22 Desember 2020
21:00 WIB
JAKARTA – Pemerintah kembali menaikkan tarif cukai rokok tahun depan. Meski nominalnya tidak sebesar kenaikan tahun lalu, keputusan tersebut tetap saja memantik protes dari para pelaku usaha di industri rokok. Mereka bernasib sama dengan hampir seluruh pengusaha sektor lain, lesu akibat pandemi covid-19.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok (GAPPRI) Hendry Najoan menilai, penetapan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) Tahun 2021 pada masa pandemi adalah keputusan yang tidak wajar.
“Tidak wajar sebab kinerja industri sedang turun akibat pelemahan daya beli karena ada pandemi dan kenaikan cukai sangat tinggi di tahun 2020 kemarin. Apalagi saat ini angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi masih minus,” cetus Henry dalam keterangan tertulis, Kamis (10/12).
Pernyataan tersebut adalah tanggapan atas apa yang Menteri Keuangan Sri Mulyani umumkan bahwa tarif cukai tembakau naik sebesar 12,5%. Tarif CHT yang berlaku efektif mulai 1 Februari 2021 ini, meliputi kenaikan pada industri sigaret putih mesin (SPM) golongan 1 sebesar 18,4%, SPM golongan 2A 16,5% dan SPM golongan 2B 18,1%
Kemudian sigaret kretek mesin (SKM) golongan 1 naik 16,9%, SKM golongan 2A 13,8%, dan SKM golongan 2B 15,4%. Sementara untuk industri sigaret kretek tangan (SKT) tarif cukainya tidak berubah atau kenaikannya 0%.
Dalam publikasinya, Kemenkeu membuat catatan bahwa tarif cukai SKT tidak dinaikkan karena pertimbangan situasi pandemi dan serapan tenaga kerja oleh IHT. SKT dinilai telah berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja langsung sebesar 158.552 orang.
Sri Mulyani menyebutkan, kenaikan adalah manifestasi komitmen pemerintah menyeimbangkan dan mengendalikan konsumsi dari produk hasil tembakau.
“Dengan format kebijakan tersebut, maka hasil yang diharapkan dari kebijakan ini adalah dari sisi kesehatan. Kenaikan dari CHT diharapkan akan mengendalikan konsumsi rokok, menurunkan prevalensi merokok terutama pada anak-anak dan perempuan,” ujar Sri Mulyani.
Sebaliknya, industri menilai kenaikan tarif rata-rata tertimbang 12,5% dengan kenaikan masing-masing layer berkisar antara 13,8% sampai 18,4%, jelas sangat tinggi. Henry membandingkan kenaikan cukai saat ini dengan kondisi normal.
Pasalnya, pada tahun-tahun lalu dalam posisi angka pertumbuhan ekonomi 5% dan inflasi 3%, kenaikan cukai rata-rata 10% sudah berdampak pada penurunan produksi industri hasil tembakau (IHT) sekitar 1%. Jadi, ia memperkirakan, kenaikan cukai yang sangat tinggi pada 2021 akan meningkatkan maraknya rokok ilegal, kematian industri menengah-kecil, serta serapan bahan baku.
“Kenaikan cukai yang tinggi ini menyebabkan gap harga antara rokok ilegal dengan legal semakin jauh. Bertambahnya jumlah penindakan rokok ilegal dapat diartikan semakin maraknya rokok ilegal, bahkan terus meningkat akibat gap yang semakin tinggi,” tegas Henry.
Perkumpulan GAPPRI menginformasikan bahwa industri belum mampu menyesuaikan dengan harga jual maksimal akibat kenaikan cukai tahun 2020 sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35%. Di perhitungan mereka, harga rokok yang ideal yang harus dibayarkan konsumen pada tahun ini seharusnya naik 20%, tetapi baru mencapai sekitar 13%. Artinya, masih ada 7% untuk mencapai dampak kenaikan tarif periode 2020.
Alasan Kesehatan
Dalam publikasinya, Kementerian Keuangan membeberkan alasan kenaikan tarif cukai periode 2021. Pemerintah mengaku, kebijakan diambil melalui pertimbangan lima aspek, yaitu kesehatan terkait prevalensi perokok, tenaga kerja di industri hasil tembakau, petani tembakau, peredaran rokok ilegal, dan penerimaan negara.
Dalam aspek kesehatan, kenaikan tarif cukai ini ditargetkan mampu menurunkan prevalensi merokok secara umum, dari 33,8% menjadi 33,2% tahun depan karena akan menaikkan harga jualnya. Selain itu, diharapkan pula penurunan prevalensi merokok anak golongan usia 10–18 tahun yang ditargetkan turun menjadi 8,7% pada 2024 dari 9,1% tahun ini.
Pemerintah juga menargetkan pemasukan negara sebesar Rp173,78 triliun pada 2021, dari cukai rokok yang tarifnya sudah dinaikkan. Angka ini, lebih tingi dari realisasi penerimaan CHT tahun 2019 sebesar Rp164,87 triliun, maupun realisasi CHT per November 2020 di level Rp146,03 triliun.
Dari kenaikan ini, pemerintah akan menyesuaikan kebijakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) Tahun 2021 untuk meredam dan memberikan dukungan kepada pihak yang terdampak akibat kenaikan CHT. Kebijakan DBH CHT akan menyeimbangkan tiga aspek yaitu kesejahteraan masyarakat, kesehatan, dan penegakan hukum.
“Kita memberikan porsi 50% dari DBH CHT untuk tujuan peningkatan kesejahteraan sosial para petani dan buruh, 25% dari DBH CHT tahun 2021 tetap untuk aspek kesehatan, sedangkan 25% sisanya untuk penegakan hukum,” tegas Menkeu.

Uniknya, bila melihat potensi pemasukan bagi negara dari cukai rokok, setidaknya dalam tiga tahun terakhir masih menunjukkan peningkatan. Penerimaan CHT pada 2017 adalah RP147,71 triliun. Kemudian menjadi Rp152,94 triliun pada 2018, dan kembali naik menjadi 164,87 triliun pada tahun berikutnya. Selanjutnya, tercatat mencapai Rp146,03 triliun per November 2020, dan ditargetkan menjadi Rp173,78 triliun pada 2021.
Fakta bahwa penerimaan cukai rokok yang masih meningkat secara tahunan, justru bisa dinilai sebagai kegagalan pemerintah menekan perokok. Terapan cukai sejatinya menjadi instrumen penekan konsumsi produk dengan eksternalisasi negatif. Hal yang terjadi justru sebaliknya, dari angka pemasukan yang tetap naik.
“Tarif cukai rokok naik, tetapi penerimaan dari CHT meningkat, artinya mungkin masyarakat menyesuaikan dengan mengurangi konsumsi yang lebih penting misalnya makan. Tetapi sisanya dibelanjakan untuk rokok,” terang Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet, Senin (21/12).
Peluang Potensi Lain
Berkaca dari penerapan CHT yang belum menunjukkan penurunan konsumsi rokok, Yusuf menilai, cakupan penerapan cukai di Indonesia masih relatif terbatas. Yang disasar melulu rokok dan minuman beralkohol. Padahal negara-negara lain di ASEAN telah menggunakan cukai sebagai instrumen penekan konsumsi BBM hingga minuman berpemanis. Dari pengalaman tetangga, Indonesia harusnya memiliki peluang memperluas penerapan cukai. Semisal cukai minuman berpemanis, tujuannya juga untuk mengurangi dampak penyakit yang ditimbulkan—seperti diabetes—yang terus meningkat.
“Ini bisa menjadi acuan dasar untuk pemerintah menerapkan beragam ekstensifikasi cukai baru. Apalagi kalau kita lihat bahwa cukai yang tengah diajukan, termasuk di dalamnya cukai untuk minuman berpemanis,” imbuh Yusuf.
Sejatinya, selain penyakit yang diklaim akibat rokok, banyak lainnya yang selayaknya disiasati dengan cukai.
Catatan BPJS Kesehatan menorehkan ini. Biaya penanganan diabetes di Indonesia pada 2019 mencapai Rp6,74 triliun dengan total kasus sebanyak 7,4 juta dalam setahun.
Publikasi Pusdatin Kementerian Kesehatan menyebutkan pada 2013-2018 terjadi peningkatan prevalensi diabetes di semua provinsi, kecuali Nusa Tenggara Timur. Terdapat empat provinsi yakni Riau, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, dan Papua Barat yang mencatatkan peningkatan prevalensi tertinggi sebeasr 0,9%.
Sementara, Organisasi Internastional Diabetes Federation (IDF) mencatat, Indonesia adalah negara ketujuh dari 10 peringkat negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia. Dengan jumlah penderita sebanyak 10,7 juta jiwa, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masuk daftar tersebut.
Secara keseluruhan, data IDF memperkirakan, sedikitnya ada 463 juta orang berusia 20-79 tahun di dunia menderita diabetes selama periode 2019.
“Harus menjadi concern pemerintah untuk mencari cara untuk agar prevalensi ini tidak terus kemudian meningkat,” ujar Yusuf.

Pendiri Komunitas Sobat Diabet dr. Rudy Kurniawan, Sp.PD menerangkan bahwa diabetes tidak hanya menyerang orang yang memiliki gen atau keturunan penyakit tersebut saja. Ia menyebutkan, penyebab diabetes yang paling utama saat ini adalah gaya hidup, terutama pada kasus yang terjadi pada anak muda.
“Ini terpengaruh dari gaya hidup. Generasi muda gampang banget makan fastfood, konsumsi gulanya juga menyebabkan risiko terkena diabetesnya jauh lebih tinggi,” jelas Rudy seperti dikutip Antara, Jumat (10/12).
Dia berkata satu dari lima penderita diabetes terdiagnosis pada usia di bawah 40 tahun, menurut Jurnal Endocrinology and Metabolism. Kajian itu menyatakan, usia seseorang terdiagnosis diabetes diketahui lebih muda pada orang Asia, dibandingkan orang Amerika dan Eropa.
Tak sedikit juga yang akhirnya berisiko kematian pada usia muda. Minuman berpemanis sebagai biang keladi penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular, dikuatkan dengan kajian Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada yang dirilis pada Oktober 2020.
Indonesia kini ada di posisi ketiga sebagai konsumen minuman berpemanis terbanyak di Asia Tenggara. Dengan jumlah konsumsi sebanyak 20,23 liter per orang per tahun. FK UGM juga mencatat bahwa saat ini, 43 juta anak usia 0–5 tahun di seluruh dunia mengalami obesitas atau kelebihan berat badan. Kemudian prevalensi obesitas pada anak diperkirakan meningkat dari 4,2% pada 1990 menjadi 9,1% pada 2020.
Ada pun penyebabnya, dirInci FK UGM, adalah karena tngginya konsumsi minuman berpemanis di Indonesia. Beberapa faktor berkontribusi sebagai penyebab ketinggian. Faktor pertama ialah lemahnya sistem regulasi di Indonesia yang mengatur tentang penjualan minuman manis.
Mereka mengatakan bahwa tidak ada definisi standar minuman manis di dalam Undang-Undang atau Peraturan Menteri dan regulasi lainnya di Indonesia. “Tidak adanya definisi standar ini menyebabkan minuman manis tidak dapat dijadikan sebagai produk regulasi,” tulis Fanda dalam rilis tersebut.
Faktor kedua ialah terjangkaunya harga minuman manis di Indonesia, yang rata-rata dihargai senilai Rp1.500 per 180 ml, dari pantauan mereka melalui platform penjualan secara daring. Faktor ketiga ialah gencarnya pemasaran minuman manis, salah satunya melalui iklan media massa.
Hasil Studi Diet Total Balitbangkes 2014 menunjukkan, rerata konsumsi minuman cair oleh penduduk Indonesia selain air putih, sebesar 25 gram per orang per hari. Dalam kelompok ini, minuman kemasan merupakan yang terbanyak dikonsumsi, yaki 19,8 gram per orang per hari. Diikuti minuman berkarbonasi sebanyak 2,4 gram per orang per hari, baru minuman beralkohol pada posisi terendah sebanyak 1,9 gram per orang per hari.
Secara total populasi, minuman kemasan cairan dikonsumsi terbanyak oleh sekitar 8,7% penduduk Indonesia, diikuti minuman lainnya oleh 1,8% penduduk, dan minuman berkarbonasi oleh 1,1% penduduk. Persentase penduduk yang banyak mengkonsumsi minuman berkarbonasi berada pada kelompok umur 13–18 tahun.
Permenkes RI Nomor 30 tahun 2013 menyebutkan, batas konsumsi gula per orang adalah 50 gram per hari. Sementara WHO mengumumkan pada September 2020 bahwa dalam satu botol minuman ringan berkarbonasi ukuran 600ml biasanya mengandung 64g gula atau 15-16 sendok teh yang setara 256 kalori.
Negara Cukai Pemanis
Merujuk laporan World Bank, sejumlah negara sudah lama menerapkan pajak bagi minuman berpemanis non-alkohol. Atas tujuan pendapatan, World Bank mencatatkan Denmark, Finlandia, dan Norwegia menjadi pionir dalam menerapkan pajak minuman berpemanis pada era 1920-1930an.
Sedangkan pada awal tahun 2000, pajak minuman berpemanis yang terkait dengan kesehatan pertama kali diterapkan di beberapa negara Kepulauan Pasifik, seperti Polinesia Prancis, Nauru, dan Samoa disusul oleh Denmark, Finlandia, Hongaria, dan Prancis pada rentang 2009-2012. Pajak tersebut duduk lebih tinggi di atas pajak yang diberlakukan untuk makanan dan minuman lainnya.
Kemudian, Meksiko turut menyusul dengan menerapkan pajak cukai sebesar 1 Peso Meksiko (MXN) per liter untuk minuman berpemanis yang secara eksplisit ditujukan guna mengurangi konsumsi masyarakat dan mengatasi obesitas atau NCD yang tinggi di negara tersebut.
Pasalnya, Meksiko memiliki tingkat obesitas yang tinggi, sebanding dengan konsumsi minuman berpemanis tertinggi di dunia. Hal itu tak lepas dari kuatnya industri minuman berpemanis di Meksiko.
Sementara sejak Januari 2020, World Bank mencatatkan lebih dari 40 negara telah menerapkan pajak nasional soal minuman berpemanis. Selain itu, ada juga pajak tingkat wilayah/regional yang berlaku di kawasan Catalonia Spanyol dan Navajo di Amerika Serikat.
Dilihat secara keseluruhan, volume penjualan minuman berpemanis di negara-negara berpenghasilan tinggi telah menurun akibat adanya penerapan pajak dalam beberapa dekade terakhir, sekalipun perlahan dari level yang sangat tinggi. Namun demikian, volume penjualan produk tersebut di negara berpenghasilan rendah dan menengah justru menunjukkan tren peningkatan yang stabil setidaknya sejak 2003–2017.
Jika dilihat berdasarkan wilayahnya, Amerika Utara merupakan konsumen minuman berpemanis tertinggi, diikuti oleh Amerika Latin dan Karibia. Meski demikian, volume penjualan justru menurun di Amerika Utara, Eropa Barat, serta Australasia.
Sebaliknya, tren peningkatan volume penjualan minuman berpemanis justru terjadi di beberapa belahan dunia, khususnya Asia Timur, Afrika Sub-Sahara, serta Afrika Selatan. Padahal berbagai instrumen pajak sudah diterapkan, mulai dari exercise tax, pajak impor, hingga value added tax atau goods and services tax.
Khusus untuk exercise tax sendiri dikenakan atas produk tertentu yang biasanya pada titik produksi atau distribusi dan bisa bersifat spesifik berdasarkan volume kandungan gula maupun ad valorem (presentase nilai produk).
Berdasarkan presentasinya, 27% menerapkan sifat ad valorem pada pajak minuman berpemanis, 46% bersifat tingkat tunggal berbasis volume, 17% merujuk pada tingkatan non-tunggal berbasis volume, serta 10% merujuk pada kadar gula.
Cukai Minuman Berpemanis
Berbagai paparan di atas harusnya dicermati. Hingga awal tahun ini, pemerintah mengaku masih menggodok rencana pengenaan cukai minuman berpemanis. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan, dia masih membahas rencana tersebut dengan menteri keuangan.
Agus juga mengingatkan bahwa saat ini kondisi industri nasional sedang tidak normal, akibat adanya pandemi covid-19 yang membayang-bayangi perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
“Itu sedang kami bicarakan dengan Kemenkeu, intinya dalam kondisi tidak normal,” kata Menperin seperti dikutip Antara, Maret 2020.
Dengan kontribusi 17,9%, Agus Gumiwang menegaskan bahwa industri pengolahan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga kinerjanya perlu didukung. Karena itu, ia tekankan bahwa pemerintah justru tengah berupaya mempermudah industri dan menghilangkan berbagai hambatan.
Sebetulnya, Kementerian Keuangan pernah mengusulkan produk minuman berpemanis dikenakan cukai Rp1.500 per liter untuk teh kemasan. Produksi teh kemasan ini mencapai 2,191 juta liter setiap tahun, dengan potensi penerimaannya mencapai Rp2,7 triliun.
Sementara produk berkarbonasi akan dikenakan cukai sebesar Rp2.500 per liter. Tercatat produksi minuman karbonasi ini mencapai 747 juta liter, dengan potensi penerimaan negara mencapai Rp1,7 triliun. Selanjutnya, produk minuman berpemanis lainnya seperti minuman energi, kopi, konsentrat dan lainnya dikenakan cukai Rp2.500 per liter.
Hitungan pemerintah menunjukkan, potensi penerimaan sebesar Rp1,85 triliun dari total produksi minuman jenis itu sebesar 808 juta liter. Sehingga total penerimaan negara diperkirakan mencapai Rp6,25 triliun atau sekitar 3,5% dari target penerimaan negara sepanjang 2020.
Namun, Ekonom CORE Indonesia memperingatkan pemerintah agar melakukan kajian mendalam, sebelum benar-benar memberlakukan cukai pada produk minuman berpemanis. Pasalnya, ia justru melihat bahwa konsumsi minuman berpemanis atau bersoda di Indonesia, relatif masih kecil.
“Wajar kalau asosiasi pengusaha tidak setuju dengan rencana cukai ini. Jangan-jangan angka diabetes meningkat itu bukan disebabkan oleh minuman-minuman berpemanis ini karena secara proporsi konsumsi ini relatif kecil,” ujar Yusuf.
Jika demikian halnya, memang perlu pembahasan komprehensif terhadap kemungkinan menerapkan cukai dengan tujuan menekan konsumsinya.
Kebijakan cukai memang harusnya tak hanya dilihat sebagai pemasukan negara. Apa yang terpapar dari cukai rokok, menjadi koreksi. “Tujuannya mengurangi tetapi kemudian terus meningkat,” tandas Yusuf. (Zsazya Senorita, Rheza Alfian, Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi, Yoseph Krishna)