c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

05 Oktober 2019

19:00 WIB

Berkongsi Dengan Korporasi Demi Kota yang Berseri

Keterlibatan swasta dalam pengadaan Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Interaksi Publik bisa menjadi solusi. Hanya saja ruang kompensasi dan sisi administrasi, harus jadi perhatian tersendiri. 

Berkongsi Dengan Korporasi Demi Kota yang Berseri
Berkongsi Dengan Korporasi Demi Kota yang Berseri
Warga berjalan dengan menggunakan masker di jalur pedestrian Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (11/7/2019). ANTARAFOTO/Aprillio Akbar

JAKARTA – Keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) sangat dibutuhkan bagi kota-kota besar. Selain untuk tujuan kenyamanan dan keindahan, RTH merupakan amanat undang-undang yang harus dipatuhi. 

Setiap kota diamanatkan wajib menyisakan 30% dari luas wilayahnya untuk keberadaan RTH. Hal itu tertera dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penataan Ruang.

Namun, penyediaan RTH justru menjadi momok buat pemerintahan kota besar. Komersialisasi lahan di perkotaan, seringkali harus mengorbankan lahan terbuka menjadi gedung-gedung bertingkat. Fenomena ini sudah lama menjadi dilema. 

Untungnya, girah untuk mewujudkan kembali kota yang ideal dengan ketersediaan RTH yang proporsional, belakangan mulai kembali menggema. Salah satu kota yang sedikit demi sedikit bisa melepaskan dilema masalah kota menuju level ideal adalah Surabaya. 

Ya, ibu kota Jawa Timur tersebut kini tercatat mempunyai RTH yang mencapai 21,79% dari luas wilayahnya. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengemukakan, luasan ruang terbuka hijau (RTH) itu setara dengan 7.290,53 hektare pada tahun 2018. 

Menurutnya, capaian tersebut melebihi target yang telah ditentukan pemerintah pusat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Perkotaan. 

Pada Juli lalu, Tri Rismaharini menyampaikan kualitas udara yang baik merupakan hak dasar bagi warga kota. Untuk itu, Pemerintah Kota Surabaya menempuh berbagai cara guna menjamin warganya mendapatkan udara yang sehat, salah satunya dengan pengembangan RTH.

"Keberadaan RTH sangat penting untuk menjaga kualitas udara perkotaan," katanya sebagaimana dikutip dari Antara

Berdasar data Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau (DK RTH) Surabaya dalam kurun sepuluh tahun terakhir, luasan RTH di Kota Pahlawan selalu bertambah. Pada 2009, luasan RTH publik tercatat seluas 6.676,55 hektare atau 20,2% dari luas wilayah Surabaya. Nah, pada 2018, luasan RTH publik sudah mencapai 21,79% atau sama dengan 7.290,53 hektare.

Porsi terbesar berasal dari RTH taman dan jalur hijau. Di mana luasan jenis RTH tersebut di Kota Pahlawan mencapai 22,62% dari total RTH di kota tersebut atau sebanyak 1.649,10 hektare.

Selain itu, terdapat RTH Makam seluas 283,53 hektare, RTH lapangan dan stadion 355,91 hektare, RTH telaga atau waduk atau bozem 192,06 hektare. Tidak ketinggalan ada RTH dari fasum dan fasos permukiman 205,50 hektare, RTH kawasan lindung 4.548,59 hektare, dan RTH hutan kota 55,81 hektare.

Sesuai Peraturan Menteri (Permen) PU nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan sendiri, diamanatkan bahwa proporsi RTH pada kawasan perkotaan minimal 30%. Di mana jumlah tersebut terbagi atas 20% RTH publik dan 10% RTH privat.

"Jadi, RTH publik kami sudah di atas target minimal Permen PU," ujarnya.

Risma mengklaim, RTH di Surabaya tak hanya mempercantik estetika kota.  Selain menjadi ajang interaksi sosial, RTH mampu menurunkan kadar suhu udara di kota Surabaya. Suhu udara kota itu pun turun hingga 2 derajat Celsius. 

Dari hasil pengukuran suhu pada alat indikator kualitas udara, suhu rata-rata di Surabaya turun dari kisaran 30–31 derajat Celsius menjadi 28–29 derajat Celsius. Untuk itu, Risma pun mempertegas komitmennya untuk menambah luasan RTH hingga mencapai 30% dari luas Kota Surabaya.

"Target kami memang 30% luas wilayah Surabaya supaya suhu udara bisa terus turun. Target kita, suhu udara Surabaya bisa sampai 22 derajat Celcius," imbuhnya.

Langkah Surabaya dalam memperbesar luasan RTH agar membuat suasana kota lebih adem memang tak tanggung-tanggung. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau (DK RTH) Surabaya Eri Cahyadi menyatakan, setiap tahun pihaknya menganggarkan Rp10 miliar untuk perawatan taman-taman publik di Surabaya. Kocek itu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surabaya. 

Kunci kesuksesan Surabaya dalam mengembangkan RTH terletak pada mekanisme perawatannya. Surabaya membagi perawatan taman-taman dalam tiap rayon, yakni rayon pusat, timur, barat, utara dan selatan.

Eri menjelaskan, setiap rayon, memiliki tim masing-masing yang tugasnya menjaga dan merawat setiap taman. Tim inilah yang biasanya mengganti tanaman yang mati.

"Biasanya, satgas menyiram tanaman itu 1-2 kali kalau musim hujan. Tapi kalau musim panas, penyiraman dilakukan 3–4 kali. Mereka pun rutin melakukan pemupukan dengan memberikan kompos yang diolah sendiri," tuturnya.

Eri menyatakan pemeliharaan taman di Surabaya sangat efisien, lantaran kompos diproduksi sendiri di 27 rumah kompos yang tersebar di berbagai penjuru kota. Dengan demikian, lanjut dia, anggaran pemeliharaan taman dapat ditekan.

Bahkan, Pemkot Surabaya telah menggunakan teknologi dari Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT). Cara tersebut terbukti ampuh menyuburkan tanah sehingga tanaman dapat tumbuh dengan maksimal.

"Jadi kami mengandalkan pupuk kompos organik buatan sendiri dan tanah olahan dari IPLT. Murah meriah dan hasilnya sangat bagus," ujar Eri yang juga menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya ini.

Selain merogoh kocek APBD, Surabaya sejatinya juga mempunyai jurus ampuh lainnya, yakni dengan menerapkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau. Dalam perda ini dijelaskan, setiap gedung atau bangunan diwajibkan menyediakan ruang terbuka hijau.

Masih Terengah
Meskipun belum mencapai kata ideal, kesuksesan Surabaya dalam mengembangkan RTH, ternyata pun masih sulit dijangkau oleh Jakarta sebagai ibu kota negara. DKI Jakarta masih terengah memenuhi kebutuhan ruang terbuka hijau di 6 kotamadya/kabupatennya sesuai ketetapan regulasi sebesar 30%. Hingga 2030 mendatang saja, Pemprov DKI Jakarta diperkirakan hanya mampu menyediakan 16% RTH.

Jangan tanya saat ini. RTH di DKI Jakarta ternyata baru mencapai 10% dari luas Jakarta atau sekitar 661,5 kilometer persegi. Untuk mencapai 16% saja bukan hal yang mudah buat Jakarta.

Tapi, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bertutur, sebenarnya pihaknya terus menggalakan peningkatan RTH. Salah satunya dengan menargetkan pembangunan 53 taman maju bersama di kawasan Jakarta yang disebut bakal rampung akhir tahun ini.

"Awal Desember 2019 semuanya sudah jadi. Tadi ada laporan dari kepala Dinas Kehutanan, Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta bahwa awal Desember semua sudah selesai," ucapnya sebagaimana dikutip dari Antara, (18/8) lalu.

Untuk menambah 6% RTH dalam jangka waktu 10 tahun mendatang pun disadarinya bukan perkara simpel. Mengandalkan tangan sendiri rasanya bukan pilihan tepat. Karena itulah, ditetapkan pilihan logis untuk menggandeng korporasi demi menciptakan wajah kota yang lebih berseri.

Salah satu keterlibatan swasta dalam pembangunan ruang publik misalnya, sudah terjadi pasca kawasan prostitusi Kalijodo ditertibkan. Kawasan di Jakarta Utara itu berhasil disulap menjadi Ruang Publik Terbaru Ramah Anak (RPTRA) yang dibangun pada Mei 2016 pada era kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggandeng Bumi Serpong Damai (BSD)-Sinarmas Land untuk membangun RPTRA di Kalijodo, Jakarta Utara.

Ahok kala itu menyatakan, pemprov tidak menentukan kriteria khusus bagi pengembang yang ingin melakukan MoU dengan Pemprov DKI Jakarta. Ia menegaskan, pemprov menerima dengan terbuka siapapun pihak swasta yang mau dan bisa mengerjakan proyek ruang publik dengan cepat. 

Dalam kesempatan itu, Ahok memastikan, Sinarmas Land tidak meminta imbalan apapun atas kontribusinya tersebut. Hanya saja, nama Sinarmas Land terpampang besar-besar di RPTRA tersebut.

“Enggak minta apa-apa, kita taruh nama Sinarmas Land aja di situ,” kata Ahok kala itu.

Dalam kesempatan itu, Ahok menambahkan, pembangunan itu merupakan bentuk kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) PT Sinarmas Land. Kendati demikian, bangunan itu akan tetap ditafsir harganya dan asetnya jadi milik Pemprov DKI.

Kini, RPTRA Kalijodo selalu ramai dikunjungi masyarakat. Tak hanya itu, tempat ini juga menjadi ajang berkumpulnya komunitas, seperti komunitas sepeda dan olahraga atraksi skateboard

Namun, aksi Ahok itu sempat menjadi ganjalan bagi Laporan Keuangan Pemprov DKI Jakarta yang kala itu memperoleh opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Menurut Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna, RPTRA Kalijodo menjadi salah satu contoh konkret taman hasil sumbangan pihak swasta.

"Tapi, karena tidak tercatat dalam APBD, ini membuat ada masalah dengan administratif tata kelola keuangannya. Sehingga DKI jakarta beberapa waktu lalu tidak mendapatkan WTP dari BPK," katanya kepada Validnews melalui sambungan telepon, Jumat (4/10).

Untuk itu, saat ini Pemprov DKI Jakarta akan menerapkan aturan agar taman-taman kota yang melibatkan swasta harus diinformasikan terlebih dahulu. Tujuannya agar taman tersebut tetap menjadi aset Pemda.

"Apalagi kalau CSR itu dibantu bukan dengan tanahnya, kan? Karena tanahnya itu pasti harus milik pemda. Kalau dia merupakan sebuah sumbangan, kan harus jelas, ini hibah, bantuan, atau apa. CSR pun pasti hanya bantu dalam konteks pembangunannya," tutur Yayat.  

Ia pun menyarankan agar pemprov menginventarisasi taman-taman publik yang bekerja sama dengan swasta. Tujuannya, agar ada kejelasan apakah CSR swasta tersebut diperuntukkan bagi taman untuk publik atau hanya bagian dari taman milik pengembang (developer).

"Sekarang kesulitannya Pemda DKI untuk menambah jumlah taman itu susah untuk pengadaan tanah, untuk pembebasannya. Jadi bisa saja untuk pengadaan tanahnya itu pemerintah, pembangunannya swasta. Atau bisa pemeliharaan," usul Yayat. 

Ia menyarankan agar pemerintah DKI memperjelas lingkup CSR swasta. Apakah hanya bersifat merevitalisasi suatu proyek ruang publik, apakah sistem pengelolaan keuangan dikerjakan seluruhnya oleh swasta, dan lain-lain.

"Pengaturan-pengaturan CSR terkait pembangunan ini harus tertib administratif sehingga tidak ada temuan penyimpangan atau mal administratif," tegasnya. 

Tak Hanya CSR
Keterlibatan swasta ini tak melulu berupa program CSR. Aksi lain korporasi yang turut mencerahkan wajah ruang publik adalah pembangunan pedestrian di beberapa kawasan strategis di DKI Jakarta.   

Seperti yang dilakukan Solusi Bangun Indonesia yang dahulu dikenal dengan merek dagang Holcim. Produsen semen ini memiliki anak usaha PT Pendawa Lestari Perkasa (PLP). Perusahaan ini terpilih sebagai salah satu kontraktor yang membangun beberapa pedestrian di kawasan strategis. 

Sebut saja kawasan Blok M, Barito, Sisingamaraja, Lapangan Banteng, dan Wahid Hasyim, hingga kawasan Gelora Bung Karno (GBK) di ibu kota. Commercial Head PT Pendawa Lestari Perkasa Rifko Pradana Andika menyatakan keterlibatan grup Semen Indonesia ini berawal dari kerja sama dengan Dinas Bina Marga DKI Jakarta.

"Jadi lewat PLP kita jadi kontraktor Pemprov DKI yang diwakilkan Dinas Bina Marga dituangkan dalam bentuk kontrak konstruksi. Kontrak konstruksi ada katalog jadi sekarang untuk pekerjaan konstruksi mayoritas pakai katalog bukan lagi tender," katanya saat ditemui Validnews di Kantor COP Holcim, Jakarta, Kamis (3/10). 

Ia mengungkapkan, katalog konstruksi itu seperti halnya marketplace untuk proyek konstruksi. Pemprov dalam hal ini Dinas Bina Marga DKI Jakarta akan memilih kontraktor yang sesuai kebutuhan, baik dari produk maupun lama pengerjaan. Pihaknya juga melakukan rancangan desain jalur pedestrian yang menghubungkan tempat-tempat strategis dan bernilai kebudayaan tinggi. 

PLP sendiri sebagai anak usaha PT Solusi Bangun Indonesia dan cucu usaha Semen Indonesia mempunyai produk beton untuk pengerjaan jalur pedestrian atau jalur pejalan kaki. Rifko menyatakan, Bina Marga menginginkan ada pembangunan pedestrian yang lebih durable (tahan lama) sekaligus mempunyai nilai estetis. 

Rifko menambahkan, pihaknya sudah mengerjakan proyek jalur pedestrian untuk stasiun MRT terintegrasi di bilangan Blok M, Jakarta Selatan, tahun 2016 lalu. Proyek kemudian berlanjut pada tahun 2018 di kawasan Sisingamaraja hingga ke kawasan dalam Gelora Bung Karno. Juga pembangunan jogging track di gelora olah raga legendaris itu.

"Kita dipercaya untuk Asian Games karena konsep kita bukan hanya kontraktor untuk jalur pedestrian saja, tapi lebih luas dari sisi urban desain sebagai satu kawasan kita terjemahkan ke pedestrian. Karena konsep pedestrian adalah interkonekting dari satu tempat ke tempat lain," ungkapnya. 

Beton PLP, ia mengklaim, terpilih karena mempunyai tekstur dan warna yang menarik. Jadi ketika beton trotoar tergerus, dalamnya lapisan beton tetap berwarna. Beton juga mampu menyerap air sehingga tidak menimbulkan genangan ketika hujan turun. Airnya pun akan mengendap masuk dalam lapisan tanah dan tidak terbuang ke saluran air. 

"Ini membuat ekosistem di sekitarnya tetap terjaga," ungkapnya. 

Selain membuat jalur pedestrian lebih berwarna,  PLP selaku kontraktor juga mendesain trotoar ramah bagi kaum difabel. Cirinya jalur dibuat lurus, merata, tanpa halangan, seperti tiang atau benda lainnya.

Menurutnya, problem pedestrian selama ini adalah tidak bertahan lama. Hal ini tak terlepas dari kebiasaan warga Jakarta yang kerap memarkirkan kendaraan roda empat di atas trotoar. Begitu juga dengan sepeda motor yang kerap menggunakan lajur pejalan kaki untuk menembus kemacetan.

"Problemnya dulu kalau pemerintah DKI bangun pedestrian itu enggak durable, enggak tahan lama. apalagi kalau lakai keramik atau paving itu gampang bergelombang terus susah membentuk motif yang secara visual enak dilihat. Orang arsitek kan liat sisi arsistiknya," tambahnya. 

Berbeda halnya dengan perusahaan yang terlibat sebagai kontraktor, PT Sharp Electronic Indonesia (SEID) menyumbangkan sumbangsihnya dalam menjaga ruang interaksi publik. Hal itu dilakukan melalui aksi perusahaan dalam corporate social responsibility (CSR). Salah satunya, SEID menyasar pada museum-museum yang ada di Jakarta.

Senior PR and Brand Communication Manager, PT Sharp Electronics Indonesia Pandu Setio kepada Validnews, Sabtu (5/10) menyatakan, Sharp Indonesia sudah lama terlibat dalam membangun dan menjaga fasilitas ruang interaksi publik. 

"Seperti melakukan aksi bersih museum dan mendonasikan beragam fasilitas kebersihan, penambahan koleksi hutan kota dan taman kota juga mendonasikan fasilitas kebersihan, papan petunjuk dan sebagainya untuk menambah kenyamanan para pengunjung," tuturnya.

Salah satu keterlibatan Sharp juga dilakukan lewat kegiatan bersih-bersih museum. Contohnya di Museum Satria Mandala di Kawasan Gatot Soebroto pada Maret tahun 2017.

