi keuangan negara. Namun, industri tersebut harus terhubung dengan perbankan.

“Sesuai visi BI, mengadopsi developer approach, mengembangkan startup dan disambungkan dengan perbankan,” katanya.

Menurut Perry, dengan adanya teknologi yang telah mengubah sebagian besar kegiatan perekonomian seperti membuat layanan keuangan menjadi cepat dan mudah. Jadi, regulator perlu memahami lanskap dan ekosistem industri tersebut.

Beberapa waktu lalu dalam Forum Inklusi Fintech Indonesia di Jakarta, Le Houerou, menjelaskan saat ini pelaku UMKM di Indonesia masih kesulitan mendapatkan kredit pembiayaan dari sumber-sumber konvensional untuk mendorong perkembangan bisnis. Kesulitan tersebut, di antaranya terlihat dari kesenjangan pembiayaan untuk sektor usaha kecil dan menengah yang mencapai US$166 miliar sekitar 19% dari pendapatan domestik bruto (PDB) pada 2017.

Usaha kecil dan menengah Indonesia "tetap secara signifikan terhambat dalam mendapatkan kredit," kata Le Houérou beberapa waktu lalu.

Asal tahu saja, saat ini terdapat kurang lebih 58 juta UMKM di Indonesia. Usaha-usaha ini berpotensi memperkerjakan 89% tenaga kerja di sektor swasta dan memberikan kontribusi hingga 60% bagi PDB.

Ia memastikan, kolaborasi inklusi keuangan dengan industri fintech dapat menjadi solusi agar pelaku usaha kecil maupun konsumen lainnya dapat memperoleh akses kepada pelayanan finansial formal.

Dengan regulasi yang tepat, ia pun meyakini, industri fintech Indonesia dapat memberikan pembiayaan yang sangat dibutuhkan oleh UMKM. Tak ayal, ini juga mendukung pencapaian tujuan pemerintah Indonesia dalam hal inklusi finansial.

Kemampuan fintech untuk menjangkau para peminjam (borrower) hingga ke pelosok lewat sistem teknologi diyakini mampu menggerus tingkat ketidakterjangkauan keuangan di berbagai daerah. Pasalnya selama ini, industri konvensional telanjur berfokus di Pulau Jawa hingga membuat ketimpangan inklusi dengan pulau-pulau lainnya yang jauh dari pusat pemerintah.

“Sekitar 70% pendanaan di Indonesia terfokus di Pulau Jawa,” ujar Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech (DP3F) OJK, Hendrikus Passagi dalam pelatihan dan media gathering OJK di Bogor, Jumat (19/10) malam.

Nyatanya harapan untuk fintech bisa menyebar merata belum terwujud. Per Juli 2019 saja terlihat, borrower yang menggunakan jasa fintech lending masih terpusat di Pulau Jawa. Tepatnya, 75,74% peminjam fintech peer to peer lending ada di Pulau Jawa.

“Memang belum, masih di Jawa. Tapi beda sama konvensional karena ini masyarakat di luar Jawa yang belu tahu jadi belum pinjam. Kalau konvensional, masyarakat di luar sudah tahu, tapi tidak bisa pinjam,” tuturnya lebih lanjut.

Hendrikus juga menegaskan, harapan fintech lending bisa membangun inklusi haruslah lebih spesifik. Pasalnya, inklusi bukan sekadar kepemilikan buku rekening debit. Lebih daripada itu, inklusi merupakan keterjangkauan masyarakat terhadap sistem keuangan. Fintech lending sendiri diyakini mampu mendongkrak inklusi pendanaan atau pembiayaan yang saat ini masih angkanya masih “jongkok”. (Teodora Nirmala Fau)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar