24 Februari 2021
17:27 WIB
JAKARTA - Badan Pusat Statistik segera menyiapkan data terpadu seluruh e-commerce yang mengadakan kegiatan usaha di dalam negeri. Data perdagangan digital yang diberikan asosiasi, kementerian dan lembaga akan diterbitkan dalam satu pintu.
Direktur Neraca Pengeluaran BPS Puji Agus Kurniawan mengatakan, pihaknya bakal menggunakan mekanisme digital untuk mempermudah pelaku usaha menyerahkan data agregat.
BPS akan membangun portal khusus agar bisa bisa memudahkan dan tidak perlu diolah sedemikian rupa oleh pelaku usaha digital. Nantinya, pelaku usaha hanya perlu menyerahkan data agregat, bukan data spesifik seperti yang dilakukan sebelumnya.
"Sehingga kesulitannya ada di BPS (ditanggung). Dari sekian banyak platform, pasti kode komoditas berbeda-beda dan ini menjadi kewajiban BPS untuk mengolah dan mengkonversi sesuai kaidah statistik," jelasnya di Jakarta, Rabu (24/2).
Sebelumnya, pada 2018, pemerintah bersama BPS pernah mengupayakan pengumpulan data untuk men-support peta jalan e-dagang dengan mekanisme konvensional. Hanya saja, respon yang diberikan tidak sesuai dengan ekspektasi, sehingga hasil statistiknya urung dirilis secara resmi.
Pihaknya mengidentifikasi, itu terjadi lantaran pelaku usaha mengalami kesulitan kala mengkonversi dari database ke format kuesioner kala itu. Hal ini disampaikan ketika pemerintah membahas PP 80/2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan rancangan peraturan BPS yang sedang dibangun.
"Kendala ini kita coba buat seefisien mungkin, kalau pas 2018 pengumpulan dilakukan secara konvensional lewat kuosioner dan format excel. Berdasarkan itu, ketika mau kumpulin data (baru), kita coba hilangkan," ujarnya.
Selanjutnya, untuk meningkatkan inklusivitas hasil data, BPS akan berkoordinasi langsung dengan Kemenko Ekonomi, Kemendag hingga OSS BKPM. Upaya pengumpulan data ini diharapkan bisa terlaksana lewat satu pintu dengan kesepakatan semua pihak.
Sehingga, siapapun bisa mendapatkan data agregat tersebut lewat kriteria tertentu yang diberikan BPS di masa depan. "Mudah-mudahan (data) ini bisa memenuhi kebutuhan Kementerian dan Lembaga," katanya.
Mekanisme Pelaporan Data
Sementara ini, implementasi pelaporan data e-commerce hanya diwajibkan kepada PPMSE. Ketentuan tersebut berlandaskan PP 80/2019 dan Permendag 50/2020. Meskipun, Agus menjelaskan, sistem dan portal juga bisa memuat data yang dimiliki oleh Penyelenggara Sarana Perantara (PSP) serta pedagang.
"Namun, data PSP dan pedagang sifatnya sukarela, kami akan persuasi mereka untuk ikut voluntary mengirimkan data. (Sementara), PMSE wajib daftar karena termasuk kode 4791 (KBLI) untuk perdagangan yang murni online," ujarnya.
Berdasarkan KBLI, pelaku digital di tingkat nasional mencakup pelaku portal web dan/atau platform digital tanpa tujuan komersial (63.121 pelaku), pelaku portal web dan/atau platform digital dengan tujuan komersial (63.122 pelaku), aktivitas kurir (53.201 pelaku), serta aktivitas hosting dan yang terkait (63.112 pelaku).
Selain itu, BPS juga berupaya mengakomodasi data perdagangan dan penjualan yang tidak 100% online, yang tidak masuk sistem OSS dan sistem lainnya. Secara keseluruhan, target tersebut termasuk dalam jangka panjang roadmap implementasi pelaporan data e-dagang.
"Dalam jangka pendek kita konversi data PPMSE dulu dan mengumpulkan data yang voluntary itu, lalu berkembang kebutuhan. Kita juga akan tetap berkoordinasi dengan K/L lain," jelasnya.
Adapun BPS akan merekam data seperti nama perusahaan, mulai beroperasi, kegiatan utama, jumlah unique visitors, jumlah member dan jumlah pegawai.
Lalu, nilai dan volume transaksi rupiah, volume total barang terjual, jumlah member e-money dan e-wallet, metode pembayaran, jumlah unique buyer, jumlah seller, jumlah merchant dan customer per kategori wilayah, hingga pendapatan rupiah.
Perlu Beragam Mekanisme
Ketua Umum idEA Bima Laga merekomendasikan, tata cara pelaporan dapat mengakomodir keberagaman skala bisnis setiap pelaku usaha e-commerce. Adapun pelaporan data oleh platform dan UMKM digital mengacu pada PP 80/2019 tentang PMSE.
Perlu diketahui, setiap e-commerce memiliki kapasitas infrastruktur IT yang berbeda-beda. Sehingga perlu menyediakan beberapa pilihan mekanisme pelaporan data.
"Misal, melalui upload di portal BPS, menggunakan sistem pelaporan data yang memilikki jangka waktu ketersediaan (SFTP), dibandingkan sistem pelaporan data menggunakan berbagai berbagai akses (API)," jelasnya.
Kemudian, Bima juga meminta agar pelaporan data mesti memperhatikan perlindungan data pribadi, jika ada undur data pribadi yang dilaporkan perlu dilakukan data masking.
"Untuk menegaskan bahwa pelaporan data BPS merupakan data agregat, bukan data granular atau data pribadi," katanya.
Selain itu, pelaporan data dalam kebutuhan perpajakan, dapat dipisahkan ketentuanya dari peraturan BPS tersebut. (Khairul Kahfi)