Pada gelaran ini, Sharp bahkan mengajak para siswa tingkat SMA melakukan aksi bersih-bersih museum yang berisi armada penerbangan era dahulu itu. Dalam praktiknya, Sharp menggandeng NGO baik lokal maupun nasional. Lembaga ini akan menjembatani Sharp dalam memilih lokasi tempat aksi bersih-bersih dilakukan. 

"Peran yang dilakukan oleh mereka adalah membantu dalam mempersiapkan penyelenggaraan acara, menjalankan program dan evaluasi program," tambah Pandu. 

Namun, konsep CSR sendiri murni berasal dari PT SEID sebagai sumbangsih bagi masyarakat. Korporasi ini juga ingin menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan di area publik. 

"Kami ingin mendorong masyarakat untuk melakukan hal yang sama yaitu untuk ikut menjaga kebersihan," tandasnya. 

Ia menambahkan, Sharp juga mempunyai program Sharp Green Project yang mengajak pelajar untuk mengunjungi hutan Kota untuk melakukan aksi penanaman pohon. Momen tersebut digunakan untuk aksi bersih dan donasi fasilitas kebersihan bagi tempat-tempat tersebut.

"Tujuannya guna meningkatkan kesadaran mereka akan lokasi dan pelestarian lingkungan," tambah Pandu. 

Kompensasi
Baik PT Pendawa Lestari Perkasa maupun PT Sharp Electronic Indonesia pun menyatakan akan membuka peluang dalam pembangunan ruang terbuka hijau di Jakarta. PLP misalnya, berencana membangun taman di Jakarta. Taman itu rencananya akan menggunakan inovasi teknologi terbaru. 

Menurutnya, banyak taman kota yang kurang menarik dari segi visual. Untuk itu, grup Semen Indonesia ini berencana membangun taman menggunakan beton yang inovatif.

"Kita ingin tawarkan solusi jadi kalau di taman suatu lantai enggak hanya beton motif tapi juga mengkilat, dan beton yang kalau malam batunya nyala. Dan kita juga mengembangkan beton yang bisa serap polusi. Itu kita lagi kembangkan sekarang masih skala lab belum diluncurkan," ujar Rifko. 

Namun, pihaknya belum dapat memastikan lokasi dan kapan waktu tepatnya pembangunan taman ini akan dilakukan. Senada dengannya, Pandu Setio menyatakan Sharp juga tengah menyusun program CSR yang ditujukan pada pelestarian ruang publik

Ia pun belum dapat menyebutkan apa dan kapan program tersebut diluncurkan. Yang pasti, peran korporasi dalam pembangunan ruang publik tidak bisa dipandang sebelah mata. Pasalnya ruang terbuka ini memang tidak bisa hanya dibangun dalam sudut pandang sipil, tetapi juga sudut pandang desain yang lebih estetis. 

Yayat Supriatna menyatakan, peran swasta dalam menggarap ruang publik cukup penting. Terutama pada taman-taman yang bisa diakses oleh masyarakat untuk sarana rekreasi. Jadi, taman ini tidak hanya sebagai bagian dari pribadi di sekitar area perumahan atau perkantoran yang fungsinya hanya sebagai estetika semata.

"Ruang terbuka publiknya bisa diakses tidak oleh masyarakat berupa taman-taman yang bisa didatangi-dikunjungi atau hanya taman yang hanya sebagai estetika doang. Ini kan banyak sekarang ini," ujarnya.

Tidak bisa dimungkiri,  bantuan swasta dalam proyek ruang publik ini harus menguntungkan kedua belah pihak baik pemprov maupun korporasinya sendiri. Salah satunya bagaimana swasta diberikan kompensasi terkait periklanan.  

"Kalau terkait iklan memang sekarang tidak boleh advertising yang berupa papan iklan. Dia harus dalam bentuk videotron," ujarnya. 

Kompensasi dalam beragam bentuk, memang menjadi konsekuensi jika menggandeng perusahaan swasta yang sejatinya memang berorientasi untung. 

Hanya saja terkait kompensasi bagi swasta yang ikut menggarap ruang publik, Yayat melihat belum ada payung hukum yang paten. Karenanya, ia menyarankan dibuat payung hukum yang jelas dalam memberikan kompensasi bagi pihak swasta yang menyumbangkan pembangunan taman maupun fasilitas publik lainnya. Paling tidak, CSR yang dibangun swasta bisa masuk dalam penganggaran APBD.  (Kartika Runiasari,  Bernadette Puspitaningrum)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar