c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

29 November 2017

21:16 WIB

Abai Mengurus Aset, Negara Bisa Terpeleset

Pasca-Reformasi banyak aset negara yang direbut oleh masyarakat dan swasta, karena aset-aset tersebut pun tidak memiliki status kepemilikan yang jelas

Abai Mengurus Aset, Negara Bisa Terpeleset
Abai Mengurus Aset, Negara Bisa Terpeleset
Istana Bogor. (Antara)

JAKARTA – Selama ini Indonesia kerap disebut-sebut sebagai negara dengan kekayaan berlimpah. Betapa tidak, dengan 17.504 pulau dan luas keseluruhan 5.193.250 km² (mencakup daratan dan lautan), sekilas mata memandang saja sudah bisa terbayang berapa nilai kekayaan Indonesia.

Dari hitungan kasar kekayaan alam yang diberi Tuhan saja, pasti sudah terlihat betapa besarnya harta yang Indonesia miliki. Bagaimana jika sejumlah infastruktur seperti jalan, bangunan, infastruktur, peninggalan zaman kerajaan, masa kolonial dan kekayaan lainnya dihitung, nilai buku Indonesia pasti terlihat super besar. Tapi apakah pernah ada yang memvaluasi keseluruhannya?

Ada. Tapi sampai 72 tahun merdeka, tampaknya belum cukup waktu untuk menghitung semuanya. Entah pemerintah terlalu sibuk atau ada kesulitan lain yang menghambatnya, nilai aset di pembukuan negara ternyata tak sebesar bayangan.

Hingga saat ini total aset negara se-nusantara yang tercatat hanyalah sekitar dua kali dari nilai belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat ini. Jika nilai belanja tahun depan dicanangkan berada di angka Rp2.220,7 triliiun, nilai aset negara keseluruhan yang telah tercatat sampai 2016 baru berkisar Rp5.456,88 triliun.

Hampir setengah dari total aset tersebut merupakan barang milik negara (BMN). Menurut Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2016, nilai BMN mencapai Rp2.476,29 triliun.

Untuk diketahui, aset negara merupakan bagian dari harta kekayaan negara yang terdiri atas barang bergerak atau barang tidak bergerak. Tentunya aset ini dimiliki dan dikuasai oleh instansi pemerintah, yang sebagian atau seluruhnya dibeli atas beban APBN serta dari perolehan yang sah.

Dalam sistem pengakuntansian di LKPP sendiri, aset negara terbagi menjadi aset lancar, investasi jangka panjang, aset tetap, piutang jangka panjang, serta aset lainnya. Dengan definisi tersebut seharusnya berarti semua infrastruktur, tanah, hingga bangunan-bangunan bersejarah yang dialihkan dari zaman penjajah ke era kemerdekaan termasuk dalam aset negara.

Kenyataannya cukup mengecewakan. Bahkan Istana Negara yang merupakan pusat pemerintahan baru-baru ini saja tercatat sebagai aset negara. Begitu juga dengan Jalan Anyer—Panurukan sepanjang 1.000 kilometer yang puluhan tahun tak terdaftar sebagai harta yang dimiliki seutuhnya oleh pemerintah. Padahal setelah divaluasi, nilai aset Jalan Anyer-Panarukan sebesar Rp109 triliun.

Lambatnya pencatatan dan penilaian aset membuat nilai total aset negara selama puluhan tahun terbilang kecil. Bayangkan saja aset yang jelas-jelas selama ini “diduduki” pemerintahan sebagai pusat pemerintahan selama puluhan tahun status pencatatannya samar. Bagaimana dengan aset-aset lain di seluruh pelosok nusantara?

Praktis baru sekitar satu dasawarsa terakhir aset negara secara khusus diinventarisasi dan divaluasi setelah Kementerian Keuangan melahirkan Direktorat Jenderal kekayaan Negara (DJKN) hasil pemecahan dari Ditjen Perbendaharaan. Sejak 1971, pengelolaan aset dan barang milik negara memang terlihat setengah hati diurus. Jikapun diurus, fokus pemerintah lebih diarahkan pada pengurusan piutang negara.

