c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

23 Agustus 2017

14:13 WIB

Butuh Impor China Untuk Genjot Devisa

Produk setengah jadi maupun jadi yang bersifat rajutan mendominasi impor garmen dari China. Nilainya mencapai US$6,1 juta di tahun 2016

Butuh Impor China Untuk Genjot Devisa
Butuh Impor China Untuk Genjot Devisa
Pabrik pemintalan kapas di China. AFP via Getty Image

JAKARTA – Memiliki luas wilayah sangat besar hingga mencapai 9.597 kilometer persegi, dengan sebaran iklim dari tropis hingga subtropis, membuat China memiliki potensi besar mengembangkan beragam produk berbasis dari kekayaan alam. Sebut saja beragam komoditas pangan, sandang dan lainnya, hampir semuanya bisa diproduksi dalam skala besar oleh China.

Jumlah penduduk yang sangat banyak pun menjadi aset bernilai ekonomis dalam mengelola beragam kekayaan alam yang dimilikinya. Sekadar catatan, menurut Bank Dunia, jumlah penduduk Negeri Tirai Bambu ini pada 2016 sudah mencapai 1,379 miliar jiwa, terbesar dibanding semua negara di dunia.

Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, bahan baku hingga produk-produk yang dihasilkan negara ini sudah membanjiri pasar dunia. Tidak terkecuali tekstil dan produk tekstil (TPT).

Untuk komoditas yang satu ini, menurut Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat, kepada Validnews, Selasa (22/8), China bahkan menguasai lebih dari sepertiga arus perdagangan TPT dunia pada 2016 dengan nilai US$249 miliar. Sementara itu, total perdagangan TPT di seluruh dunia sendiri tahun silam menyentuh angka US$720-an miliar.

Menempati peringkat teratas dunia dalam hal perdagangan TPT dunia setidaknya telah dirasakan China selama lima tahun terakhir. Sebelumnya, Uni Eropa adalah juaranya.

Kawasan yang terdiri atas 27 negara anggota ini memang memiliki beberapa negara yang dipandang sebagai kiblat fashion. Tidak hanya itu, kebutuhan per kapita TPT Uni Eropa akan tekstil yang mencapai sekitar 28 kilogram per tahun, menjadi alasan tersendiri Uni Eropa sempat menjadi raja di perdagangan komoditas ini. Bandingkan dengan kebutuhan TPT per kapita di China sendiri saja yang tiap tahunnya berkisar 18 kilogram.

Besarnya nilai pedagangan TPT di China belakangan selain karena jumlah penduduk yang membeludak, didorong oleh ketergantungan negara di dunia akan impor TPT dari negara ini. Kata Ade Sudrajat, ada tiga alasan mengapa China kerap menjadi pilihan impor produk TPT negara-negara dunia.

Pertama adalah beragamnya varian produk yang ditawarkan. Kedua adalah waktu pengiriman yang cepat dan tepat. Ketiga adalah harga yang bersaing.

“China bisa mengekspor dengan harga murah karena semuanya kapasitasnya besar dan selalu efisien di dalam pengelolaan energinya. Di dalam pengelolaan logistiknya, di dalam pengelolaan macam-macam pelayanan kepelabuhan, perpajakan, semuanya efisien,” ucapnya.

Efisiennya China dalam mengelola perdagangan tekstilnya dapat terlihat pula dari usaha negara ini dalam mencetak bahan dasar untuk olahan bahan baku tekstilnya. Karena alasan ini pulalah, China disebut-sebut sebagai pencetak raw materials tekstil terbesar di dunia. Serat kapas pun menjadi bahan dasar yang membuat predikat tersebut mampu langgeng diemban China.

“Untuk serat kapas, China punya pertaniannya di Shincia yang begitu besar. China pembuat serat polyester juga, dan punya industri hulunya. Mereka juga pembuat serat feed strokes. Semuanya. Semuanya integrate dari hulu sampai ke hilir,” kata Ade menerangkan.

 

 

Mengimpor untuk Mengekspor
Salah satu subsektor TPT yang amat dibutuhkan sebagai bahan baku maupun produk setengah jadi tekstil dunia adalah katun yang terbuat dari serat kapas. Beragam jenis serat kapas ini pun menjadi salah satu andalan ekspor China.

Berdasarkan data UN Comtrade, ekspor China terhadap berbagai olahan dan produk dari serat kapas atau yang dikenal dengan istilah katun mencapai angka US$14,96 miliar pada tahun 2016 di seluruh dunia. Volumenya sendiri mencapai angka 1,73 juta ton.

Indonesia pun tidak lepas dari cengkeraman jerat impor dari China ini. Pada tahun yang sama, Indonesia telah mengimpor katun sebanyak 252,1 ribu ton. Nilainya sendiri berada di angka US$2,98 miliar.

Untuk produksi lokal, Indonesia hanya mampu memproduksi 715 ton serat kapas pada 2016. Angka menurun dibandingkan produksi di tahun 2015 yang menyentuh angka 759 ton.

Angka impor dari katun ini bahkan mencapai 37% dari total impor TPT dari China di Nusantara yang berada di kisaran angka US$8 miliar. Dari nominal impor sebesar itu, Ade Sudrajat menyatakan, impor bahan baku menyita nilai paling besar dengan angka US$7 miliar.

Selain karena belum mampu memproduksi sendiri untuk mencukupi kebutuhan nasional, kebergantungan Indonesia akan bahan baku TPT dari China disebabkan kepentingan pengeksporan. Di dalam pengeksporan TPT dunia, khususnya untuk produk jadi, negara pasar berhak menunjuk jenis bahan baku dan asal negara yang mereka kehendaki. China pun menjadi pilihan.

“Jadi, US$7 miliar ini bahan baku. Tentu dari US$7 miliar ini untuk tujuan re-ekspor itu adalah mendekati US$6 miliar dan US$1,5 miliar untuk pasar domestik,” ujarnya.

Dari ketiga hal yang membuat China menjadi raja pengekspor TPT dunia, masalah waktu pengiriman menjadi sebab utama negara-negara pasar utama tekstil dunia memilih bahan baku dari Negeri Panda ini. Ade pun membandingkannya dengan waktu pengiriman sampel antara China dan Indonesia

“Misalnya untuk contoh, meminta sampel kita itu makan waktu 7 hari. Kalau yang di Sunchou itu mereka cuma 3 jam,” serunya.  

Menurut Ade, kain menjadi jenis impor TPT yang paling besar didatangkan dari China. Hal ini karena menyangkut beragam varian kain yang berlimpah yang ditawarkan oleh negara tersebut.

Selain itu, pabrik garmen di Tanah Air cenderung memilih mengimpor bahan baku kain dari luar negeri dibandingkan menggunakan kain produksi lokal, karena harga yang lebih murah. Apalagi industri garmen di kawasan berikat atau yang memiliki fasilitasi kemudahan impor untuk tujuan ekspor (KITE),bahkan membeli kain dari luar negeri tanpa dibebani pajak.

Sementara itu, pembelian kain dari produsen domestik dikenai pajak pertambahan nilai (PPN). “Istilahnya, aturan perpajakan kita saat ini sudah lebih dari 30 tahun tidak di-review atau tidak dilihat bahwa itu sebagia obstacle ataupun hambatan dalam terkait (perdagangan tekstil) secara global,” lanjutnya.  

Kata Pengamat Pajak Yustinus Prastowo, aturan akan PPN ini memang sulit diganggu gugat. Bagaimanapun, sudah ada prinsip internasional terkait PPN barang-barang impor.

“Jadi setiap penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean, dikenai 10%. Nah, tapi kalau tujuan ekspor, itu memang 0% karena prinsip PPN itu destination principle. Prinsip tujuan, PPN dikenakan di negara tujuan,” tuturnya kepada Validnews, Selasa (22/8).

Artinya, kalau barang konsumsi, yang berhak mengenakan adalah negara tujuan ekspornya ke importirnya. “Sebaliknya kalau China mengekspor ke Indonesia, kita yang mungut PPN-nya. Itu prinsip internasional supaya PPN itu netral,” imbuhnya.

Menjadi persoalan lanjutannya adalah kualitas dan volume bahan baku tekstil Indonesia yang cenderung dipasarkan secara domestik. Hal inilah yang akhirnya membuat perdagangan di dalam negerinya dibebankan PPN 10%. Namun jika tujuannya untuk ekspor, beban tersebut dari negara akan dihilangkan karena menjadi urusan negara tujuan ekspor.

 

 

Pembatasan Impor
Kalangan pelaku usaha industri hulu TPT sendiri sebenarnya menunggu kebijakan pembatasan impor tekstil dari pemerintah. Keputusan ini akan menentukan apakah pebisnis akan menambah kapasitas atau sebaliknya, mengurangi produksi.

Sekjen Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta dalam keterangannya yang diterima Validnews beberapa waktu lalu mengatakan, komposisi produk barang jadi tekstil yang kian besar di pasar domestik membuat pelaku usaha hulu was-was untuk mengembangkan usaha.

Ia menjelaskan kenaikan permintaan justru ditangkap oleh produk impor. Meski mengimpor produk jadi, industri hulu ikut terpukul karena produsen hilir lokal juga mengurangi produksi. Menurutnya, impor seharusnya dibatasi hanya untuk produsen yang mengekspor seluruh produknya karena harga impor yang memang lebih murah. “Untuk pasar lokal, impor bahan baku sebaiknya ditutup sehingga produksi hulu lokal dapat terserap dengan baik,” ucapnya.

Ia melanjutkan, pasar dalam negeri seharusnya juga dapat dijadikan jaminan pasar, agar dapat bersaing di pasar internasional. Ia menjelaskan sebenarnya pasar dalam negeri cukup menjanjikan mengingat konsumsi masyarakat perkapita mengalami peningkatan dari tahun 2008.

Namun permasalahannya, dalam periode yang sama import kain juga mengalami peningkatan yang signifikan. Jumlah kain import yang masuk tidak sesuai dengan eksport produk tekstil, sehingga membuat pelaku industri tenun dan rajut kelimpungan yang pada akhirnya akan berdampak ke hulu.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia Tutum Rahanta juga menilai semua lini di industri tekstil dari hulu hingga hilir mengalami keterpurukkan. Tutum melihat sejauh ini masih ada retail asing yang menjual 100% produk impor. Sayangnya, meski tidak sesuai dengan peraturan yang ada, pemerintah tetap mengizinkannya.

Ia membeberkan, para pemain di industri TPT ada yang bahkan sudah mengimpor pakaian baru dan tinggal memberi label saja. “Untuk sektor retail sendiri, selain harus bersaing dengan produk yang seratus persen import masih juga harus bersaing dengan produk import bekas yang sebenarnya merupakan ilegal,” ucapnya.

Direktur Industri Tekstil, Kulit, Alas Kaki dan Aneka Tekstil Kementerian Perindustrian, Muhdori berjanji, pihaknya akan berkoordinasi lintas sektor untuk berusaha mengurangi berbagai hambatan di industri tekstil.

Terkait dengan melonjaknya impor sebesar 300%, terutama untuk kain, menurutnya hal tersebut masih dalam batas yang wajar, mengingat barang yang diimpor memang untuk kebutuhan produksi dan untuk ekspor.

Faktor Produksi
Selain mengimpor bahan baku atau bahan setengah jadi berupa kain, Indonesia sebenarnya juga mengandalkan impor dari China untuk berbagai produk pakaian jadi. Hanya saja, nilainya memang tidak signifikan. Dari tota impor China sebesar US$8 miliar, menurut Ade Sudrajat, nilai impor produk jadi tekstil dari China hanya berkisar US$500 juta.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, produk setengah jadi maupun jadi yang bersifat rajutan mendominasi impor garmen dari China. Nilainya bahkan mencapai US$6,1 juta di 2016.

Peningkatan impor ini cukup tajam dalam empat tahun terakhir. Sebab pada tahun 2013, angka impornya baru berkisar US$1,8 juta. Namun, angka impor rajutan di tahun 2016 sebenarnya menurun dibandingkan pada 2015 yang berada di angka US$6,42 juta.

Sepanjang semester I 2017, penjualan domestik industri TPT Indonesia mengalami penurunan sekitar 30%. Sementara itu kinerja ekspor mengalami peningkatan 3% dengan nilai mencapai US$ 5 miliar (Rp 66,58 triliun) seiring dengan permintaan yang terus tinggi dari negara ASEAN.

Kata Ade, sudah hampir lima tahun penjualan industri TPT mengalami penurunan karena terus diserang produk impor dari Tiongkok. Karena hal itulah pelaku usaha tekstil lebih memilih meningkatkan ekspor daripada mendorong penjualan dalam negeri karena tidak bisa bersaing.

Agar ekspor TPT terus meningkat, ia berharap pemerintah mempercepat perundingan perdagangan bebas dengan Uni Eropa bisa rampung pada 2019. Jika perundingan perdagangan tersebut rampung maka ekspor bisa meningkat 100 persen.

Impor produk jadi dari China memang tak bisa dihindari karena harganya yang lebih kompetitif dibandingkan harus mengolah bahan baku untuk dijadikan produk jadi di garmen.  Berdasarkan penelitian yang dilakukan tahun 2014, struktur biaya faktor produksi garmen terbesar ditempati oleh bahan baku penolong domestik yang memakan 42,34% dari biaya produksi tekstil.

Kemudian disusul oleh biaya bahan baku penolong luar negeri dengan presentase 26,14%, upah pekerja sebesar 10,60%, biaya listrik 5,21%, bahan bakar pelumas 4,17%, dan biaya keperluan produksi lainnya sebesar 11,53%.

Beban biaya faktor produksi pun terus meningkat seiring berjalannya waktu. Terjadi pergeseran beban biaya produksi akibat kebijakan pemerintah, di antaranya pada bidang bahan bakar dan listrik.

Selain kebijakan, sulitnya bahan baku juga menjadi hambatan dalam perkembangan industri tekstil di Indonesia. Data BPS tentang biaya faktor produksi pada industri tekstil dari tahun 2012 hingga 2014 menampakkan nilai faktor produksi ini yang terus meningkat.

Tahun 2012, biaya faktor produksi industri tekstil ditaksir sebesar Rp47,3 triliun. Angkanya kemudian meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2013 menjadi Rp78,8 triliun. Lalu pada tahun 2014, angka faktor produksi menghabiskan beban Rp84 triliun.

 

 

Menggeliat Terbatas
Untungnya, produk lokal dalam industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia belakangan mulai kembali menguasai pasar. Isu soal derasnya impor pakaian dari negara luar, salah satunya asal China, sudah tak lagi menjadi ancaman terbesar bagi para pelaku usaha tekstil.

Kualitas dan kreativitas produsen tekstil dan produk tekstil lokal yang makin baik menjadi alasan pasar lokal lebih banyak memilih produk tekstil lokal ketimbang impor. Seperti yang terjadi di Pasar Tanah Abang. Pasar yang terletak di di Jalan Kyai Haji Mas Mansyur, Jakarta Pusat ini adalah pusat perdagangan tekstil terbesar untuk wilayah Indonesia, bahkan Asia Tenggara.

Para pedagang di pasar ini pun mengklaim bahwa barang dagangan di pasar ini hampir semuanya merupakan produk dalam negeri. Seluruh produk garmen yang ada di sini merupakan hasil kerja anak bangsa yang dikelola oleh pabrikan kelas menengah atau konveksi rumahan.

Pedagang busana wanita di Pasar Tanah Abang bernama Rendi mengungkapkan, ia kerap melayani pembeli warga negara di benua Afrika. Menurut pria berusia 22 tahun tersebut, 100% busana wanita yang ada di tokonya merupakan produk lokal yang diproduksi oleh industri garmen rumahan di wilayah Bandung, Jawa Barat.

Bahkan ia dengan tegas menyebutkan, seluruh barang dagangan di Pasar Tanah Abang adalah produk dalam negeri. Karena itu, siapapun yang belanja di Tanah Abang, khususnya di Blok A dan blok B, dipastikan membeli produk lokal.

“Setahu saya di sini tidak ada produk impor. Semuanya produk dalam negeri dan sebagian besar itu dibuat oleh konveksi atau industri garmen rumahan,” ujarnya.

Dari pengalamannya, kebanyakan pembeli produk tekstil di Tanah Abang justru menilai kualitas produk tekstil lokal tidak kalah dengan produk tekstil luar negeri.

“Bahkan warga negara asing yang belanja ke sini juga tahu kalau barang yang mereka beli itu produk Indonesia, bukan produk dari luar Indonesia. Artinya mereka tahu, dan memang memilih produk kita,” ucapnya.

Senada, pedagang lain bernama Dine pun mengaku kiosnya yang ada di Blok B Pasar Tanah Abang didominasi produk TPT lokal.

“Memang yang kami jual di sini adalah hasil kerja dari konveksi kami sendiri. Industri rumahan,” ucap pedagang yang mampu mencetak transaksi antara Rp 2—10  juta pe rhari ini.

Priamanaya Djan, CEO PT Priamanaya Group yang merupakan pengelola Pusat Grosir Tanah Abang Blok A membenarkan bahwa mayoritas produk tekstil yang diperdagangkan di Blok A berasa dari produsen lokal seluruh Indonesia.

“Sekitar 80% produk tekstil atau garmen di Blok A Tanah Abang masih dari produsen lokal, lebih banyak proporsi untuk eksor ketimbang impor. Kualitas produk lokal kita nggak kalah, malah banyak tekstil impor yang kualitasnya jauh di bawah produk kita,” tuturnya.

Hanya saja, pemerintah memang perlu memberikan stimulus agar industri TPT bisa tumbuh lebih cepat. Mekanisme perpajakan, misalnya, kini dianggap memberatkan pengusaha TPT Indonesia.

Kebijakan Dirjen Pajak yang tidak memperbolehkan penjualan ke Non Pengusaha Kena Pajak (PKP), menurut Ade bisa menghambat bahkan menyandera pengusaha tekstil di Tanah Abang. Betapa tidak, hampir 70% pengusaha di pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara ini belum memiliki PKP.

Namun saat pengusaha hendak mengajukan PKP malah ada persyaratan Pemda untuk melengkapi SIUP dan TDP. Padahal, pelaku industri TPT saat ini tengah berjibaku dengan penurunan penjualan domestik yang pada kuartal II 2017 turun sampai 30%.  (Teodora Nirmala Fau, Fien Harini, Faisal Rachman, Jenda Munthe, Mg Dianita Catriningrum, Mg Seren Trihardja, Mg Muhammad Fauzi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar