17 Juni 2020
10:01 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Pembukaan keran ekspor benih lobster dinilai mengabaikan status over exploited komoditas tersebut di 11 wilayah perikanan Indonesia. Pemberian izin ekspor sebelum ada peraturan pelaksana Permen 12/2020 juga dinilai hanya mengejar kepentingan ekonomi sesaat.
Hal tersebut diserukan pengamat sektor perikanan yang juga Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim kepada wartawan, Selasa (16/6). Ia menganggap saat ini Menteri Kelautan dan Perikanan teledor.
Tak hanya berstatus over exploited, budidaya khususnya pembenihan dan pembesaran di dalam negeri tengah giat-giatnya dilakukan masyarakat di banyak sentra budidaya lobster. Mulai dari Lombok, Sumatra, Jawa Barat sampai Aceh.
“Di tengah menggeliatnya usaha budidaya dalam negeri, justru diabaikan,” cetusnya.
Kemudian, lanjut Halim, Permen 12/ 2020 tidak didasarkan pada hasil kajian yang ada. Ia merujuk UU Perikanan yang menyebutkan, setiap kegiatan pengelolaan perikanan untuk jenis lobster, harus didahului hasil kajian.
Sementara, hasil kajian dari komisi nasional sumber daya ikan, terakhir dilakukan tahun 2017. Artinya, kajian tersebut dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya yang justru melarang ekspor benih lobster.
“Menteri Kelautan saat ini membolehkan ekspor benih lobster tapi tidak punya dasar. Ini bagaimana, status kajiannya merah dan kuning kok bisa diekspor?” cetusnya.
Selanjutnya, ia juga mempermasalahkan penerbitan izin kepada 18 lebih perusahaan eksportir benih lobster yang terbit tanpa didahului adanya peraturan pelaksana dari Permen 12/2020.
“Itu (permen 12/2020) belum ada peraturan pelaksananya. Setelah ada juklak-juknis baru kemudian bisa dilaksanakan uji, termasuk dilihat rekam jejak apakah perusahaan pengekspor ini pernah melakukan budidaya,” tuturnya.
Ia menegaskan, pemberian atau aktivitas ekspor yang sudah berjalan ini merupakan suatu pukulan kepada penegak hukum yang begitu mudahnya dikalahkan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek dan mengabaikan aturan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
Pengamat ekonomi kelautan Suhana dalam kajiannya bertajuk Lobsternomics menyebutkan upaya menjaga stok lobster di alam sangat penting. Pasalnya, sampai saat ini produksi komoditas tersebut masih sangat tergantung pada pasokan dari alam.
Mengutip FishStat, ia menyebutkan pada periode 2010-2016, porsi budidaya lobster hanya mencapai 0,46% dari produksi dunia. Sisanya, 99,54% diperoleh dari tangkap.
Beberapa negara, lanjutnya, telah melarang aturan penangkapan benih lobster guna menjaga kelestarian sumber daya di alam. Termasuk, Australia, Inggris, Honduras, Nikaragua dan India.
Lampaui Aturan
Tak hanya aturan pelaksana Permen 12/2020 yang belum rampung. Hingga kini, Peraturan Menteri Keuangan terkait ekspor benih lobster dan mekanisme pungutan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) masih digodok Kementerian Keuangan dan Kementerian Kelautan Dan Perikanan (KKP).
Namun, di saat aturan final belum dikeluarkan, sudah ada dua perusahaan yang mengekspor benih bening lobster (puerelus) sebanyak 14 koli pada Jumat (12/6) lalu.
Karena kebutuhan untuk cepat melakukan ekspor, dikabarkan, KKP sendiri mengusulkan untuk diterapkan penarikan PNBP Khusus, sambil menanti adanya aturan yang tetap.
“Tampaknya hal itu (PNBP khusus) ada diusulkan juga oleh KKP, dan lagi kami koordinasikan bersama,” kata Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani kepada wartawan di Jakarta, Senin (15/6).
Saat ditanya lebih jauh, akan dimasukan ke pos PNBP apa, Askolani belum bisa menjelaskan lebih rinci mengingat revisi PP PNBP KKP saat ini masih dibahas. “Hal itu lagi dikaji,” serunya.
Direktur PNBP Kemenkeu Wawan Sunarjo saat dimintai penjelasannya mengatakan, sepengetahuannya, tidak diatur mekanisme khusus PNBP untuk udang. “Yang ada perizinan kapal dan izin tangkap. Cek PP PNBP KKP. Kalau masalah ekspornya ada di BC (Bea Cukai),” ucapnya.
Kepala Subdirektorat Komunikasi Dan Publikasi Direktorat Jenderal Bea Cukai Deni Surjantoro sendiri membenarkan, Jumat (12/6), ada dua perusahan yakni PT ASSR dan PT TAM yang mengekspor benih lobster ke Vietnam. Ia merinci, PT ASR mengirimkan live lobster fry kurang lebih 7 koli atau sekitar 37.500 ekor. Sementara, PT TAM mengirim juga live lobster fry kurang lebih 7 koli dengan 60 ribu ekor benih hidup.
Deni menjelaskan, barang kiriman tersebut masuk di dalam sistem DJBC, Jumat (12/6) sekitar pukul 12.30. “Karena masuk dalam sistem berarti persyaratan sudah ada di dalam sistem, yaitu sertifikat karantina ikan termasuk di dalamnya kuitansi PNBP,” tuturnya.
Menurut Deni, pihaknya sudah mengonfirmasi ulang ke Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kementerian Kelautan dan Perikanan di bandara Soekarno Hatta, sebelum barang diizinkan untuk diekspor.
“Menurut mereka sudah betul dan memenuhi persyaratan. Intinya dari BC selama syarat lengkap, kami merilis. Kemudian mengenai Permen KKP nomor 12 itu diundangkan tanggal 5 Mei 2020. Dalam Permen itu disebut bahwa Permen KPP terdahulu No 56 (2016) dicabut dan tidak berlaku. Setelah konfirmasi ulang kami menyetujui ekspor itu,” ucapnya.
Pada kesempatan berbeda, sumber di DJBC sempat menyebut, benih lobster yang akan diekspor, sempat disegel DJBC Soekarno-Hatta. Pasalnya, saat itu, eksportir tidak memenuhi persyaratan bea keluar dan PNBP, kuota, serta ukuran sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020.
Untuk diketahui, sebelum ekspor dilakukan, perusahaan pengekspor seharusnya lebih dulu melunasi PNBP per benih yang besarannya Rp 5.000 per ekor. Namun, faktanya, ekspor tetap bisa dilakukan dengan armada carter (VN 5630) pada 12 Juni pukul 14.30 dari Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta WIB dengan tujuan Kota Chi Minh City.
Sebagai informasi, berdasarkan FistStat 2018, terdapat tujuh produsen utama lobster budi daya, yakni Vietnam, Indonesia, Singapura, Filipina, Singapura, Srilanka dan Bahama.
Pada 2016, produksi lobster budi daya mencapai 1.628 ton. Sebanyak 85,27% datang dari Vietnam. Indonesia berada di urutan kedua dengan sumbangan sebesar 9,83%.
Sementara, Indonesia berada di urutan keenam dari 10 negara produsen utama lobster tangkap. Kesepuluh negara itu adalah Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Australia, Chile, Irlandia, Indonesia, Bahama, Nikaragua dan Honduras.
Indonesia memproduksi lobster tangkap 8.014 ton atau 2,66% dari total produksi dunia di 2016.
Baca Juga:
Namun, Koordinator Penasihat Menteri KKP Rokhmin Dahuri justru berpendapat, kebijakan ekspor benih lobster ini merupakan kebijakan yang tepat dari sisi ekonomi dan ekologi. Ia menuturkan, saat KKP dipimpin Susi Pudjiastuti, semua penangkapan benih lobster dilarang, baik untuk budidaya sendiri apalagi ekspor.
Padahal, survival rate (kemampuan hidup benih lobster hingga dewasa) budidaya lobster di Indonesia saja hanya sebesar 30%. Jauh dibandingkan dengan survival rate Vietnam yang mencapai 70%–80%. Jika di alam liar, lobster yang mampu hidup sampai dewasa hanya 0,01% dari total jumlah benih.
“Jadi ekspor secara terbatas ini sudah benar, apalagi banyak orang terdampak covid-19, jika benih dibeli sekitar Rp10 ribu per ekor, maka akan ada perputaran sekitar Rp3,6 triliun, di NTB, NTT, selatan Jawa, Nias dan lainnya,” tuturnya.
Asumsi Rp3,6 triliun itu muncul dari rata-rata jumlah benur yang bisa diekspor yakni sejuta ekor per hari, dengan harga rata-rata sekitar US$3 perekor. (Faisal Rachman, Fin Harini)