Kepada Validnews, Ekonom Universitas Sam Ratulangi, Agus Tony Poputra mengungkapkan, buruknya pencatatan aset negara hingga berpengaruh pada nilai yang minim, merupakan dampak dari abainya pemerintah selama ini dalam menelusuri aset-aset negara.

Sebab semenjak negara ini terbentuk, fokus akuntansi keuangan negara hanya mengarah pada penerimaan dan pengeluaran. Aset terbengkalai.

 

 

Bahaya Laten
Adanya pengabaian terhadap status terhadap aset-aset ini pada akhirnya menghadirkan rasa malas untuk melakukan pencatatan secara baik dan benar. Padahal di satu sisi, pemerintah merasa memiliki dan menguasai aset tersebut. Namun di sisi lain, pemerintah melupakan pentingnya kepemilikan dokumen resmi atas aset tersebut.

Hingga pada akhirnya ketika pencatatan mulai digalakkan akhir-akhir ini banyak aset yang tidak bisa dituliskan dalam pembukuan karena ketiadaan dokumen yang memperkuat kepemilikan negara.

“Jadinya kan banyak peninggalan-peninggalan Belanda, penjajah, yang tidak tercatat karena mereka malas mencari-cari bukti dan lain sebagainya untuk diakui sebagai aset negara,” tukasnya, Rabu (29/11).

Raibnya dokumen resmi kepemilikan ini tentunya menjadi masalah besar karena membuat aset tersebut rawan gugatan. Menurut Agus, contoh nyatanya tampak di Istana Negara. Di mana bangunan tersebut sudah benar-benar dipakai untuk kegiatan kenegaraan, namun sekian lama tidak jua mampu dicantumkan sebagai benar-benar barang milik negara.

Problem serupa tentunya banyak dijumpai peninggalan-peninggalan bersejarah lainnya, baik bangunan maupun infrastruktur. Ketiadaan bukti pendukung kepemilikan ini yang ada akhirnya membuat pemerintah terpaksa tidak memasukkan aset tersebut sebagai harta negara karena dianggap potensial menimbulkan sengketa.

Bahaya laten sengketa aset negara ini kian meruncing semenjak tahun 1998. Diungkapkan oleh Ekonom sekaligus Guru Besar Universitas Brawijaya Chandra Fajri Ananda, pasca-Reformasi banyak aset negara yang direbut oleh masyarakat. Simpel, karena aset-aset tersebut pun tidak memiliki status kepemilikan yang jelas dalam sertifikatnya.

“Contohnya, lahan-lahan kaya perkebunan pemerintah itu yang diakui sebagai perkebunan masyarakat. Di Jawa Timur itu perkebunan kopi itu diambil alih sama masyarakat. Lahan-lahan itu banyak yang surat-suratnya yang dimiliki pemerintah simpang siur,” tuturnya kepada Validnews, Selasa (28/11).

Hal tersebut diakui oleh Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatawarta. Kepada Validnews, Isa menyebutkan adanya aset milik negara yang diduduki oleh pihak lain. Namun, jumlah aset tersebut sedikit dibandingkan aset yang lain. Dari ribuan aset yang dimiliki negara, aset terlantar yang kemudian diduduki tersebut hanya berkisar ratusan. 

"Tidak signifikan," ujarnya. 

Padahal jika tercatat dengan baik, sejatinya aset negara dapat meningkatkan prestise suatu negara. Minimal aset tersebut dapat menjadi instrumen penjamin atau underlying ketika negara hendak meminjam dana ke suatu lembaga dan negara lain atau jika hendak menerbitan obligasi negara.

“Kalau kita bicara neraca, maka jika kita memiliki aset liabilitas atau utang kita bisa lebih banyak lagi. Ini yang bisa digunakan sebagai jaminan untuk leverage,” ujar Chandra yang juga merangkap sebagai anggota Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) ini.

Kepercayaan terhadap suatu negara pun akan berkembang jika kian besar asetnya. Hal ini kemudian yang kelak mampu mendorong perekonomian negara tersebut sebab pihak-pihak ketiga merasa lebih aman utuk berinteraksi ekonomi.

Isa menyebutkan, sejumlah kesulitan memang dihadapi pemerintah dalam upaya mendata dan menentukan nilai aset. Jumlah aset yang tersebar di berbagai belahan nusantara, termasuk di daerah terpencil, menyebabkan tak semua aset terdata dengan baik. 

Kesulitan lainnya adalah adanya Kementerian/Lembaga (KL) yang tak mengetahui dengan pasti aset yang dikelolanya. 

"Contohnya, sungai yang diturap. Kadang Kementerian terkait tak bisa menentukan sebenarnya berapa nilai asetnya, apalagi jika penurapan dilakukan berulang," imbuhnya. 

Namun, Isa tak memungkiri nilai pentingnya pendataan aset tersebut. Dengan aset yang tercatat dengan nilai terkini, pemerintah dapat memanfaatkannya sebagai underlying penerbitan SBSN Syariah atau sukuk. 

"Kedua, kita ketemu barang-barang yang idle itu, yang belum dimanfaatkan. Kita bisa pikirkan bagaimana pemanfaatannya apakah untuk layanan publik, atau untuk generate revenue. Karena, beberapa aset kita itu sebenarnya bisa dikerjasamakan atau disewakan sehingga menghasilkan revenue bagi negara dalam bentuk PNBP. Ketiga, pasti kita berharap punya database aset yang lebih akurat, dan up to date," katanya.

 

 

Pentingnya pencatatan aset secara tepat dan benar kini untungnya sudah disadari pemerintah belakangan ini. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, negara mulai memperhitungkan aset dalam pencatatan akuntansi pertanggungjawaban.

Inventarisasi kekayaan negara ini kian diperkuat dengan ditunjuknya Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) pada tahun yang sama melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 28 Tahun 2005.

Dalam regulasi itu ditentukan bahwa DJKN diembani tugas mengelola kekayaan negara dengan lingkup barang milik Negara (BMN), kekayaan negara dipisahkan (KND), dan kekayaan negara lain-lain (KNL). DJKN juga berotoritas melakukan fungsi penilaian, pengurusan piutang negara, dan pelayanan lelang.

Terbukti efektif, semenjak dikelola DJKN ada peningkatan cukup signifikan terhadap nilai aset negara yang tergolong sebagai BMN. Jika pada akhir 2005 nominalnya hanya Rp237,78 triliun; nilai BMN pada 2014 telah mencapai Rp191,38 triliun. Itu baru BMN. Belum lagi kekayaan negara lain-lain yang tercatat telah bernilai Rp191,38 triliun pada 2014.

Di LKPP 2016 nilai aset tersebut kembali terkatrol. Khusus untuk BMN saja, nilainya sudah mencapai Rp2.476,29 triliun. Sementara itu, aset lain disebutkan berjumlah Rp771,52 triliun.

Meski masih jauh dari kata ideal, nilai di LKPP ini bahkan lebih besar daripada yang dipamerkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Agustus 2017 kemarin. Sang menteri dalam peluncuran program revaluasi BMN di Gedung Dhanapala ketika itu menyebutkan nilai BMN pada 2016 berada di angka Rp2.188 triliun, melesat jauh dari hanya Rp1.244 triliun pada 2010.

Perbedaan total nominal aset niscaya terjadi karena adanya perubahan-perubahan nilai yang bersangkutan, entah menyusut untuk barang bergerak ataupun melambung untuk aset-aset yang berbentuk tanah atau lahan.

Menurut Ekonom Pembangunan Universitas Gadjah Mada (UGM) Tri Widodo, program revaluasi yang tengah digalakkan Kementerian Keuangan pun menjadi sangat urgen sebab dari awal kemerdekaan hingga kini belum ada penghitungan ulang aset-aset yang diakui sebagai kekayaan negeri tersebut.

“Valuasi dan revaluasi tentu harus valid. Kalau tidak valid bahaya sebab penjarahan dan penggelapan aset negara mungkin terjadi,” ujarnya kepada Validnews, Rabu (29/11).

