03 April 2018
20:41 WIB
JAKARTA – Boleh jadi saat ini dunia sedang gundah. Betapa tidak, ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang makin terang, tak hanya membuat gerah, tapi mulai menimbulkan resah.
Kedua negara yang tengah bersitegang, merupakan negara dengan perekonomian terbesar pertama dan kedua di dunia. Alhasil, apa yang dilakukan atau apa yang terjadi dengan dua negara ini, hampir dipastikan menimbulkan multiplier effect atau efek berantai ke perdagangan dunia dan negara-negara lainnya.
Proteksionisme yang dipasang oleh AS untuk menahan laju besi, baja, maupun aluminium dari Negeri Tirai Bambu pun dianggap akan berpengaruh kepada perekonomian dunia. Lontaran kekesalan tidak sekadar datang dari China yang menjadi sasaran utama, melainkan juga dari negara-negara lain yang menjadi produsen utama komoditas tersebut. Salah satunya Uni Eropa.
Penambahan tarif impor yang memang sejatinya ditujukan untuk China dan disinyalir mampu menambah bea masuk hingga US$50 miliar itu pada akhirnya memang dibalas. Per awal Mei ini, China menaikan tarif impor untuk 128 produk AS yang memiliki pangsa cukup besar ke negeri tersebut. Salah satunya pengenaan tarif impor hingga 25% untuk berbagai produk daging beku.
Menanggapi hal ini, ekonom dari Universitas Indonesia (UI), Eugenia Mardanugraha menyatakan, sangat mungkin terjadi pada akhirnya China akan membentuk poros perdagangan baru. Ini menjadi efek dari tidak mungkinnya China menggugat AS ke World Trade Organization (WTO) yang dianggap sebagai badan ‘besutan’ AS.
Bagi China sendiri sebenarnya, perang dagang dengan AS bukanlah sesuatu yang amat sangat menyulitkan. Mengingat saat ini negeri panda tersebut telah mampu mandiri untuk memenuhi berbagai kebutuhannya sendiri. Mulai dari komoditas hingga jasa untuk beragam aktivitas manusia sudah bisa diproduksi.
“Mereka sudah punya segala macam sendiri. Jadi kalau seandainya mereka melarang semua penduduknya itu untuk menggunakan produk AS, itu fine saja,” tukas akademisi ini kepada Validnews, Senin (2/4).
Sebaliknya, langkah Negeri Paman Sam yang membatasi perdaganganya lewat kenaikan tarif impor justru dianggap menjadi blunder. Pasalnya, meski kerap dicerca, penduduk Amerika masih mengandalkan banyak produk dari China.

Defisit AS
Ketergantungan AS dengan berbagai komoditas dari luar negaranya dapat dengan mudah terlihat dari neraca perdagangan negara tersebut. Dalam lima tahun terakhir saja, neraca perdagangan AS dengan China diketahui selalu defisit.
Mengutip data Trading Economics, defisit perdagangan luar negeri AS tidak pernah kurang dari US$30 miliar dari tahun 2013. Bahkan pada Januari 2018, defisit perdagangan negeri ini kian mendalam mencapai US$56,60 miliar.
Defisit sebesar itu melebar jauh dibanding bulan sebelumnya yang sebesar US$ 53,9 miliar, bahan di atas ekspektasi pelaku pasar sebesar US$55,1 miliar. Angka defisit sebesar ini juga menjadi selisih dagang terbesar sejak tahun 2008.
Defisit perdagangan, yang sensitif secara politik, dengan China melonjak ke yang terbesar sejak September 2015. Sedangkan dengan Kanada adalah yang terbesar dalam tiga tahun.
Defisit sebesar ini diakibatkan dari nilai impor yang melambung. Masih berdasarkan data yang sama, nilai impor AS pada Januari 2018 tercatat US$257,51 miliar. Angka impor ini sendiri sebenarnya mulai tampak bergeliat naik dari Oktober 2017.
Besarnya nilai impor menunjukkan pula seberapa bergantungnya negara adidaya ini terhadap pasokan komoditas dari berbagai negara di dunia. Seperti dilansir Antara, para peneliti di Northern Arizona University (NAU) memetakan seberapa jauh pengaruh dari tarif perdagangan yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump pada impor baja dan aluminium terhadap masyarakat dan industri AS.
Menurut laporan terbaru dari situs web resmi NAU pada Senin (2/4), penelitian ini dibuat oleh Benjamin Ruddell, seorang profesor di Sekolah Sistem Informatika, Komputer dan Siber SICCS), dan profesor-profesor lainnya. Ruddel bilang, kenaikan tarif dapat meningkatkan biaya melakukan bisnis untuk ekonomi AS, karena perusahaan harus membayar harga lebih tinggi untuk baja, aluminium dan input lainnya.
“Tetapi yang lebih penting, pembalasan dari negara-negara lain akan memukul bagian-bagian lainnya,” serunya.
Ia mengatakan, sementara tujuan dari tarif adalah untuk melindungi masyarakat dan industri-industri AS yang dipilih, tetapi tarif pembalasan oleh mitra dagang AS dapat merugikan masyarakat dan industri-industri AS lainnya. Misalnya, tarif baja AS melindungi pekerja batu bara dan baja, tetapi jika produsen-produsen baja Asia, seperti China membalas dengan menempatkan tarif pada produk-produks pertanian AS, itu merusak sektor pertanian.
Richard Rushforth, asisten profesor riset di SICCS, menyatakan, ketidakpastian dengan mitra perdagangan global memiliki implikasi lokal yang nyata. Tarif yang diusulkan oleh China untuk melawan tarif AS pada baja dan aluminium misalnya, telah memiliki dampak US$0,25 miliar AS pada daging babi asal Iowa, yang merupakan produsen daging babi terbesar di negara itu dan mengekspor sekitar US$1,1 miliar daging babi ke pasar China tahun lalu, menurut Federasi Ekspor Daging AS.
Sementara itu, Northern Rockies, Western Plains, Mississippi Corridor, Urban West Coast dan Urban East Coast mengekspor banyak barang pertanian, industri dan manufaktur ke China dan Uni Eropa. Dengan perang dagang, eksportir tersebut bakal menjadi pecundang perang perdagangan.
Analisis juga menunjukkan, wilayah metropolitan dan pelabuhan di bagian timur Amerika Serikat, Texas dan California; daerah pertanian di Midwest termasuk Texas, Kansas, Nebraska, Iowa, Missouri, Arkansas, Minnesota; kawasan industri, pertanian dan pertambangan di Oregon, Washington, Montana, Idaho dan Nevada utara; Alaska; dan Hawaii sangat rentan terhadap tarif pada mitra dagang Asia Timur.

Target Utama
Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, besarnya impor ke Paman Sam tak lain karena AS memang menjadi target utama pasar ekspor dunia, tidak terkecuali bagi Indonesia.
Asal tahu saja, berdasarkan data Kementerian Perdagangan, ekspor Indonesia ke AS dalam lima tahun terakhir rata-rata mencapai US$16,49 miliar. Terakhir pada tahun 2017 kemarin, nilai ekspor ke Negeri Paman Sam tercatat sebesar US$17,79 miliar.
Ekspor yang besar ini membuat AS menjadi salah satu pasar utama Indonesia. Tercatat, nilai ekspor ke Negeri Pam Sam pada 2017 setidaknya menyumbang 10,54% dari total nilai ekspor pada tahun lalu yang tercatat sebesarUS$168,81 miliar.
Kepada Validnews, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengemukakan, besarnya impor AS tak lain karena suplai di dalam negerinya belum mampu memenuhi kebutuhan penduduk AS.
“Karena pada umumnya tujuan dari proteksionisme adalah penguatan industri dalam negeri,” ujarnya, Selasa (4/3).
Terkait perang dagang, Bambang sempat mengatakan, ini merupakan bentuk dari proteksionisme Negeri Paman Sam yang ingin memajukan industri dalam negerinya. Pasalnya, dengan pendapatan domestik bruto (PDB) terbesar di dunia, tidak heran negara adikuasa ini menjadi sasaran empuk untuk berbagai kiriman ekspor berbagai negara.
Mengutip data Statista, PDB Amerika Serikat dalam lima tahun terakhir rata-rata bertengger di angka US$18,04 triliun. Yang artinya negara yang telah berusia 200 tahun lebih ini berkontribusi sebesar 23,48% dari total PDB dunia.
“Tidak mudah menghilangkan AS, yang saat ini merupakan pemilih PDB terbesar, sebagai sandaran perdagangan dunia,” ujar mantan Menteri Keuangan ini seperti dilansir Antara, beberapa waktu lalu.

Gantikan China
Pada akhirnya, meskipun disebut-sebut memiliki ekses negatif baik langsung maupun tidak langsung bagi Indonesia, pertarungan AS dan China sejatinya menyimpan peluang. Dengan AS memproteksi barang-barang dari China, Indonesia berpotensi menggantikan China sebagai pengirim komoditas yang dibutuhkan AS.
Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, meningkatkan ekspor ke AS merupakan sedikit dampak positif dari adanya perang dagang. Hal ini mungkin dilakukan mengingat selama ini sendiri kemitraan dagang dengan AS sudah terjalin baik.
“Kita bisa meningkatkan ekspor produk-produk yang berbiaya produksi murah dan footloose industry,” ungkapnya kepada Validnews, Senin (2/4).
Beberapa contoh komoditas yang dianggap potensial untuk mengambil peluang dari perang dagang ala Trump ini adalah tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki. Di mana kedua komoditas ini sebenarnya juga sudah cukup banyak diekspor ke AS.
Soal kedua komoditas ini, pemerintah mencatatkannya sebagai komoditas utama dan potensial untuk perdagangan luar negeri Indonesia. Di kalangan ekspor nonmigas, TPT bahkan menempati peringkat kedua sebagai penyumbang nilai ekspor.
Angkanya pada Januari-November 2017 berada di titik US$11,45 miliar. Yang dalam kata lain berkontribusi sebanyak 8,29% dari total nilai ekspor nonmigas. Hanya kalah dibandingkan sawit yang berkontribusi sebanyak US$16,95 miliar untuk ekspor Indonesia pada periode yang sama.
Senada, Eugenia berpandangan, kibaran bendera perang untuk China membuat negara tersebut akan kian banyak menutup celah impor dari Negeri Tirai Bambu. Melihat tendensi AS yang akan terus menahan laju impor China, ia mengemukakan, AS tidak akan berhenti sekadar pada komoditas baja maupun alumunium.
Pengetatan untuk menahan ekspor China ke negeri tersebut sangat mungkin juga menyasar komoditas lainnya. Tidak terkecuali untuk TPT maupun alas kaki. Di sisi lain, ada kebutuhan dalam negeri yang mesti tetap dipenuhi. Alhasil, mesti ada negara lain yang menjadi pemasok untuk komoditas yang selama ini diandalkan AS dari China.
“Misalnya, kalau sepatunya itu disetop, kita itu punya kesempatan kan untuk bisa mengekspor sepatu kita ke sana. Nah, industri sepatu yang untuk ekspor ini yang kita nggak punya. Kita nggak bisa bikin sepatu sebagus China, semurah China, sehingga bisa diterima oleh pasar dunia,” imbuhnya.
Di sinilah Indonesia dapat berperan. Pasalnya, ada beberapa komoditas Indonesia yang memang selama ini bersaing dengan China di pasar AS. Industri TPT adalah yang paling mencolok.
Nilai perdagangan TPT ke AS tidak bisa dibilang kecil. Berdasarkan data UN Comtrade, berbagai produk TPT dan alas kaki Indonesia yang dikirim ke AS dari Indonesia dalam 5 tahun terakhir rata-rata senilai US$3,16 miliar.

Kurang Kompetitif
Hanya saja kalau dibandingkan dengan China, besaran ini tidak ada apa-apa. Pasalnya dalam periode yang sama, rata-rata ekspor TPT dan alas kaki China ke AS sebesar US$33,57 miliar.
“Indonesia juga ada itu produk tekstilnya. Tapi, itu produknya tidak mempunyai daya saing untuk dijual ke Amerika,” ujar Eugenia.
Kemampuan Indonesia menahan dominasi TPT dan alas kaki dari China ke AS sendiri terkait soal harga. Untuk itulah, menjadi penting untuk segera meningkatkan kualitas dan daya saing produk TPT dan Indonesia. Agar nantinya, ekspor untuk komoditas tersebut bisa ditingkatkan.
Hanya saja menurut Sarman, tidak mudah untuk menggantikan peran China terkait berbagai komoditas. Tidak melulu daya saing dari segi harga, kalaupun “China menghilang”, Indonesia masih harus berhadapan dengan standardisasi yang dipasang oleh AS.
“Untuk itu, kita harus meningkatkan kualitas dari sisi standardisasi sehingga mampu bersaing dengan negara lain. Dari sisi kuantitas juga sehingga mampu memenuhi kebutuhan yang diminta,” paparnya.
Terkait kendala ini, Heri Indef memandang, sulitnya Indonesia menembus dan menggantikan peran TPT dari China di AS disebabkan karena bahan baku industri yang masih mengandalkan Negeri Panda tersebut. Ada juga beberapa kendala lain yang akhirnya berimplikasi ke kestabilan harga dan kekurangkompetitifan produk dari nusantara.
“Kendala pemenuhan energi untuk industri, kebutuhan tenaga kerja industri, juga pembiayaan untuk industri,” rinci peneliti ini.
Tidak hanya China, pesaing Indonesia pun datang dari satu kawasan sendiri. Berdasarkan kajian dari Kementerian Perdagangan yang bertajuk “Analisis Daya Saing Indonesia dan ASEAN Lainnya di Pasar Produk Utama Indonesia”, Vietnam masih mengungguli pasar ekspor alas kaki ke AS, Jerman, maupun Prancis.
Dua Sisi
Eugenia melanjutkan, tidak terbatas pada TPT maupun alas kaki, kesempatan Indonesia mencuri pasar China di AS juga berlaku untuk berbagai komoditas olahan. Untuk itu, menjadi penting guna membenahi industri manufaktur di dalam negeri terlebih dahulu.
Pada kenyataannya berdasarkan data Kementerian Perdagangan, rata-rata komoditas potensial Indonesia tak lain merupakan hasil dari manufaktur. Tiga besar produk olahan yang memegang nilai ekspor cukup menjanjikan, tak lain adalah makanan olahan, perhiasan, serta ikan dan produk perikanan.
Tercatat dari periode 2012 hingga 2016, rata-rata ekspor makanan olahan Indonesia secara global mencapai US$5,14 miliar. Sementara itu, rata-rata ekspor perhiasan Indonesia pada periode yang sama mencapa US$,4,50 miliar. Lalu di posisi ketiga ada ekspor ikan dan produk perikanan yang rata-rata nilainya selama periode tersebut sebesar US$1,39 miliar.
Agak berbeda pandangan, dari kalangan pelaku usaha, Sarman melihat potensi Indonesia dalam memanfaatkan perang dagang ini ada menggenjot ekspor produk-produk hasil bumi. Terkait hal ini, memang beberapa hasil pertanian dan perkebunan telah masuk daftar 10 komoditas utama Indonesia, seperti sawit, kakao, dan kopi.
“Dengan dukungan pemerintah didukung dengan iklim tropis kita, seharusnya kita dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas berbagai komoditas nonmigas kita, seperti karet, CPO (crude palm oil), kopi, rotan dan hasil perikanan,” ungkapnya optimistis.
Terlepas dari peluang yang ada, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian Ngakan Timur Antara justru berpandangan berbeda. Menurutnya, alih-alih sebagai peluang, perang dagang China-AS justru akan menyeret Indonesia pada tekanan yang besar. Apalagi melihat komoditas ekpor utama antara China dan Indonesia ke AS yang tidak begitu berbeda jauh.

Jadi, apabila Negeri Paman Sam mengenakan bea masuk yang tinggi untuk komoditas unggulan China, bisa dibilang Indonesia juga akan berimbas. Guna mengantisipasi ini, mau tak mau Indonesia juga harus meyiapkan diri untuk mencari pasar-pasar baru yang potensial.
Negara-negara di kawasan Amerika Tengah dan Selatan, Eropa Tengah dan Timur berikut organisasi regionalnya, Afrika, Timur Tengah, serta negara-negara di sekitar Samudra Hindia (Indian Ocean Rim Association atau IORA) dianggap potensi tersebut.
“Jumlah penduduk yang besar, namun dengan sumber daya alam yang relatif terbatas membuat wilayah tersebut berpotensi sebagai tujuan ekspor bagi komoditas dan produk yang beragam dari Indonesia,” tuturnya seperti dilansir dari laman resmi Kementerian Perindustrian.
Pada akhirnya, menangkap peluang dari perang dagang dua beruang (Panda dan Grizzlies) dalam perekonomian ini sah-sah saja. Hanya saja, Indonesia tampaknya masih mesti berbenah terlebih dahulu untuk bisa memosisikan dirinya di antara kekisruhan yang terjadi.
Mesti dingat, jika ekspor Indoensia ke China juga menjadi yang tak bisa disepelekan. Dengan dipagarinya barang manufaktur China ke AS, pabrik-pabrik China dipastikan akan menahan berproduksi. Artinya, pasokan bahan baku yang biasanya dipasok dari Indonesia dipastikan juga akan berkurang.
Alhasil, secara keseluruhan, kinerja ekspor Indoensia juga akan melandai. Efeknya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang salah satunya dikontribusikan dari ekspor juga bakal terganggu. So, strategi dan diplomasi menjadi kata kunci. Jangan sampai pertempuran yang terjadi justru membuat kita harus melulu merugi. (Teodora Nirmala Fau, Shanies Tri Pinasthi, Faisal Rachman)