07 Agustus 2019
16:33 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
DEPOK – Padamnya listrik (blackout) pada 4–5 Agustus 2019 lalu menjadi momentum yang penting untuk mengevaluasi dan menata kembali sistem kelistrikan nasional secara menyeluruh. Pasalnya, listrik sendiri merupakan komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
"Listrik merupakan komoditas strategis, vital, dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Dengan demikian listrik harus dikelola dengan sebaik-baiknya," ujar Koordinator Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Indonesia, Rizal E Halim, di kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, seperti dilansir Antara, Rabu (7/8).
Rizal berharap, PLN memberikan kepastian hukum bagi upaya perlindungan konsumen. Ini sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999. Ia pun berharap PLN tidak sekadar memberi kompensasi material kepada konsumen.
"Kenyamanan, keamanan, keselamatan, ketenangan, dan lain sebagainya harus dirasakan konsumen sesuai amanat pasal 4–5 dalam UU Nokor 8 Tahun 1999," tegasnya.
PLN dinilainya perlu memberikan respons cepat untuk jangka pendek. Hal ini guna memenuhi hak 22 juta konsumen yang terdampak blackout kemarin.
Pertama, menurutnya, pemulihan hak konsumen di luar dana kompensasi yang diatur oleh Peraturan Menter ESDM Nomor 27 Tahun 2017 merupakan hal yang mutlak dilakukan. Kedua, PLN wajib mengidentifikasi kelompok konsumen yang terkena dampak blackout, dengan mencatat keluhan mereka, menganalisis akibat blackout, dan merespons secara bijak dan adil.
Ia juga menyarankan PLN menghindari pernyataan-pernyataan yang dapat menimbulkan kegamangan publik, termasuk menyebut istilah teknis tanpa penjelasan sederhana. Ia juga mengatakan supaya PLN dan pemangku kepentingan lain melakukan sosialisasi sebagai respons cepat sehingga konsumen dapat berempati.
"Dalam horizon yang lebih panjang, kita perlu mengevaluasi sistem kelistrikan nasional, model bisnisnya, tingkat penggunaan teknologinya, hingga pelayanan konsumen di lapangan," simpulnya.
Mengomentari blackout 4-5 Agustus 2019 kemarin, sebelumnya mantan Direktur Utama PT PLN periode 2009-2011, Dahlan Iskan, menyoroti penyebab listrik padam, manajemen recovery PLN, hingga ketiadaan "Kopassus" Pusat Pengatur Beban (P2B).
Dahlan menceritakan betapa penyebab blackout di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi kemarin tampak sepele, yaitu satu pohon sengon. Pohon itu mengakibatkan saluran udara tegangan ekstra tinggi (sutet) di Pemalang, Jawa Tengah, bermasalah. Alhasil, sebagian Pulau Jawa mengalami kelumpuhan listrik.
“Jangankan sampai nyenggol. Memasuki medan magnetnya pun sudah mengganggu. Bisa korsleting, yang mengakibatkan arus listrik terhenti," ujarnya seperti dilansir Antara, Rabu (7/8).
Menteri BUMN periode 19 Oktober 2011-20 Oktober 2014 ini juga mempertanyakan di mana sekarang "Kopassus P2B" yang dulu ia bentuk untuk memelihara SUTET tanpa harus mematikan sistem.
"Dibubarkan? Tidak diteruskan? Tidak cukup? Tidak dikembangkan? Tidak ada anggaran?" tanyanya.
"Kopassus P2B" yang dimaksudkan Dahlan adalah pasukan khusus yang diisi orang-orang istimewa. Mereka memiliki kepandaian khusus dengan pekerjaan sangat berisiko, ahli-ahli listrik yang mampu mengatur seluruh sistem listrik di Jawa.
Menurutnya, organisasi PLN yang sekarang telah berubah dan memiliki tiga direksi di Jawa Timur/Bali, Jawa Tengah/Yogyakarta, dan Jawa Barat/Jakarta. Ini dapat membuat garis koordinasi P2B tidak jelas.
Ia pun mengatakan, P2B mesti melakukan pertemuan setidaknya tiga bulan sekali untuk berkoordinasi dan mengevaluasi perkembangan sistem listrik di Jawa.
"Rapat-rapat P2B tidak boleh dianggap rapat biasa, yang bisa dihapus demi penghematan, demi laba," tukasnya. (Sanya Dinda)