10 November 2020
17:26 WIB
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Koordinasi yang solid akan terus dilakukan antara Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan atau OJK, Bank Indonesia dan lembaga Penjamin Simpanan atau LPS dalam menghadapi kondisi perekonomian.
"Selain untuk menjaga stabilitas sistem keuangan juga di dalam rangka untuk terus mendorong akselerasi pemulihan ekonomi menggunakan instrumen yang kita miliki," jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Forum Diskusi Sektor Finansial, Jakarta, Selasa (10/11).
Sri Mulyani menegaskan berbagai upaya bersama untuk menangani dan menanggulangi krisis akan dilakukan. Termasuk pada gap dalam penanganan sektor perbankan oleh Bank Indonesia, OJK, dan LPS.
"Contohnya di dalam peraturan perundang-undangan yang kita miliki, dengan adanya Bank Indonesia, OJK, LPS, kita melihat penanganan untuk sektor perbankan masih ada gap di antara ketiga institusi," katanya.
Oleh karena itu, Sri Mulyani menuturkan, pihaknya menyambut gembira MoU antara OJK dan Bank Indonesia untuk mempersempit gap antara kedua lembaga dalam menangani perbankan.
“Sistem perbankan bisa semakin membaik dan semakin erat," sambungnya.
Ia juga menyambut baik inisiatif Bank Indonesia untuk melakukan redesigning pinjaman likuiditas jangka pendek atau PLJP. Pinjaman ini guna mengatasi masalah likuiditas jangka pendek perbankan karena arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar dalam rupiah, yang dapat membuat bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM.
Mantan Direktur Bank Dunia itu juga menambahkan, pihaknya selalu berharap yang terbaik dari adanya ancaman terhadap sistem keuangan.
Dia juga mengapresiasi kerja sama antara OJK dan LPS di dalam melakukan monitoring dan potensial penanganan terhadap bank-bank yang mengalami persoalan.
Dalam rapat KSSK sebelumnya, Stabilitas sistem keuangan (SSK) kuartal III/2020 dinilai tetap terjaga sehingga dapat menopang pemulihan ekonomi yang berangsur membaik.
Indikator stabilitas sistem keuangan disebut tetap berada pada kondisi normal di tengah masih tingginya ketidakpastian sebagai dampak dari pandemi covid-19.
Ia menyebutkan, krisis disebut selalu menjadi ajang ujian bagi stabilitas sistem keuangan. Karena itu, Komite Stabilitas Sistem Keuangan atau KSSK mengantisipasi dan mewaspadai kondisi perekonomian. KKSK juga disebut telah belajar dari krisis-krisis sebelumnya.
Jaga Independensi
Sri Mulyani mengatakan, meski terus berkoordinasi, Kementerian Keuangan akan tetap menjaga independensi Bank Indonesia di sisi otoritas moneter.
"Kita akan tetap berkoordinasi dengan Bank Indonesia dengan tetap menjaga independensi dari otoritas moneter," kata dia.
Sri Mulyani bilang, Bank Indonesia tetap menetapkan sendiri langkah di bidang moneter. Menyangkut suku bunga, GWM, likuiditas, dan kebijakan makropudensial.
Langkah tersebut, lanjutnya, akan terus bersama-sama dijalankan pula dengan OJK serta pemerintah karena menyangkut pertumbuhan ekonomi.
"Jadi koordinasi berjalan secara sangat erat karena kita tahu tidak mungkin satu institusi dan satu otoritas bisa menghadapi masalah covid-19 ini," ujar Sri Mulyani.
Seperti diketahui, pembiayaan penanganan pandemi covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional dipenuhi melalui skema berbagi beban atau burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia dalam Surat Keputusan Bersama (SKB).
Pada SKB pertama, Bank Indonesia dimungkinkan untuk membeli SBN dari pasar primer. Sementara pada SKB kedua, pemerintah dan Bank Indonesia mengambil langkah burden sharing yang didasarkan pada kelompok penggunaan pembiayaan untuk public goods/benefit dan non-public goods/benefit.
Pembiayaan public goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan Rp87,55 triliun, perlindungan sosial Rp203,9 triliun, serta sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan pemda Rp106,11 triliun.
Sedangkan pembiayaan untuk non-public goods yang menyangkut upaya pemulihan ekonomi dan dunia usaha, terdiri dari pembiayaan UMKM Rp123,46 triliun, Korporasi non-UMKM Rp53,57 triliun, dan non-public goods lainnya.
Untuk pembiayaan public goods, seluruh beban akan ditanggung Bank Indonesia melalui pembelian SBN menggunakan mekanisme private placement dengan tingkat kupon sebesar BI reverse repo rate yaitu Bank Indonesia akan mengembalikan bunga atau imbalan yang diterima kepada pemerintah secara penuh.
Untuk pembiayaan non-public goods bagi UMKM dan Korporasi non-UMKM akan ditanggung pemerintah melalui penjualan SBN kepada market dan Bank Indonesia berkontribusi sebesar selisih bunga pasar atau market rate dengan BI reverse repo rate tiga bulan dikurangi 1%.
Berdasarkan data APBN KiTa edisi Oktober 2020, pemerintah telah menerbitkan SBN sebesar Rp1.089,5 triliun sampai dengan akhir September 2020, terdiri dari penerbitan SUN sebesar Rp610,0 triliun dan SBSN sebesar Rp296,0 triliun, dan SUN Public Goods (SKB II) sebesar Rp183,5 triliun.
Selanjutnya, total pembelian SBN oleh Bank Indonesia sebagai implementasi SKB I sampai dengan September mencapai Rp57,29 triliun.
Sedangkan berdasarkan SKB II, pemerintah telah menerbitkan SBN melalui private placement kepada Bank Indonesia untuk pembiayaan public goods sebesar Rp183,48 triliun dan nonpublic goods sebesar Rp66,38 triliun. (Rheza Alfian)