14 September 2022
15:16 WIB
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kerugian ekonomi akibat krisis iklim akan mencapai Rp112,2 triliun atau 0,5% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2023.
Sementara, beberapa tahun ke depan, kerugian akan semakin besar. Kerugian ekonomi akibat perubahan iklim ditaksir merugikan Indonesia sebesar 0,6-3,45% terhadap PDB pada 2030.
“Jadi dokumen kebijakan pembangunan tangguh iklim menyebutkan bahwa kerugian ekonomi akibat krisis iklim ini akan mencapai Rp112,2 triliun atau 0,5% dari PDB pada tahun 2023, yaitu tahun depan,” katanya dalam HSBC Summit 2022 Powering The Transition to Net Zero, Jakarta, Rabu (14/9).
Ia menjelaskan, perubahan iklim merupakan masalah global yang kritis dan meningkat frekuensinya. Perubahan iklim menyebabkan bencana alam adalah gangguan nyata dan merusak pembangunan ekonomi.
Beberapa indikator perubahan iklim seperti emisi gas rumah kaca, rata-rata suhu permukaan muka air laut menunjukkan urgensi untuk melakukan mitigasi perubahan iklim lebih cepat.
Sri Mulyani memberi contoh, misalnya saja dari 2010 hingga 2018. Tingkat emisi gas rumah kaca meningkat 4,3% setiap tahun. Suhu rata-rata meningkat 0,03 derajat celcius setiap tahun. Akibatnya, permukaan air laut di Indonesia rata-rata naik 0,8-1,2 sentimeter per tahun.
“Hal ini terlihat jelas di depan, tidak seperti bukan bagian dari Pulau Jawa, di mana banyak kota yang benar-benar tenggelam,” ucapnya.
Bendahara Negara menambahkan, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas karbon. Pemerintah telah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam kerangka komitmen yang telah ditetapkan (Nationally Determined Contributions/NDC) sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030.
Dalam jangka panjang, pemerintah telah menetapkan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (Long-Term Strategy For Low Carbon Climate Resilience/LTS-LCCR) di tahun 2050 dan target Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Untuk menjalankan program tersebut, kata Sri Mulyani, pemerintah telah mengalokasikan sejumlah anggaran untuk aksi mitigasi dan adaptasi. Meski begitu, ia mengakui untuk mencapai target yang telah ditetapkan, dibutuhkan anggaran yang tak sedikit.
“Tetapi untuk mencapai kontribusi yang ditentukan secara nasional ini membutuhkan sumber daya yang sangat besar yang diperkirakan sekitar Rp3.461 triliun atau Rp266 triliun per tahun. Ini sekitar US$4,4 miliar. Ini adalah estimasi yang diproyeksikan oleh biennale update report,” ucapnya.
Lebih lanjut, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu bilang, belanja pemerintah sendiri telah mengalokasikan Rp89,6 triliun atau sekitar 3,6% dari total belanja pemerintah.
Oleh karena itu, ia memandang, untuk mencapai implementasi ambisius tersebut, strategi jangka panjang untuk rendah karbon dan ketahanan iklim membutuhkan dukungan berbagai pihak.
“Ini adalah nyata sangat bergantung pada dukungan semua pemangku kepentingan dan tidak bisa hanya mengandalkan sumber daya pemerintah sendiri. Namun proses transisinya tidak mudah. Dan tentunya akan memiliki implikasi yang sangat besar dalam hal sumber daya,” ujarnya.