Upaya untuk terus memutakhirkan data aset negara memang kian getol dilakukan DJKN hingga kini. Salah satunya dengan menyertifikasi BMN berupa tanah. Wajar saja sebab berdasarkan penelitian, 80% dari BMN Indonesia berupa tanah yang mayoritas belum memiliki bukti kepemilikan yang sah dan rawan sengketa.

Program percepatan sertifikasi sudah dimulai pada tahun 2012, melalui kegiatan identifikasi dan pendataan atas BMN berupa tanah. Pada tahun tersebut, BMN berupa tanah telah teridentifikasi sejumlah 87.497 bidang.

Di antaranya ditemukan 46.193 bidang yang telah bersertifikat. Sisanya 41.304 akan disertifikatkan secara bertahap. Dalam situs resminya, DJKN menyatakan banyaknya aset yang belum berdokumen lengkap ini akan membuat pencatatan mungkin baru selesai 13 tahun kelak, dihitung dari awal percepatan sertifikasi.

Sementara itu Isa menjelaskan, pemerintah kini tengah melakukan revaluasi untuk BMN. Program ini akan dilaksanakan dalam dua tahun, yakni 2017 dan 2018. Untuk tahun pertama yang dimulai dari September lalu, diharapkan ada 600 ribuan barang milik negara yang sukses dicatatkan sebagai kekayaan negara pada akhir 2017.

“Sekitar 200 ribuan berupa tanah, 300 ribuan berupa bangunan, dari sisanya meliputi infrastruktur semisal jembatan, irigasi, maupun bendungan,” ujar Isa.

Setidaknya, akan ada 934.409 unit barang milik negara yang bakal dihitung ulang (revaluasi) nilainya oleh pemerintah. Penghitungan ulang nilai aset tersebut dituangkan dalam Program Revaluasi BMN. Rincian dari barang milik negara tersebut berupa tanah sebanyak 108.524 unit, gedung 434.801 unit, serta jalan, irigasi dan jaringan sebanyak 391.084 unit.

"Untuk yang 2017, kita mungkin kerjakan sekitar 40—45% dari yang menjadi target revaluasi kita. Dari target itu, hingga kini sebesar 80% sudah selesai," tuturnya.

Namun, Isa belum bersedia menyebutkan nilai aset-aset tersebut. Pasalnya, prosesnya masih berlangsung.

Chandra mengungkapkan, jika revaluasi berjalan lancar nilai aset dipastikan meningkat pesat. Kisarannya penambahan bahkan bisa mencapai empat kali lipat dibandingkan total aset sekarang ini.

“Mungkin bisa Rp15.000—20.000 triliun. Ini terutama dari aset-aset yang terbengkalai, di mana aset itu belum tercatat dengan baik,” imbuhnya.

 

Petugas mengamankan aset negara dengan memasang papan pengumuman di lereng Gunung Anjasmara, Jombang, Jawa Timur. djkn.kemenkeu.go.id

 

Tak Mumpuni
Selain kekayaan yang terdata di DJKN, tiap kementerian dan lembaga pun sampai saat ini memiliki catatan mengenai asetnya masing-masing. Untuk aset berupa tanah saja, masih banyak yang diurus oleh Badan Pertanahan Nasional. Belum lagi gedung-gedung dan infratsruktur fisik lainnya peninggalan Belanda dan asing lainnya yang kini dikuasai Kementerian/Lembaga negara.

Sebagai contoh PT Perusahaan Pengelola Aset yang diamanahi mengurus berbagai aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Hal ini seperti dipaparkan oleh Direktur Investasi PT PPA Andi Saddawero.

Ia mengatakan, DJKN memiliki fungsi untuk mengelola seluruh aset. Namun pihaknya sendiri memiliki struktur untuk melaporkan kekayaan ke Kementerian BUMN.  Aset-aset yang dilaporkan itu kemudian dipegang oleh Pengelola Kekayaan Negara dan Sistem Informasi (PKNSI).

“Dialah yang mengelola aset-aset eks BPPN, yang melakukan kontrak dengan kita untuk mengelola aset-aset yang tadi. Jadi, PPA secara professional saja disuruh mengelola,” ucapnya kepada Validnews, beberapa waktu lalu.

Ya, tiap kementerian memang seakan memiliki kuasa sendiri untuk mengelola aset negara yang berada dalam naungannya. Bisa dikatakan, pengelolaan kekayaan menjadi tersebar. Menurut Agus Poputra, hal ini lumrah dan tidak menjadi masalah. Akan tetapi yang perlu diingat, pencatatan akhir mestinya tetap di DJKN.

Terkait pembenahan pencatatan aset yang kini diupayakan pemerintah, Agus mengapresiasinya. Akan tetapi, ia tak yakin usaha ini akan menghadirkan hasil catatan aset yang 100% komprehensif.

Meskipun nilai aset terus meningkat pesat, khususnya yang ditangani DJKN, menurutnya, melemparkan tanggung jawab untuk pembenahan administrasi negara ini kepada DJKN tidak akan cukup. Diperlukan lembaga ad hoc khusus guna memperbaiki pencatatan aset yang demikian buruk dari awal negara ini terbentuk.

Pasalnya kembali ke masalah utama, banyak aset di negeri ini yang tidak berdokumen lengkap dan rawan sengketa. DJKN dianggap akan mati kutu jika hanya berjuang sendiri.

Sebab harus mau diakui atau tidak, ke depannya di dalam pencatatan tersebut pemerintah akan banyak berhadapan dengan gugatan yang muncul dari aset-aset tanpa surat yang diakui oleh masyarakat maupun lembaga nonpemerintah atau swasta.

“Harus melibatkan kejaksaan sebab kemungkinan menimbulkan gugatan-gugatan hukum. Karena bisa saja, aset itu sudah berpindah tangan ke pihak lain. Jadi, banyak pihak harus dlibatkan dalam hal ini, polisi dan sebagainya. Dalam bentuk badan ad hoc, libatkan banyak instansi terkait. Kalau DJKN, enggak mampu sendirian dia,” seru mantan Ekonom Regional Kementerian Keuangan ini.

Mengenai unit pembantu DJKN untuk aset negara, semenjak 2016 sebenarnya Kementerian Keuangan telah membentuk Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN). Unit ini bertugas khusus mengoptimalisasi atas aset-aset idle yang berada di bawah pengelolaan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN).  Hanya saja, tetap saja unit ini tidak mengurusi akan pencatatan.

Ketidakmampuan untuk secara penuh mencatat aset agar sah menjadi kekayaan negara pun diamini oleh Tri Widodo. Alasannya, saat ini jumlah sumber daya manusia yang memiliki kemampuan untuk melakukan penilaian masih sangat kurang.

Ia memperkirakan, di Kementerian Keuangan saja penilai yang mumpuni tidak sampai 1.000 orang. Sementara itu, aset negara yang perlu dihitung jumlahnya sangat banyak.

Ditambah lagi, Tri bilang, kebanyakan penilai berada di pusat. Padahal aset-aset yang sulit teridentifikasi lebih marak di daerah. Di luar penilai dari otoritas, masyarakat penilai yang telah tersertifikasi pun terbilang sangat minim.

“Masyarakat penilai yang tersertifikasi itu paling 100 orangan. Sangat kurang SDM kita memang. Ini perlu diperbanyak,” cetus akademisi ini.

Selama SDM yang mumpuni tak bertambah dan selama pula tidak ada sinergi di badan khusus terkait pencatatan aset negara secara tepat ini, selama itu pula menilik kekayaan negara menjadi pekerjaan yang tak kunjung tuntas.

Jika sudah begini, program revaluasi tidak akan menjamin nilai yang tepat sebab masih ada kesan acuh pemerintah yang membiarkan DJKN mengemban tugas berat sendirian. Sudah cukup kasus Pulau Sipadan dan Ligitan yang hilang dari genggaman karena negara absen mengurusnya dan terpeleset di Mahkamah Internasional.  (Teodora Nirmala Fau, Rizal, Fin Harini, Faisal Rachman)

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar