c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

06 April 2018

10:09 WIB

Bumades Kunci Serap Potensi Desa yang Berlebih

Dengan penggabungan dua desa atau lebih, pasar diharapkan lebih besar sehingga nantinya mampu menyerap potensi usaha dari suatu desa

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Bumades Kunci Serap Potensi Desa yang Berlebih
Bumades Kunci Serap Potensi Desa yang Berlebih
jenis budidaya lebah madu, BUMDes Hagatang Desa Buntoi. (bumdespulpis.com)

PURWOKERTO – Badan usaha milik desa (Bumdes) bukanlah barang asing lagi. Mulai diperkenalkan sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY), gaungan akan jenis usaha yang dimodali oleh pemerintah daerah kembali terdengar keras dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tidak hanya melibatkan Kementerian Desa, Transmigrasi, dan Daerah Tertinggal; geliat Bumdes pun kini difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Namun, tidak sekadar Bumdes. Nyatanya otoritas juga mulai giat membangun badan usaha milik antardesa (Bumades) yang diharapkan bisa membuat perekonomian kian tumbuh. Pasalnya, Bumades menghimpun potensi-potensi yang ada di beberapa desa untuk nantinya mencapai komitmen guna dioperasionalkan bersama.

Penginisiasian Bumades sendiri dipicu dari banyak tidak berkembangnya Bumdes yang sudah berdiri di nusantara. Bukan karena dibuat asal-asalan, Direktur Pengembangan Inklusi Keuangan dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Eko Ariantoro memaparkan, ada kecenderungan Bumdes tidak berkembang karena tidak berdaya untuk menambah kapasitas guna bisa mengeruk untung yang lebih banyak. 

Ketidakmampuan tersebut mengingat pemasaran yang terbatas. Pasalnya, jika hanya untuk memenuhi permintaan masyarakat yang ada di desa tersebut, produknya sudah mencukupi. Ada kekhawatiran jika produksi terus dipacu, akan menjadi sia-sia karena sulit memasarkannya.

“Mereka punya kapasitas yang besar, tetapi tidak punya kemampuan menyerap dan menjualnya,” ujar Eko dalam pelatihan dan media gathering di Purwokerto, Kamis (5/4).

Itulah yang menjadi alasan Bumades dibuat. Dengan penggabungan dua desa atau lebih, pasar diharapkan lebih besar. Yang nantinya mampu menyerap potensi usaha dari suatu desa.

“Bumades sebagai off-taker dari Bumdes ini,” tambahnya lagi.

Dengan hadirnya Bumades, OJK percaya perekonomian desa lebih bergeliat. Pasalnya, badan usaha antardesa ini seakan memastikan bisnis dan keuntungan yang tercetak tidak pergi ke mana-mana. Alias tetap bermanfaat bagi masyarakat desa yang bersangkutan.

Bumades maupun Bumdes sejatinya ditujukan mengurangi tingkat kemiskinan di desa yang angkanya hampir dua kali lipat dibandingkan kota. Berdasarkan publikasi Susenas Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di kota tercatat 7,72%. Sementara itu, tingkat kemiskinan jauh lebih tinggi, bertengger di angka 13,93%.

“Soal ketimpangan, ketimpangan antara kaya dan miskin sudah jelas. Ketimpangan antara desa dan kota makin jelas lagi,” ungkap Eko.

Padahal, potensi di desa-desa Indonesia amat banyak. Mengutip data Statistik Potensi Desa yang diterbitkan BPS dan diolah OJK, sebanyak 61,8 ribu desa dari total 74,9 ribu desa yang ada di nusantara memiliki potensi di sektor pertanian. Tidak hanya itu, 20 ribu desa pun diketahui potensial di bidang pembangunan dan 12,8 ribu desa memiliki kekayaan yang berlimpah di sektor perikanan.

Untuk itulah, Bumades terus digencarkan. Tujuannya jelas, mengoptimalkan potensi yang ada dalam desa-desa yang sangat mungkin memiliki potensi serupa. Yang hasilnya dapat kembali meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Eko menyebutkan, ada dua model dalam pendirian Bumades. Pertama, mengintegrasikan Bumdes-Bumdes yang sudah ada sebelumnya. Kedua, membuat suatu badan usaha baru yang merupakan kesepakatan dari minimal dua desa.

Baca Juga:
Usaha Perikanan Cocok untuk Bumdes Maluku Utara
Lewat BUMDes, 'Orang Kampung' Bisa Sukses

Strategi
Sedikit informasi, hingga akhir tahun lalu sudah ada sekitar 18 ribu Bumdes yang berdiri di bumi pertiwi. Sayangnya, hanya sekitrar 4 ribu Bumdes yang diketahui benar-benar aktif dan membukukan keuntungan. Kepada Validnews, Menteri Desa Eko Putro mengungkapkan, kerap gagalnya usaha Bumdes lebih dikarenakan ketidakmampuan para pelakunya menjalankan usaha yang sudah ada tersebut.

“Banyak desa yang tidak mempunyai sumber daya manusia yang mampu mengelola Bumdes sehingga banyak yang belum berjalan dengan baik,” ujarnya, beberapa waktu lalu.

Agak sedikit berbeda pandangan, Eko dari OJK melihat, tidak mampunya Bumdes maupun Bumades beroperasional secara optimal lebih dikarenakan niat. Pasalnya, banyak Bumdes berdiri sekadar untuk mengikuti program pemerintah. Tetapi, tidak ada dipikirkan keberlangsungan dan hasil dari pendiriannya tersebut.

Inilah yang hendak dihindari OJK hingga akhirnya bergerak untuk memfasilitasi Bumdes-Bumdes yang ada di nusantara.  Pemonitoran dan pendampingan dilakukan guna memastikan Bumdes yang berdiri dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat hingga berimbas ke tingkat kemiskinan yang berkurang.

“Jangan sampai Bumdes muncul, tapi tidak bisa memunculkan partisipasi dari masyarakat,” ia mengingatkan.

Terkait hal ini, pemanfaatan akses digital dengan optimal menjadi strategi OJK untuk perbaikan Bumdes ke depan. Apalagi, saat ini penetrasi internet di Indonesia sudah kian membaik. Berdasarkan data APJII, hingga akhir 2017 kemarin, 143,26 juta jiwa di Indonesia telah terkoneksi internet. Angka ini bertumbuh 7,96% dibandingkan penetrasi internet di 2016 sebesar 132,7 juta jiwa.

Dengan adanya pemanfaatan digital di Bumdes, Eko yakin pemasaran maupun pemenuhan kebutuhan dapat dilakukan dengan tempo yang secepat-cepatnya.  Diilustrasikannya, pemanfaatan digital bisa mempermudah pemasaran. Antar desa bisa segera mengetahui produk apa saja yang tengah ada, maupun sebaliknya desa mana saja yang sedang membutuhkan produk tersebut. Jika tanpa digitalisasi, informasi akan hal tersebut jauh lebih lama untuk diperoleh.

“Makanya ada digital. Day to day ada dashboard yang memantau,” ujarnya.

Sebaliknya, Eko melihat, jika Bumdes tidak memanfaatkan skema teknologi informasi¸ ia tidak akan maju-maju. Harapan untuk kian meminimalkan ketimpangan antara desa dan kota pun menjadi makin sulit tercapai.

Selain lewat teknologi informasi,  OJK bertekad membangun Bumdes yang diaplikasikan melalui KUR klaster. KUR Klaster adalah penyaluran KUR yang diiringi dengan pendampingan dan pemasaran produk yang akan dilakukan oleh perusahaan inti. Dengan metode ini, diharapkan inklusi masyarakat di pedesaan pun dapat terangkat.

Asal tahu saja, berdasarkan Survei Literasi dan Inklusi Keuangan OJK 2016, inklusi masyarakat di pedesaan terpatok di angka 63,2%. Masih kalah dibandingkan inklusi di perkotaan yang telah berada di angka 71,2% pada periode yang sama. (Teodora Nirmala Fau)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar