17 Oktober 2018
14:50 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Indeks Daya Saing Global 4.0 dengan metodologi baru edisi 2018 yang dirilis oleh World Economic Forum (WEF) di Jenewa, Swiss, pada Selasa (16/10) menempatkan Indonesia di peringkat ke-45 dari 140 negara. Peringkat tersebut naik sedikit dari sebelumnya di posisi 47.
Posisi Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand yang masing-masing menempati posisi kedua, ke-25 dan ke-38. Namun, Indonesia bisa mengungguli Meksiko (46), India (58), Turki (61), dan Brazil (72).
Terdapat 12 pilar atau indikator yang diteliti, yakni institusi, infrastruktur, adopsi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), stabilitas makroekonomi, kesehatan, kemampuan, pasar produk, pasar tenaga kerja, sistem finansial, ukuran pasar, dinamisme bisnis, dan kapabilitas inovasi.
Tiga skor tertinggi Indonesia berasal dari pilar stabilitas makroekonomi (skor 90), kemudian ukuran pasar (skor 82), dan kesehatan (skor 72). Skor stabilitas makroekonomi Indonesia tercatat nomor 51 di dunia dan ukuran pasarnya nomor 8 di dunia.
Untuk skor terendah bagi Indonesia salah satunya adalah pilar institusi yang mendapat skor 58. Dan paling rendah adalah kapabilitas inovasi yang mendapat skor 37. Untuk diketahui, institusi di sini melingkupi bermacam aspek, seperti keamanan, modal sosial, performa sektor publik, serta check and balances yang melingkupi transparansi anggaran, independensi yudisial, efisiensi kerangka hukum, serta kebebasan pers.
Laporan daya saing global 2018, menyebutkan, di tengah perubahan teknologi yang cepat, polarisasi politik dan pemulihan ekonomi yang rapuh, sangat penting untuk mendefinisikan, menilai, dan mengimplementasikan jalur baru pertumbuhan dan kemakmuran.
Dengan produktivitas menjadi penentu paling penting dalam pertumbuhan dan pendapatan jangka panjang, Global Competitiveness Index 4.0 baru, menyoroti serangkaian faktor-faktor penting yang muncul untuk produktivitas dalam Revolusi Industri Keempat (4IR).
Perubahan metodologi dalam pemeringkatan WEF, yang lebih berorientasi menuju pertumbuhan berbasis teknologi di masa depan, juga telah menggusur Swiss dari peringkat pertama daya saing global yang telah bertengger selama sembilan tahun berturut-turut. Swiss kini lengser ke tempat keempat, digantikan oleh Amerika Serikat.
Peringkat tahun lalu, dengan metodologi yang berbeda, menempatkan Amerika Serikat di posisi kedua ekonomi paling kompetitif di dunia. Selanjutnya peringkat kedua diduduki oleh Singapura, posisi ketiga ditempati Jerman, posisi keempat Swiss dan kelima Jepang.
Amerika Serikat dari skor makroekonomi mendapat nilai sempurna, yaitu 100. Ukuran pasar dan sistem finansialnya masing-masing mendapat skor 99 dan 98. Skor AS paling rendah adalah di pilar adopsi TIK, yakni 71
"AS mendapat nilai 85,6 yang pada dasarnya berarti itu masih sekitar 14 poin dari batas daya saing," kata Saadia Zahidi, seorang anggota dewan pelaksana WEF seperti dikutip oleh Reuters.
Pakar WEF itu menyangkal, analisis telah diubah untuk menyanjung Presiden AS Donald Trump, yang menjadi orang paling penting di pertemuan tahunan WEF di Davos pada Januari lalu dan membawa pesan America First kepada para elite dunia.
"Indeks lama dan indeks baru adalah apel dan jeruk. Alasan indeks baru telah dibangun adalah karena kita sudah belajar begitu banyak tentang apa yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan pendapatan dalam jangka panjang," kata Zahidi.
Sebanyak 98 indikator dalam indeks diambil dari lembaga-lembaga internasional dan survei para eksekutif perusahaan dan sebagian besar mencerminkan kebijakan jangka panjang, seperti berinvestasi dalam keterampilan digital, katanya.
Itu berarti Swiss butuh waktu untuk memenangkan kembali peringkat pertama. Zahidi mengatakan itu adalah pilar inovasi tetapi diperlukan bekerja pada pola pikir kewirausahaan.
Di Eropa, Jerman berhasil mendapat posisi tertinggi di posisi 3. Jerman memiliki skor sempurna di pilar stabilitas makroekonomi, diikuti oleh kesehatan (skor 94), infrastruktur (skor 90), dan inovasi (skor 88).
Sedangkan Jepang, Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan juga berhasil mencapai 15 besar. Sementara, Tiongkok harus puas di posisi 28. Senada dengan AS, China berhasil unggul di ukuran pasar (skor 100) dan stabilitas makroekonomi (skor 98). Namun, negara itu rendah di pilar institusi (skor 55).
10 Besar
Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyampaikan, dengan industri 4.0, Indonesia ditargetkan menjadi bagian dari 10 negara dengan perekonomian terbesar di dunia pada 2030.
"Guna mencapai target tersebut, Indonesia telah meluncurkan peta jalan Making Indonesia 4.0, sebagai strategi menerapkan revolusi industri generasi keempat," kata Airlangga
Selain itu, lanjutnya, revolusi industri 4.0 juga memberikan arah jelas bagi pengembangan industri nasional yang berdaya saing global di masa depan. Airlangga menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara pada diskusi panel Industrial Transformation Asia-Pacific (ITAP) 2018 di Singapura.
Dia memaparkan, hal tersebut ditopang melalui peningkatan kembali nett ekspor 10% kepada PDB, peningkatan output sekaligus mengatur pengeluaran biaya hingga dua kali dari rasio produktivitas biaya saat ini, dan pengembangan kapabilitas inovasi industri melalui alokasi anggaran 2% untuk kegiatan R&D.
Menurut Menperin, selama ini industri manufaktur konsisten memberikan kontribusi signifikan bagi PDB Indonesia. "Industri manufaktur berperan penting menjadi tulang punggung perekonomian nasional, karena memberi efek yang luas bagi peningkatan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, penambahan pajak dan cukai, serta penerimaan devisa dari ekspor," tuturnya.
Pada triwulan II tahun 2018, industri pengolahan nonmigas masih menunjukkan kinerja yang positif, dengan tumbuh hingga 4,41% atau lebih tinggi dibandingkan capaian di periode yang sama tahun lalu sebesar 3,93%. Bahkan, sektor manufaktur menjadi kontributor terbesar bagi PDB nasional yang tercatat di angka 19,83%.
Riset terbaru yang dirilis oleh Microsoft dan IDC Asia/Pacific mengungkapkan, transformasi digital dapat melipatgandakan pendapatan di sektor manufaktur. Ada tambahan sebesar 387 miliar dolar AS dalam kurun waktu lima tahun (2016-2021) pada produk domestik bruto (PDB) di kawasan Asia Pasifik, sehingga akan menjadi US$8.399 triliun pada 2021.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), PDB Indonesia pada 2017 tercatat mencapai Rp13.588,8 triliun. Perolehan itu di atas Belanda, Turki, dan Swiss, sehingga mengukuhkan Indonesia sebagai negara dengan perekonomian terbesar di kawasan Asia Tenggara.
"Jadi, sekarang Indonesia sudah masuk one trillion dollar club dan berada dalam jajaran 20 negara dengan PDB terbesar di dunia," ungkap Airlangga. Bahkan, McKinsey selaku perusahaan konsultan manajemen multinasional, memproyeksi Indonesia dapat membuka peluang bisnis dan meningkatkan PDB hingga 3,7 triliun dolar AS pada tahun 2030. (Faisal Rachman)