03 Maret 2018
18:29 WIB
JAKARTA – Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan menemukan berbagai kontrak jual beli yang mengindikasikan lebih besarnya pasokan gula kristal rafinasi (GKR) ketimbang kebutuhan industri. Pasokan yang lebih besar ketimbang kebutuhan ini dapat mengarah ke risiko merembesnya kristal-kristal manis ini ke pasar ritel.
Indikasi tersebut muncul dalam masa uji coba lelang GKR yang telah dilakukan sejak September 2017 lalu.
“Dari hasil pendataan kontrak yang sedang dalam proses lelang Bappebti menemukan indikasi bahwa alokasi GKR melebihi kebutuhan. Hal tersebut dilihat dari permohonan persetujuan impor, yang salah satunya berdasarkan kontrak dan kapasitas produksi antara penjualan dan pembeli,” ujar Kepala Bappebti Bachrul Chairi, melalui siaran pers, Sabtu (3/3).
Menurut Bachrul, salah satu modus yang digunakan adalah kontrak yang dibuat saat ini untuk periode pengiriman khusus di kuartal tertentu dalam rentang tahun 2019-2021. Kontrak ini lantas dijadikan sebagai dasar permohonan izin impor sehingga terdapat penggelembungan volume GKR secara kontrak, padahal tidak direalisasikan di tahun penerbitan perizinan impor (PI).
“Realisasi kontrak banyak yang kedaluwarsa, sehingga terdapat sisa kontrak dalam jumlah yang cukup besar yang mengindikasikan kebutuhan pembeli lebih kecil dibanding volume dalam kontraknya. Sehingga, ada kemungkinan GKR dijual ke pihak lain,” tutur Bachrul.
Selain itu, ada kontrak yang memiliki klausul apabila pembeli hanya merealisasikan sebagian dari kontrak, maka penjual tidak mengenakan sanksi kepada kepada pihak pembeli. Sehingga, ada potensi kelebihan impor bahan baku yang tidak digunakan untuk memenuhi kontrak.
“Ada pembeli yang melakukan kontrak dengan beberapa penjual. Namun, realisasi kontrak hanya sebagian saja, sehingga beberapa penjual memiliki cadangan bahan baku atau barang jadi yang tidak terealisasi. Kondisi ini berpotensi membuat cadangan GKR tersebut dijual ke pihak lain,” kata Bachrul.
Selain realisasi yang tidak sesuai dengan kontrak awal, banyak terdapat kontrak yang sudah kedaluwarsa dan tidak dilakukan perpanjangan namun tetap berlaku. Sehingga pada saat realisasi, pengiriman barang sudah tidak memiliki dasar hukum.
Alasan lain yang mengindikasikan adanya alokasi GKR berlebih di pasar adalah perusahaan pembeli keberatan memberikan dokumen perizinan, meskipun untuk itu mereka menjadi terbebani biaya lelang.
“Adanya potensi pembeli yang bekerja sama dengan penjual untuk menggelembungkan volume kontrak. Apabila data perizinannya diketahui, maka akan dapat dideteksi pembeli mana yang membuat kontrak tidak sesuai dengan kebutuhannya,” ungkap Bachrul.
Jika terwujud transparansi dalam jual beli GKR, kata Bachrul, regulator seharusnya dapat lebih mudah melihat pemenuhan wajib pajak para peserta lelang, khususnya terkait PPN dan PPh badan.
“Pembeli yang membeli GKR di atas kebutuhan produksi untuk dirembeskan akan dapat terbaca,” kata Bachrul.
Bachrul juga melihat masih ada tendensi keberatan dari pembeli GKR jika neraca nasional kebutuhan GKR diperoleh dari pencatatan menyeluruh melalui pasar lelang. Mekanisme ini dapat mempersulit penggelembungan kontrak, yang berujung pada terhentinya operasi perembesan GKR.
“Penyelenggara lelang melakukan verifikasi atas dokumen kepesertaan pembeli untuk memastikan pembeli adalah pengguna GKR sebagai bahan baku produksi dan sudah menolak perusahaan yang tidak memiliki izin industri sehingga untuk perusahaan yang bidang usahanya sebagai distributor illegal GKR pasti akan keberatan dengan mengirimkan dokumen perizinannya,” kata Bachrul.

Perbaiki Akses
Sementara itu, Bachrul mengklaim uji coba lelang GKR yang masih terus berlangsung saat ini mulai menunjukkan dampak positif. Tak hanya akses usaha kecil menengah yang meningkat, namun juga adanya peningkatan volume GKR yang dilelang dan perbaikan pada sisi harga.
“Volume gula per bulan yang diperdagangkan di pasar lelang GKR terus meningkat jumlahnya. Selain itu, harga yang terbentuk di pasar lelang GKR juga menunjukkan tren penurunan menuju titik keseimbangan,” kata Bachrul.
Pada rentang waktu September 2017?Februari 2018, pasar lelang GKR mencatatkan volume transaksi sebesar 4.989 ton. Volume transaksi per bulannya pun menunjukkan tren peningkatan di bulan-bulan berikutnya.
Pada September 2017 volume GKR sebesar 70 ton. Volume ini lantas bertambah menjadi 245 ton pada Oktober 2017 dan 611 ton pada November 2017. Lantas, pada Desember meningkat lagi menjadi 929 ton, dan 1.763 ton pada Januari 2018. Sementara itu, volume transaksi pada Februari 2018 tercatat sebesar 1.371 ton.
Sementara itu, kisaran harga GKR di pasar lelang per bulannya juga menunjukkan trend menuju keseimbangan baru. Pada September, harga yang terbentuk sebesar Rp9.525/kg. Di bulan berikutnya harga turun menjadi Rp9.163/kg pada Oktober 2017, Rp9.107/kg pada November 2017, dan Rp8.967/kg pada Desember 2017.
Pada Januari 2018, harga kembali menyusut menjadi Rp8.910/kg. Sedangkan harga pada Februari mencapai Rp8.879/kg.
Bachrul menyebutkan, selain perubahan harga, peningkatan akses pelaku usaha kecil menengah baik UKM, IKM maupun UMKM semakin meningkat. Hal ini terlihat dari dominasi peserta lelang di bawah kategori usaha tersebut.
“Hingga Februari 2018, peserta beli tercatat sebanyak 1.965 pelaku usaha yang terdiri atas 451 industri besar dan IKM, serta 1.514 koperasi, UKM dan UMKM. Sementara itu, jumlah peserta jual tercatat sebanyak 11 perusahaan,” ungkap Bachrul.
Bachrul mengatakan, masalah yang kerap dihadapi industri dan usaha kecil-menengah adalah sulitnya mengakses GKR dari produsen. Hal ini karena usaha kecil menengah cenderung membeli dalam partai kecil. Situasi ini memaksa industri dan usaha kecil menengah mendapatkan GKR di pasar bocoran.
Skema pasar lelang GKR berupaya mengatasi situasi ini. Dalam lelang GKR, produsen gula rafinasi yang ingin menjual GKR wajib menyisihkan 20% sebagai alokasi bagi usaha kecil menengah.
Namun, hingga kini, perusahaan-perusahaan besar belum banyak yang bergabung ke dalam pasar lelang GKR. Padahal dengan bergabungnya perusahaan besar ke pasar lelang GKR, Bachrul menambahkan, semua pelaku usaha dapat bersama-sama menciptakan iklim usaha yang transparan dan neraca gula nasional yang kredibel.
“Pemerintah masih perlu dukungan perusahaan-perusahaan besar yang memiliki kontrak jangka panjang dengan industri GKR. Informasi seperti izin industri, nama perusahaan, kapasitas gudang, dan alamat pengiriman pembeli akan sangat bermanfaat bagi tata niaga GKR,” ungkap Bachrul.
Pada 24 Oktober 2017, sebanyak 11 pelaku usaha dari 9 koperasi menandatangani surat pernyataan dukungan kepada pemerintah atas implementasi kebijakan pasar lelang GKR. Ke-11 pelaku usaha tersebut antara lain perwakilan dari Asosiasi Industri Kecil dan Menengah Agro (AIKMA) Jawa Barat, Koperasi Harum Manis Bersatu Kalimantan Selatan, IKM Harum Manis Bersatu Kalimantan Selatan, Koperasi Mitra Usaha Pasundan Jawa Barat, Koperasi Ritel Tambun Jawa Barat, Koperasi Mitra Niaga DKI Jakarta, Koperasi Mitra Lestari Banten, Koperasi Abdi Kerta Raharja, dan CV Rizki Abadi Lampung.
Sistem Lelang GKR dibentuk untuk menata tata niaga GKR, mencatat semua pergerakan GKR dari asal bahan baku impor, produksi GKR, penjualan melalui lelang, pembeli GKR, hingga kebutuhan GKR sesuai kapasitasnya menggunakan e-Barcoding dan QR Code.
Melalui Permendag Nomor 16 Tahun 2017 tentang Perdagangan GKR Melalui Pasar Lelang, Kemendag berwenang mengatur dan mengawasi perdagangan GKR di pasar lelang komoditas. Permendag tersebut disempurnakan dengan Permendag Nomor 40 Tahun 2017, dan kembali disempurnakan dengan Permendag Nomor 73 Tahun 2017. (Fin Harini)