c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

10 Agustus 2019

18:54 WIB

6.704 Produk Indonesia Dapatkan Tarif Nol Persen di Chile

IC-CEPA diharapkan dapat menjadi stimulus bagi pelaku usaha Indonesia untuk membidik pasarpasar nontradisional di kawasan Amerika Latin yang sangat potensial

Editor: Agung Muhammad Fatwa

6.704 Produk Indonesia Dapatkan Tarif Nol Persen di Chile
6.704 Produk Indonesia Dapatkan Tarif Nol Persen di Chile
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita (kiri) dan Menteri Luar Negeri Chile Heraldo Munos sesaat setelah melakukan penandatanganan Indonesia-Chile Comprehensive Economic Partnership Agreement (IC-CEPA). Antaranews/Vicki Febrianto

JAKARTA – Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Chile (Indonesia-Chile Comprehensive Economic Partnership Agreement/IC-CEPA) resmi berlaku mulai hari ini, Sabtu (10/8).

Dengan resmi berlakunya perjanjian tersebut, sebanyak 7.669 pos tarif untuk produk Indonesia siap dihapuskan tarif bea masuknya oleh Chile. Rinciannya, sebanyak 6.704 di antaranya langsung 0% mulai hari ini, sedangkan 965 pos tarif sisanya akan dihapus secara bertahap hingga 6 tahun ke depan.

“Untuk itu, tarif preferensi IC-CEPA ini harus dimanfaatkan secara maksimal oleh para pelaku usaha Indonesia," ujar Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Iman Pambagyo melalui siaran pers, Sabtu (10/8).

Produk-produk Indonesia yang mendapat tarif 0% di pasar Chile, antara lain produk pertanian, seperti kelapa sawit, teh, kopi, pisang, sarang burung walet, sayur, dan buah tropis. Selain itu, produk perikanan mulai dari tuna, lobster, udang, kepiting, dan ubur-ubur. Beberapa produk manufaktur seperti alas kaki, ban, tekstil, perhiasan, dan peralatan militer juga menikmati tarif nol persen.

Hingga kini, lanjut Iman, terdapat beberapa produk potensial Indonesia yang belum diekspor ke Chile. Atau, kalau pun sudah diekspor, nilainya relatif kecil. Produk-produk tersebut adalah karet alam, minyak sawit, sabun, cocoa butter, pakaian bayi, baterai, besi baja, tas, kamera, dan lain-lain.

Iman menilai, jika dilihat dari karakteristik produknya, perdagangan Indonesia dan Chile bersifat komplementer. Hal ini, sebutnya, menguntungkan baik bagi pelaku usaha, maupun konsumen domestik Indonesia.

Beberapa dampak langsung yang dirasakan, antara lain industri nasional akan memperoleh tambahan sumber bahan baku dengan tarif 0 persen; industri hotel, restoran, dan katering (horeka) akan mendapatkan harga yang lebih kompetitif untuk produk Chile yang dibutuhkan; dan konsumen dapat menikmati banyaknya varian produk berkualitas di pasar.

Berlakunya IC-CEPA didukung dengan diterbitkannya tiga peraturan pelaksana. Yakni, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 59 Tahun 2019 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Asal untuk Barang Asal Indonesia; b) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 105/PMK.010/2019 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka IC-CEPA; c) PMK No. 109/PMK.04/2019 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional.

Untuk memperoleh tarif preferensi IC-CEPA, maka eksportir Indonesia harus melampirkan surat keterangan asal (SKA) atau certificate of origin form (COO) IC-CEPA, sebagaimana yang diatur dalam Permendag No.59 Tahun 2019. SKA dapat diperoleh dari instansi penerbit SKA (IPSKA) yang tersebar di kota, kabupaten, dan provinsi di Indonesia. Untuk daftar lengkap IPSKA dapat dilihat di http://e-ska.kemendag.go.id/home.php/home/ipska.

Sedangkan untuk importir, tarif preferensi IC-CEPA dapat diperoleh dengan menyerahkan SKA atau COO IC-CEPA pada saat deklarasi impor barang dibuat beserta dokumen pendukung lainnya. Selanjutnya, untuk memperoleh informasi lebih dalam atas IC-CEPA, pelaku usaha dapat berkonsultasi langsung dengan Free Trade Agreement (FTA) Center yang terdapat di lima kota besar yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar.

“IC-CEPA diharapkan dapat menjadi stimulus bagi pelaku usaha Indonesia untuk membidik pasarpasar nontradisional di kawasan Amerika Latin yang sangat potensial,” pungkas Iman.

Total perdagangan Indonesia dengan Chile mencapai US$274 juta pada 2018. Sementara itu, untuk periode Januari-Mei 2019, total perdagangan kedua negara mencapai US$123,8 juta dengan ekspor Indonesia sebesar US$61,6 juta dan impor sebesar US$62,1 juta. Dengan capaian ini, Indonesia membukukan defisit sebesar US$484,3 ribu.

Chile merupakan negara tujuan ekspor Indonesia ke-55 dengan total ekspor US$158,9 juta di tahun 2018, naik sebesar 0,3% dari US$158,5 juta di tahun sebelumnya. Sedangkan sebagai mitra impor, Chile menempati urutan ke-63 sebagai asal impor dengan nilai US$115,1 juta tahun 2018, turun sebesar 4% dari US$119,9 juta di tahun sebelumnya.

Produk ekspor utama Indonesia ke Chile pada 2018 adalah footwear; fertilizer; motor cars; organic surface-active agents; locust beans, seaweeds etc., sugar beet and sugar cane. Produk impor utama Indonesia dari Chile pada 2018 adalah grapes, fresh or dried; copper; chemical wood pulp; iron ores; dan fats and oils and their fractions of fish or marine mammals.

Perlebar Defisit
Indonesia for Global Justice (IGJ) mengatakan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA CEPA) berpotensi memperlebar defisit neraca dagang Indonesia dengan negara kanggaru tersebut.

"IA CEPA dipastikan akan memperdalam defisit perdagangan antara Indonesia dan Australia yang dari 2014 ke 2018 trennya meningkat 50,05% atau defisit hingga US$3 miliar pada 2018," kata Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti di Jakarta, seperti dilansir Antara, Sabtu (10/8).

Menurut kajian yang disusun IGJ, sebenarnya dari perjanjian kerja sama ASEAN dengan Australia-Selandia Baru yang telah diratifikasi pada tahun 2011, hampir 90% produk diperkirakan telah dihapuskan tarifnya hingga 0%. Selain itu, IGJ juga mengingatkan bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan Australia sejak 2012 terus menunjukkan angka defisit, khususnya di sektor nonmigas.

"Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel tarif tidak memberikan pengaruh terhadap kinerja ekspor Indonesia ke Australia. Selama ini, hambatan perdagangan Indonesia ke Australia dipengaruhi oleh faktor tindakan nontarif," paparnya.

Ia mencontohkan, selama ini, sejumlah kebijakan seperti standar karantina produk yang diterapkan Australia tidak dapat dengan mudah ditembus eksportir Indonesia sehingga melahirkan biaya tambahan bagi produk ekspor di pasar Australia. Selain itu, IGJ juga menemukan bahwa potensi ekspor yang belum termanfaatkan oleh Indonesia di pasar Australia hanya senilai US$201 juta.

Sebaliknya, potensi ekspor Australia ke Indonesia yang belum termanfaatkan sebesar US$1 miliar atau hampir 5 kali lipat dari ekspor Australia ke Indonesia. Rachmi mencontohkan, peluang perdagangan dari Australia ke Indonesia yang belum termanfaatkan antara lain bijih gandum senilai US$1 miliar di mana pemanfaatannya baru 51%, sapi hidup senilai US$236 juta atau baru termanfaatkan 68%, serta daging sapi senilai US$327 juta di mana pemanfaatannya baru 35%.

Dengan fakta tersebut, Rachma mengharapkan pemerintah Indonesia lebih selektif dalam mengelola potensi ekspor pasca IA-CEPA. Ia mengatakan supaya pemerintah mengantisipasi impor daging sapi dan sapi hidup. Dengan demikian, impor tersebut tidak mematikan potensi sapi lokal.

Di sisi lain, impor gandum, tembaga, kapas, dan produk-produk bahan baku untuk industri olahan perlu dikelola supaya daya saing industri nasional, baik untuk kepentingan substitusi impor maupun industri bertujuan ekspor, meningkat.

"Butuh strategi yang tepat untuk menjawab persoalan kinerja perdagangan Indonesia. Memperbanyak penandatanganan FTA (perjanjian perdagangan bebas) bukanlah solusinya. Justru, dengan FTA tekanan perdagangan terhadap pembukaan pasar impor ke Indonesia semakin tinggi," ucapnya.

IGJ merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia menyusun peta kebijakan pengelolaan impor, salah satunya adalah dengan menyusun strategi Non-Tarif Measures (NTMs) yang efektif, khususnya untuk sektor pertanian nasional.

Untuk diketahui, berdasarkan data Kementerian Perdagangan, neraca dagang Indonesia dengan Australia sepanjang Januari–Mei 2019 tercatat defisit US$1,21 miliar. Defisit itu lebih dalam 4,37% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya dengan defisit US$1,16 miliar. (Sanya Dinda, Fin Harini)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar