c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

20 Agustus 2019

08:01 WIB

Area Bekas Tambang Freeport Disarankan Ditanami Pohon Keras

Area bekas tambang Freeport diperkirakan menjadi 'hutan muda' dalam 10 tahun. Pohon merbabu dan trembesi pun disarankan untuk ditanam di lokasi tersebut

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Area Bekas Tambang Freeport Disarankan Ditanami Pohon Keras
Area Bekas Tambang Freeport Disarankan Ditanami Pohon Keras
Lokasi tambang Freeport di Papua. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyarankan, area bekas tambang PT Freeport Indonesia ditanami jenis pohon dengan kayu keras. Jonan yakin, proses kumpulan tailing akan menjadi hutan baru dalam waktu 10–15 tahun dan akan lebih cepat lagi jika ada campur tangan manusia yang membantunya.

"Lokasi limbah tailing ini dalam 10 tahun sudah menjadi 'hutan muda'. Jika demikian maka saya menyarankan agar di lokasi ini lebih banyak ditanami tanaman keras misalnya, kayu merbau dan trambesi, kalau tanaman keras itu bisa survive mestinya oke," kata Jonan dalam informasi tertulis dari Kementerian ESDM di Jakarta, Senin (19/8).

Jonan mengunjungi lokasi pusat reklamasi keanekaragaman hayati PT FI di Timika, Papua. Di lokasi reklamasi ,Jonan pun secara simbolis melakukan penanaman Pohon Bintangon.

Seperti diketahui, kegiatan operasi pertambangan PT Freeport Indonesia menghasilkan tailing berupa pasir sisa tambang (Sirsat). Sirsat yang dihasilkan dari kegiatan PT Freeport Indonesia sendiri mencapai 97% dari produk batuan biji yang dihasilkan. Sirsat merupakan sisa gerusan batuan bijih setelah mineral tembaga, emas, dan peraknya diambil (dalam bentuk konsentrat).

"Saya mengunjungi pusat budi daya untuk penanaman lagi di wilayah yang terkena dampak dari sisa tanah hasil kegiatan operasi pertambangan PT Freeport Indonesia yang di atas, di Grasberg dan sekitarnya. Menurut informasi dari Bapak Tony (Toni Wenas, Dirut Freeport), tailing di sini tidak berbahaya karena proses yang dilaksanakan adalah proses fisika dan bukan proses kimiawi yang berbahaya," ujar Jonan di lokasi reklamasi.

Meski tidak berbahaya dan beracun karena volumenya besar sekali, yakni sekitar 200.000 ton per hari, menurut Jonan, semua yang terdampak seperti tanaman akan mati. Karenanya mesti ditanami kembali.

Lokasi tempat penimbunan tailing diperkirakan akan kembali menjadi hutan alami dalam waktu 10–15 tahun. Setelah menjadi hutan kembali Jonan menyarankan agar ditanami tanaman keras, jangan jenis perdu.

Senada, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas juga menegaskan, limbah tailing hasil pertambangan PT Freeport Indonesia tidak berbahaya.

"Proses yang terjadi bukan kimiawi tetapi fisika. Di dataran tinggi sana (Tembagapura) batuan diekstrak, digerus menjadi halus, kemudian diekstrak kembali menggunakan sejenis reagen, sejenis alcohol, sehingga mineral berharganya bisa mengambang, yang ini kemudian diekstrak kembali dan sisanya 97% menjadi tailing," jelas Toni.

Lokasi reklamasi hasil kegiatan pertambangan PT Freeport Indonesia tercatat seluas sekitar 800 hektare dan sudah tumbuh menjadi hutan baru. Sekitar 100 hektare sudah ditanami dengan pohon buah-buahan, kolam ikan, penangkaran kupu-kupu dan peternakan sapi. Langkah ini dilakukan untuk menujukkan, ekosistem sudah kembali normal di lokasi reklamasi.

Menurut perkiraan, setelah menjadi hutan baru setelah 10-15 tahun, diprediksi akan tumbuh sekitar 500 jenis tumbuhan termasuk buah-buahan. Kemudian, setelah 20 tahun akan tumbuh sekitar 800 tumbuhan secara alami.

Khusus untuk tanaman buah-buahan yang dihasilkan dari lokasi reklamasi, Departemen Lingkungan PT Freeport Indonesia memastikan akan terus melakukan analisis secara rutin. Hal ini untuk melihat apakah buah-buahan tersebut aman untuk dikonsumsi. Begitu juga dengan ikan-ikan yang ada yang hidup di kolam bekas tailing.

Wajib Rehabilitasi
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah akan menerapkan penegakan hukum kepada perusahaan yang tidak melakukan rehabilitasi terhadap lubang bekas galian tambang, karena berpotensi menyebabkan bencana alam dan merugikan masyarakat sekitar.

Untuk menerapkan sanksi tersebut, Jusuf Kalla sudah memanggil tiga Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan beberapa waktu lalu.

"Jadi harus ada sanksi karena merusak lingkungan yang tidak direhabilitasi ini. Rakyat kecil kena, sementara penambang yang mengambil manfaat itu meninggalkannya begitu saja," kata Wapres JK.

Lubang bekas galian tambang yang tidak direklamasi tersebut, lanjut JK, menyebabkan dampak kerugian bagi masyarakat. Di antaranya ialah bencana banjir bandang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara dan di Samarinda, Kalimantan Timur.

"Di Konawe dan Samarinda, semua itu daerah tambang, akibat hutan-hutan dibabat kemudian tanahnya diambil. Akhirnya begitu datang hujan deras, banjir, lalu apa yang diperoleh manfaat dari tambang itu? Jauh lebih besar kerusakannya, korbannya, daripada yang diperoleh," katanya.

Kewajiban bagi perusahaan untuk merehabilitasi daerah bekas tambang, sebenarnya sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Pertambangan Batubara. Regulasi tersebut juga sudah diperkuat dengan Peraturan Menteri Nomor 07 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada Kegiatan Usaha Minerba.

Namun, hingga kini, jumlah dan luas lahan bekas galian tambang justru banyak dibiarkan menganga semakin luas, hingga berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.

"Ada di undang-undang, jelas semuanya, dia harus reklamasi. Contoh saja di Kaltim, puluhan anak dan dewasa meninggal di bekas galian tambang. Nah, itu akan bertambah terus kalau tidak direklamasi, akan rusak lingkungan," ujarnya. (Faisal Rachman) 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar