c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

21 Maret 2018

20:05 WIB

BI Diperkirakan Tidak Sesuaikan Suku Bunga Acuan Pasca-FOMC

Kenaikan suku bunga The Fed tak membuat BI mengambil langkah yang sama. Salah satu alasannya adalah kondisi fundamental ekonomi domestik saat ini berjalan baik, terlihat dari terjaganya inflasi sesuai sasaran BI di 2,5—4,5% secara year on year

BI Diperkirakan Tidak Sesuaikan Suku Bunga Acuan Pasca-FOMC
BI Diperkirakan Tidak Sesuaikan Suku Bunga Acuan Pasca-FOMC
ilustrasi Bank Indonesia.

JAKARTA – Mendekati rapat komite bank sentral Amerika Serikat (AS), prediksi The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya semakin kuat. Hanya saja, perubahan yang diambil The Fed diyakini tidak akan membuat Bank Indonesia (BI) secara reaktif ikut menaikkan suku bunga acuannya.

Menurut Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, Darmin Nasution, apapun yang nantinya akan terjadi setelah rapat komite tersebut, suku bunga acua BI atau BI 7-Day Reverse Repo Rate akan tetap berada di angka 4,25%.

"Tidak ada perubahan yang besar, karena semua sudah meng-absorb ini dan sudah dihitung sejak dua atau tiga bulan," kata mantan Gubernur Bank Indonesia ini seperti dilansir Antara, Rabu (21/3).

Untuk diketahui, The Federal akan menggelar rapat Komite Pasar Terbuka (FOMC) pada 20—21 Maret 2018 waktu setempat. Pelaku pasar meyakini, bank sentral Negeri Paman Sam ini akan menaikkan suku bunga acuan dari level saat ini 1,25—1,5% pada Maret 2018.

Gelagat The Fed menaikkan suku bunga acuan sebenarnya sudah mulai tampak dari jauh-jauh hari. Karena itulah, para pelaku pasar dan negara lain seakan sudah mempersiapkan diri, tidak terkecuali BI.

Persiapan inilah, Darmin berpandangan, yang membuat tidak adanya kekhawatiran berlebihan atas rencana kenaikan suku bunga acuan The Fed. Karena itu, tidak ada alasan BI untuk ikut-ikutan melakukan hal serupa.

Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo pun sempat mengatakan, kebijakan BI 7-Day Reverse Repo Rate belum tentu mengetat atau naik pada Maret 2018. Walaupun pada bulan yang sama, bank sentral AS hampir dipastikan menaikkan suku bunga acuan.

Salah satu alasannya adalah kondisi fundamental ekonomi domestik saat ini yang berjalan baik. Ini terlihat dari terjaganya inflasi sesuai sasaran BI di 2,5—4,5% secara year on year.

Asal tahu saja, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka inflasi tahunan di akhir 2017 lebih rendah dari target BI. Tercatat, inflasi dari Januari—Desember pada tahu lalu hanya berada di angka 3,61%. Sementara itu, target inflasi dari bank sentral sendiri mencapai 4,1% pada periode yang sama.

Untuk tahun ini, target inflasi yang ditetapkan BI sebesar 3,5%. Kemudian pada Februari kemarin, BPS mencatat terjadi inflasi sebesar 0,17%. Angka ini jauh menurun dibandingkan inflasi pada Januari sebesar 0,62%.

Memang tekanan ekonomi eksternal masih dan mengganggu stabilitas nilai rupiah. Akan tetapi, menurut Agus, volatilitas kurs tersebut belum terlalu mengkhawatirkan.

Sementara itu Darmin melihat, terus melemahnya nilai tukar rupiah dari awal tahun ini merupakan bagian dari proses pelaku pasar dalam menyikapi rencana The Fed tersebut.

Sebagai informasi, berdasarkan data kurs referensi versi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), per 21 Maret ini nilai tukar rupiah berada di angka Rp13.759. Angka ini menguat dua poin dibandingkan posisinya pada Selasa kemarin.

Dibandingkan dengan awal tahun, rupiah memang terdepresiasi. Dalam periode 1 Januari sampai 21 Maret, persentase depresiasinya mencapai 1,6%.

"Kita lihat saja, hitung-hitungan fundamentalnya berapa jadi tidak perlu bereaksi untuk menaikkan lagi," ucap Darmin.

Bank Indonesia kini tengah melangsungkan Rapat Dewan Gubernur (RDG) hari pertama, dari rangkaian dua hari pertemuan. Pertemuan akan ditutup esok. (Teodora Nirmala Fau)

 

 

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar