c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

28 Maret 2020

14:06 WIB

Dua Opsi Kontrak Migas Tak Cukup Tarik Investor

Perlu kebijakan ekstra gairahkan invetasi sektor migas nasional

Editor: Fin Harini

Dua Opsi Kontrak Migas Tak Cukup Tarik Investor
Dua Opsi Kontrak Migas Tak Cukup Tarik Investor
Fasilitas anjungan lepas pantai Ruby. Antarafoto/firman

JAKARTA – Dibukanya dua opsi kontak minyak dan gas (migas) di tengah harga minyak dunia yang terus amblas dinilai tak cukup menarik investor migas ke tanah air. Tingginya risiko pengelolaan migas di Indonesia menggerus keterjaminan keberlangsungan kotrak.

“Bila hanya tersedia menu seperti yang sekarang ada, baik cost recovery maupun gross split, agak sulit investor migas besar kelas dunia untuk mampir ke Indonesia. Sebab uang tidak mengenal kewarganegaraan dan tidak mengenal nasionalisme,” kata mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini kepada Validnews, Sabtu (28/3).

Saat ini, pemerintah membuka opsi bagi investor untuk memilih skema yang dianggap paling menguntungkan. Opsi tersebut adalah production sharing contract (PSC) dengan cost recovery. Ini berarti perusahaan yang menjadi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) menalangi dulu biaya yang dikeluarkan, mulai dari mencari minyak hingga nantinya berproduksi.

Nantinya setelah minyak atau gas dijual, hasilnya disisihkan 10% untuk negara terlebih dulu. Lalu, dikurangi cost recovery atau biaya operasional yang telah dikeluarkan KKKS dan biaya penyusutan. Lantas, sisanya baru dibagi berdasarkan kontrak yang sudah disepakati antara negara dan KKKS. Rumusannya adalah 85% negara dan 15% perusahaan untuk minyak, dan 70% negara dan 30% perusahaan untuk gas.

Opsi kedua adalah gross split. Dalam opsi ini tak ada cost recovery. Bagi hasil ditentukan di depan, berdasarkan perkiraan harga minyak dan produksi. Dalam skema ini, semua biaya produksi yang dikeluarkan ditanggung oleh perusahaan.

Keduanya memiliki kesamaan, yakni bila ekplorasi gagal menemukan minyak dan gas, biaya yang dikeluar tak akan diganti oleh pemerintah.

Rudi menilai, kedua skema tersebut tetap mengandung risiko keuangan yang tidak kecil bagi investor. Apalagi saat ini potensi lapangan migas di Indonesia berada di kawasan yang sulit dijangkau. Kebanyakan di tempat frontier dan offshore, yang memerlukan teknologi tinggi dan biaya yang tak sedikit. Jadi baik itu skema net profit split seperti dalam skema cost recovery, maupun gross split, bagian yang diberikan kepada investor harus lebih menarik.

Lebih-lebih skema gross split yang sekarang berlaku dinilai tidak seperti tujuan semula. Skema itu seharusnya bisa meningkatkan efisiensi dan debirokratisasi. Serta meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dengan pemberdayaan sumber daya manusia dalam negeri yang lebih murah, tapi dengan split yang lebih menarik.

Di sisi lain, faktor nasionalisasi yang sangat menguat akhir-akhir ini turut memengaruhi minat berinvestasi. Ia menilai, daya tarik berinvestasi di bidang migas di Indonesia sudah sangat rendah.

Hal itu terlihat dari hengkangnya investor-investor besar (multinational corporation) dari Indonesia dalam delapan tahun terakhir ini. Sampai saat ini belum ada satu pun investor besar pengganti yang datang ke tanah air.

Oleh karena itu, untuk bisa menarik Investor besar ke Indonesia dari sisi regulasi perlu ada skema bisnis yang lebih menarik. Juga, adanya jaminan kepastian kontrak.

Dari sisi operasional, pemerintah harus menjamin adanya perlindungan dari tumpang tindih kepentingan pemerintah pusat dan daerah serta tumpang tindih peraturan antar instansi. Penerimaan masyarakat yang kondusif pada investor di daerah juga menjadi hal yang harus dijamin.

“Dari sisi teknis adalah tersedianya informasi yang cukup dan mudahnya akses untuk mendapatkan data. Dari sisi birokrasi adalah perlu banyak pemangkasan izin yang berulang-ulang untuk syarat yang sama,” terang Rudi.

Sebelumnya, pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM menargetkan investasi ke sektor migas nasional akan bisa menyentuh US$117 miliar hingga 2024. Total investasi tersebut diyakini dapat diperoleh secara bertahap di mulai dari 2020 sebesar US$15 miliar dan US$20 miliar pada 2021. Kemudian berturut-turut nilainya akan naik pada 2022 (US$$5 miliar), 2023 (US$29 miliar), dan 2024 (US$28 miliar).

Optimisme penetapan target investasi migas ini disebut dibuat dengan mempertimbangkan realisasi investasi 2019 yang menyentuh US$12,5. Nilainya memang mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir, terutama di sektor hulu migas.

Investasi hulu migas tercatat senilai US$11,49 miliar pada 2019 atau meningkat dibandingkan dengan capaian 2017 yang senilai US$10,27 miliar.

Untuk diketahui porsi investasi di sektor migas dalam lima tahun terakhir rata-rata sebesar 42,57% dari total investasi sektor ESDM. Tahun lalu total investasi sektor ESDM mencapai US$31,9 miliar, atau 96% dari target yang ditetapkan US$33,4 miliar.

Rincian realisasi investasi tersebut US$12,5 miliar di subsektor migas dan US$12 miliar untuk ketenagalistrikan. Realisasi investasi minerba dan energi baru terbarukan masing-masing mencapai US$5,9 miliar dan US$1,5 miliar.

Sedangkan tahun ini, pemerintah menargetkan sebesar US$35,9 miliar.

Proyeksi Pasar Global
Terkait kondisi pasar minyak dunia, Rudi Rubiandini menilai turunnya harga minyak yang signifikan sebenarnya bukan diawali dengan kasus Corona kemudian Arab Saudi menggelontorkan produksinya. Dua kasus ini menurutnya terjadi terpisah dan sebelumnya tidak berhubungan. Walaupun kini dua faktor tersebut sudah saling menguatkan sehingga membuat harga minyak kian meresot.

Sebelumnya perseteruan antara OPEC dan Rusia sudah terjadi. Arab Saudi pun lalu membatalkan kesepakatan dan akhirnya menaikan poduksi 1-2 barrel per hari. Rusia melakukan hal serupa sebelumnya, sehingga harga jatuh dari US$60 menjadi sekitar US$30 per barrel.

Sementara dengan munculnya pandemic covid-19 membuat kegiatan ekonomi dunia jelas merosot. Pemanfaatan transportasi yang turun drastis, begitu pula pemanfaatan fasilitas umum yang terhenti. Saat yang sama, sektor industri banyak mengurangi kegiatan sebagai langkah pencegahan penyebaran. Alhasil permintaan akan minyak dan gas juga akan turun drastis.

“Akibat dari efek corona ini jelas akan menurunkan permintaan minyak dunia, bersamaan dengan turunnya harga minyak karena perseteruan Arab Saudi  vs Rusia. Maka, harga minyak dunia yang kini hanya US$30 per barrel sangat sulit untuk kembali pada kesetimbangan di US$50-70 per barrel dalam waktu yang dekat,” terang mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral periode 2012-2013 itu.

Di satu sisi kata dia, kondisi ini menguntungkan bagi negara-negara yang tergabung dalam G20 sebagai konsumen minyak terbesar di dunia. Dengan harga minyak murah maka belanja para industriawan di negara G20 akan menjadi lebih ringan.

Akan tetapi di sisi lain perusahaan minyak yang besar dan perusahaan kontraktor penunjangnya juga berasal dari negara-negara G20. Mereka telah melakukan investasi hampir di seluruh dunia. Sehingga, jika harga minyak dibiarkan diobral murah terus menerus, akan menjadi beban juga bagi 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu.

“Mereka juga khawatir bila harga terlalu murah yang mengakibatkan tidak ekonomisnya usaha minyak di beberapa negara dalam waktu yang terlalu lama terjadi akan menghancurkan kemampuan perusahaan yang berasal dari G20 tersebut,” jelas Rudi.

Rudi memprediksi bahwa ke depan G20 akan mengajak produsen besar minyak dunia yaitu dari negara OPEC, Rusia, China, dan OECD untuk menyeimbangkan kembali supply agar disesuaikan dengan permintaan. Hal ini supaya harga komoditas ini kembali masuk dalam kesetimbangan baru yang memungkinkan kedua belah pihak, baik produsen dan konsumen, bisa sama-sama kembali ekonomis. Misalnya mengembalikan ke harga US$50-70 per barrel.

Untuk diketahui, sejumlah perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia sudah memangkas pengeluaran tahun ini. Hal ini menyusul jatuhnya harga minyak yang didorong oleh penurunan permintaan karena coronavirus dan perang harga antara top eksportir Arab Saudi dan Rusia.

Pemangkasan pengeluaran sudah diumumkan oleh lima perusahaan minyak utama termasuk Saudi Aramco dan Royal Dutch Shell. Gabungan pemangkasan pengeluaran keduanya mencapai US$19 miliar, atau setara 18% dari rencana pengeluaran awal mereka US$ 106 miliar.

Selain itu Norwegia Equinor mengatakan pada hari Rabu (25/3) pihaknya akan memangkas pengeluaran modal sekitar US$2 miliar. Sementara Chevron mengatakan pada hari Selasa akan memangkas belanja modal tahun ini sebesar US$4 miliar.

Perusahaan minya raksasa lainnya, AS Exxon Mobil Corp dan BP Inggris mengatakan mereka akan memangkas pengeluaran modal tetapi belum memberikan angka spesifik.

Investor juga mengatakan jika krisis saat ini berkepanjangan, pemotongan belanja yang diumumkan oleh perusahaan minyak besar mungkin tidak cukup untuk mempertahankan dividen tanpa menambah tingkat utang yang sudah meningkat.

Untuk diketahui gabungan hutang Chevron, Total, BP, Exxon Mobil dan Royal Dutch Shell mencapai US$231 miliar pada akhir tahun 2019. Selisih sedikit dari kondisi pada tahun 2016 ketika harga minyak juga jatuh di bawah US$30 per barel. Kala itu, hutang gabungan perusahaan minyak rakysasa dunia mencapai US$235 miliar. (Bernadette Aderi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar