c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

13 November 2019

09:00 WIB

Dahana Minta Industri Strategis Domestik Lebih Bermain di Alutsista

Sumbangan dari sektor militer hanya menopang kurang 5% dari total pendapatan Dahana pada 2018

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Dahana Minta Industri Strategis Domestik Lebih Bermain di Alutsista
Dahana Minta Industri Strategis Domestik Lebih Bermain di Alutsista
Direktur Utama PT Dahana Budi Antono di Jakarta, Selasa (12/11/2019) membawa contoh detonator bom produksi dalam negeri. PT Dahana tahun 2018 membukukan pendapatan usaha bersih sebesar Rp1,311 triliun dari produksi bahan peledak untuk tambang dan militer ANTARA/Afut Syafril

JAKARTA – PT Dahana (Persero) berharap industri strategis dalam negeri bisa menyediakan lebih banyak kebutuhan alutsista nasional. Apalagi saat ini, proses inisiasi sedang dilakukan untuk pembentukan holding BUMN di sektor strategis dengan label National Defense and Hightech Industries (NDHI).  

“Kita hitung kira-kira yang dibeli oleh TNI itu 13%. Kita maunya 35% dengan lebih banyak dari produksi dalam negeri, kata Direktur Utama Budi Antono di sela acara “Ngopi BUMN” di Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (12/11).

Menurutnya, seharusnya komite kebijakan industri pertahanan (KKIP) bisa membeli produk industri strategis nasional. Terlebih jika memang produknya sudah memiliki sertifikasi.

Sayangnya, ia mengemukakan, di PT Dahana saja porsi pendapatan usaha sektor militer masih sangat minim. Sebagai perusahaan pelat merah di bidang bahan peledak, tahun 2018 lalu sumbangan dari sektor militer disebut hanya menopang kurang 5% dari total pendapatan tahun lalu yang mencapai Rp1,9 triliun.

Pendapatan usaha perusahan paling besar porsinya berasal dari usaha tambang umum dengan nilai Rp1,16 triliun. Di susul di belakangnya ada kontribusi sektor konstruksi sebesar Rp518 miliar dan sektor migas Rp213 miliar. Sementara itu, sumbangsih sektor militer hanya Rp92,6 miliar.

Tahun 2019, perseroan memasang target tinggi pada sektor ini. Diharapkan sumbangsih dari sektor militer bisa mencapai dua kali lipat daripada tahun sebelumnya. Kenaikan ini, kata dia, berasal dari proyek pembuatan bom untuk pesawat Sukoy yang jumlahnya sebanyak 1.100 unit.

“Kami optimis 2020 militer itu sudah meningkat lagi karena kami sudah mengubah struktur organisasinya dahana. Awalnya itu supervisor, sekarang ada manager. Nanti kalau sudah sampai Rp300 miliar ada GM (general manager.red). Jadi, kita bertahap,” ungkapnya.

PT Dahana sendiri berencana akan membangun pabrik propelan. Lokasinya masih satu kompleks dengan milik Kementerian Pertahanan di Subang. Budi memperkirakan proyek ini memerlukan investasi sebesar Rp2,3 Triliun yang harapannya akan didanai oleh pemerintah.

“Kira-kira nanti PDN, pembiayaan dalam negeri. Butuh Rp2,3 Triliun kalau dibiayai Dahana kan gak bisa makanya oleh pemerintah,” kata dia.

Dengan adanya pabrik ini, menurut Budi, indonesia sudah tidak perlu lagi melakukan impor propelan. Pasalnya, pabrik ini memiliki kapasitas 600 ton propelan per tahun. Sementara tiap tahunnya, Pindad diperkirakan mengimpor 250 ton untuk keperluan pembuatan peluru.

“Nanti Pindad menyerap 600 ton (propelan). Tapi misalkan Pindad belum bisa menyerap 600 ton per tahun, kita bisa ekspor. Kita perjanjian dengan Belgia atau Itali, Mereka akan menyerap kalau misalkan kelebihan/ over supply (produksi dalam negeri),” tutur Budi.

Dengan memproduksi propelan di dalam negeri, ia meyakini kemampuan produksi peluru dalam negeri juga akan semakin meningkat. Jadi jika semula per tahun 14 butir peluru untuk seorang prajurit, nantinya ketersediaan peluru untuk prajurit bisa ditingkatkan sampai dua kali lipat.

Mengenai kinerja keuangan, PT Dahana memperkirakan pendapatan perseroan tahun ini menurun menjadi Rp1,8 triliun. Nilai tersebut lebih kecil sekitar 9,09% dibandingkan pendapatan pada tahun 2018. Penurunan pendapatan dipicu tergerusnya pendapatan dari sektor tambang. Padahal, sektor tambang berkontribusi terhadap kurang lebih 64,44% dari pendapatan perusahaan.

“Apalagi tambang batu baru selama 10 bulan turun harganya dari US$90 menjadi US$60 dolar per ton. Kalau sudah turun, owner batu bara ingin harganya murah (produksi.red). Jadi daripada lepas, mending profitnya dikit saja tidak masalah,” kata dia.

Namun, persaingan dalam menyuplai kebutuhan untuk pertahanan nyatanya juga berkontribusi terhadap penurunan pendapatan yang terjadi tahun ini sendiri menurutnya terjadi karena banyaknya persaingan di dalam negeri. Saking menggiurkannya industri ini, sekarang ada 10 badan usaha bahan peledak (BU-Handak) yang sudah diresmikan Kementerian Pertahanan.

Masalahnya BU-Handak lainnya seringkali bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan asing, sementara PT Dahana memilih untuk independen. Alhasil, perseroan mau tak mau harus menekan profit ketimbang kalah saing dengan harga yang ditawarkan perusahaan lain. (Bernadette Aderi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar