27 Oktober 2020
18:00 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Kinerja ekspor produk tekstil nasional menuju Turki melambat signifikan sepanjang Januari–Agustus 2020 dibandingkan periode sama pada tahun lalu. Disinyalir beragam kebijakan proteksionisme perdagangan menjadi biang masalah lambatnya kinerja ekspor tekstil dan produk tekstil atau TPT.
Sekjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Martin Kalit mengatakan, secara umum kinerja ekspor TPT nasional sepanjang Januari–Agustus 2020 turun 19,92% (yoy) dari US$8,78 miliar menjadi hanya US$7,03 miliar.
Spesifik, kinerja ekspor menuju Turki di periode sama melandai sebanyak minus 49,79% (yoy) dibanding 2019. Nilainya melemah dari sekitar US$336,3 juta menjadi US$168,87 juta, pelemahan ini menyumbang 2,4% dari kontribusi penerimaan devisa ekspor.
"Hal ini patut menjadi perhatian kita, terlebih Turki merupakan negara tujuan ekspor produk tekstil terbesar keenam bagi Indonesia setelah AS, Jepang, China, Korea Selatan, dan Jerman," katanya dalam webinar 'Ekspor Produk Tekstil Indonesia-Turki: Tantangan dan Peluang', Jakarta, Selasa (27/10).
Instabilitas perdagangan global berperan dominan dalam pelemahan kegiatan perdagangan internasional, mulai dari perang dagang AS-China hingga terbaru pandemi global. Semuanya berperan pada peningkatan restriksi dan perlindungan domestik terhadap perdagangan dunia.
Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO meramal volume perdagangan dunia melemah hingga 9,2% pada 2020. Namun Kemendag menilai, Negeri Transkontinental ini lihai mengelola kebijakan perdagangan nasionalnya.
Sejauh ini, Turki menggunakan 50,5% konsensi tarif bea masuk impor kepada WTO, yang 43%-nya membebani produk industri. Artinya, 49,5% pos tarif Turki tidak dikonsesikan bea masuk impor milik WTO.
"Dengan demikian mereka bebas menaikkan atau menurunkan bea masuk impornya tanpa digugat negara anggota WTO yang lain," katanya.
Sejumlah produk, lanjutnya, yang dikaitkan dengan tarif WTO atau bound tariff, Turki mencatatkan beban bea yang lebih tinggi untuk beragam produk. Misalnya, bound tariff Turki sebesar 40%, sementara produk tekstil mulai dari serat, benang, dan kain jauh dibebani lebih tinggi di kisaran 92%.
Sejak 2014, Negeri yang juga terkenal dengan kebabnya juga telah menaikkan tarif rata-rata 26% untuk produk furnitur, peralatan medis, perkakas, besi baja, alas kaki, karpet dan tekstil. Hal ini ditempuh guna melindungi produk lokal sekaligus meningkatkan penerimaan negara.
"Dengan demikian tidak mengherankan ketika pandemi, Turki mengaktivasi instrumen tarif sebagai salah satu kebijakan luar biasa untuk menyelamatkan industrinya," ujarnya.
Teranyar, Turki menerapkan additional duties 4-50% kepada produk impor termasuk tekstil yang berlaku April-September 2020. Namun, pemerintah memperpanjang hingga penghujung tahun ini. Bea masuk tambahan hanya berlaku bagi negara yang belum memiliki perjanjian dagang dengan Turki.
Selain itu, kebijakan non-tarif atau NTM juga digalakkan pemerintah Turki. Rasionya mencapai 60,74% dari total arus impor Turki dan merupakan 10 besar negara dunia yang merapkan instrumen ini.
"Sektor tekstil salah satu yang paling terdampak instrumen ini. Sebanyak 792 pos tarif tekstil telah dikenakan NTM," katanya.
Menanggapi hal tersebut, Atase Perdagangan Indonesia di Turki Eric Nababan jajarannya bakal menyiapkan strategi khusus untuk meningkatkan kinerja ekspor TPT yang sudah terbentuk sebelumnya.
Pihaknya menilai, Turki merupakan negara yang sangat mengutamakan kepentingan yang akan terjalin. Ketiadaan kepentingan akan membuat Turki mengesampingkan negara lainnya.
Sementara Indonesia juga bisa melakukan dan meningkatkan daya tawar atas produk nasional dengan menghambat produk ekspor utama Turki dengan cara-cara yang dibenarkan perdagangan dunia. "Jadi, strategi retaliasi dagang juga bisa dilaksanakan," ujarnya.
Selanjutnya, peningkatan hubungan baik di sisi ekopolitik juga mutlak dijalankan oleh Indonesia-Turki. Kemendag juga bisa merealisasi perjanjian dagang dengan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif atau CEPA.
Ia optimistis dengan begitu kelancaran arus dagang kedua negara bisa membaik. "Dengan banyak kerja sama bisa jadi bargain kedua negara," katanya.
Langkah antisipasi perubahan potensi ekspor pada masa dan pasca pandemi dengan kajian komprehensif. Pihaknya akan menurunkan market intelligence yang turun langsung ke lapangan lewat survei bekerja sama dengan pihak terkait lainnya.
"Kode HS mana yang berpeluang besar untuk digenjot. Kami telah mengamati permintaan mana yang cukup tinggi namun dengan aliran suplai yang masih minim." ujarnya.
Peluang Ekspor TPT Dunia
Martin melanjutkan, pemerintah berkeras menjaga stabilitas kinerja ekspor komoditas serupa untuk meraih peluang pasar TPT yang lebih besar di tingkat global. Indonesia tidak akan mudah melepas Turki dari kegiatan ekspor yang sudah terjalin selama ini.
Hal ini dinilai strategis bagi Indonesia. Posisi Turki membentang dari Eropa bagian tenggara hingga Asia Barat, posisi ini bisa dimanfaatkan sebagai negara penghubung untuk menembus pasar Timur Tengah, Eropa, hingga Afrika bagian Utara.
"Pasar Turki cukup menantang bagi ekspor tekstil nasional. Sejatinya juga memiliki potensi cukup besar bagi industri tekstil kita," katanya.
Selanjutnya, negara tujuan ekspor yang sama juga dikenal sebagai negara produsen tekstil dan garmen utama dunia. Turki merupakan pemasok keenam dunia dan ketiga di Eropa.
"Dengan demikian eksportir kita bisa menjadi pemasok bahan baku atau intermediate goods TPT berkualitas tinggi yang masuk ke dalam rantai nilai pasok Turki," ujarnya.
Kemendag mencatat, kinerja ekspor produk tekstil nasional mengalami tren pelambanan medio 2017–2019 sebesar 5,26%. Jumlah total perdagangan berangsur-angsur melemah dari US$537,15 juta, US$489,86 juta dan US$482,1 juta. (Khairul Kahfi)