c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

02 Oktober 2019

07:58 WIB

Fenomena El-Nino Diprediksi Tak Signifikan Dongkrak Inflasi

Kekeringan yang terjadi belakangan, belum mengerek harga bahan makanan. Hal ini jadi acuan, ke depan inflasi akibat bahan makanan tidak terlalu mengkhawatirkan

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Fenomena El-Nino Diprediksi Tak Signifikan Dongkrak Inflasi
Fenomena El-Nino Diprediksi Tak Signifikan Dongkrak Inflasi
Pedagang menjaga sayuran-sayuran dagangannya di Pasar Tradisional Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (5/9/2019). ANTARAFOTO/Aditya Pradana Putra D

JAKARTA – Fenomena cuaca "El-Nino" yang berpotensi menyebabkan kekeringan di berbagai daerah, diprediksi tidak akan signifikan meningkatkan risiko tekanan inflasi hingga akhir 2019. Kepala Ekonom DBS Indonesia Masyita Crystallin di Jakarta, Selasa (1/10) merujuk inflasi dari kelompok makanan, kelompok yang paling rentan terhadap pengaruh cuaca, hingga September 2019 tetap tercatat rendah.

Selain itu, faktor-faktor tekanan inflasi lainnya, seperti harga emas telah berkurang dibanding Agustus 2019, dan pengaruh harga bahan bakar minyak netral.

"Mengingat inflasi makanan tipis, meskipun ada 'El-Nino', dan harga eceran bahan bakar dalam negeri tetap, inflasi kemungkinan tetap di bawah sasaran menengah BI, di angka 3,5%," kata Masyita.

Inflasi domestik yang di bawah titik tengah sasaran Bank Sentral itu, ujar dia, memberi ruang untuk Bank Indonesia melonggarkan kembali kebijakan moneter ataupun makroprudensial yang lebih agresif dibanding yang sudah ditempuh. Sekadar mengingatkan, BI sejak awal Januari 2019 hingga September 2019 memangkas suku bunga acuan kebijakan moneter sebesar 0,75% menjadi 5,25% tahun ini.

"Inflasi, yang stabil, menjelang akhir 2019 menyediakan ruang bagi BI seandainya harus melakukan pelonggaran keuangan lebih agresif saat momentum pertumbuhan melambat," ujarnya.

Riset dari bank terkemuka dunia yang berinduk usaha di Singapura itu memproyeksikan BI akan kembali memangkas sekali lagi suku bunga acuannya pada kuartal IV 2019 sebesar 0,25% menjadi 5%.

Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri, Selasa, mengumumkan penurunan sejumlah harga bahan makanan memicu terjadinya deflasi pada September 2019 yang sebesar 0,27%.

"Deflasi terjadi karena penurunan harga bumbu-bumbuan serta daging ayam ras dan telur ayam ras," kata Kepala BPS Suhariyanto.

BPS mencatat harga cabai merah mengalami penurunan cukup tajam dalam periode ini dengan memberikan andil terhadap deflasi sebesar 0,19%. Selain itu, harga bawang merah juga mengalami penurunan dengan memberikan andil 0,07% disusul daging ayam ras 0,05%, cabai rawit 0,03% dan telur ayam ras 0,02%.

Dengan demikian, kelompok bahan makanan secara keseluruhan memberikan sumbangan terhadap deflasi sebesar 1,97%. Namun, kelompok pengeluaran lainnya masih menyumbang inflasi dengan inflasi tertinggi terjadi pada kelompok sandang 0,72% karena kenaikan harga emas perhiasan.

"Harga emas perhiasan yang sedang booming memberikan andil inflasi 0,04%. Kenaikan harga emas terjadi di 78 kota IHK, kenaikan tertinggi di Cirebon 10% dan Surakarta 9%," ujarnya.

Dengan pencapaian ini, maka inflasi tahun kalender Januari–September 2019 tercatat 2,2% dan inflasi tahun ke tahun (yoy) mencapai 3,39%. Suhariyanto melanjutkan, pergerakan inflasi yang stabil di bawah sasaran 3,5% hingga September 2019 merupakan pencapaian yang dapat mendorong daya beli masyarakat.

Dari 82 kota yang disurvei, sebanyak 70 kota tercatat mengalami deflasi dan 12 kota menyumbang inflasi dalam periode ini. Deflasi tertinggi terjadi di Sibolga sebesar 1,94% dan deflasi terendah di Surabaya sebesar 0,02%. Sedangkan, inflasi tertinggi terjadi di Meulaboh sebesar 0,91% dan Watampone serta Palopo masing-masing sebesar 0,01%.

Menurutnya, selama ini pengendalian laju inflasi yang dilakukan pemerintah, mampu menjaga stabilitas harga terutama bahan makanan. Pergerakan harga yang stabil disertai oleh membaiknya kenaikan pendapatan ini, kata Suhariyanto, dapat mendorong daya beli masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga.

"Inflasi semakin kecil semakin bagus, kalau ada kenaikan pendapatan dengan inflasi terjaga, maka daya beli masyarakat meningkat dan memberikan dampak kepada konsumsi," tuturnya.

Dengan menguatnya konsumsi rumah tangga, maka kinerja pertumbuhan ekonomi nasional tidak rentan terhadap gejolak yang berasal dari global. Suhariyanto mengharapkan upaya pengendalian inflasi tersebut dapat dilakukan secara konsisten hingga akhir tahun, terutama dalam mengantisipasi tingginya permintaan pada periode Desember.

"Biasanya Desember harga-harga mulai mengalami kenaikan karena adanya liburan sekolah dan periode Natal dan Tahun Baru," lanjutnya. (Faisal Rachman) 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar