16 Maret 2018
08:30 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA- Perusahaan komputasi awan milik Alibaba Group, Alibaba Cloud, yang resmi beroperasi di Indonesia, menyasar usaha kecil menengah dan start-up atau perusahaan rintisan dengan produk dan layanan hemat biaya. Peluncuran data center merupakan komitmen Alibaba Cloud mendukung pemerintah Indonesia membentuk 1000 start-up hingga 2020.
"Kami percaya diri dalam menyediakan data center dan kami akan menarik semakin banyak konsumen, khususnya start-up, karena start up memikirkan dana secara efektif," kata Kepala Alibaba Cloud Asia Tenggara dan New Zealand Raymond Ma dalam peluncuran di Jakarta, Kamis (16/3) seperti dilansir Antara.
Menurutnya, dengan memindahkan infrastruktur TI ke komputasi awan, perusahaan berkembang dikatakannya dapat memanfaatkan layanan yang kuat untuk berinovasi dan menghemat pengeluaran.
Ia menyebut, pusat data milik Alibaba Group dari China ini menawarkan produk dan layanan cloud (awan), seperti elastic computing, layanan database, jaringan, keamanan, big data dan middleware untuk analisis, yang dapat diaplikasikan berbagai industri, mulai dari e-commerce, media, teknologi finansial hingga manufaktur.
Layanan big data MixCompute dipastikan Raymond memungkinkan pengguna menyimpan dan mengolah data struktural dalam jumlah besar. Ia pun mengatakan berdiri sendiri di Indonesia dan terbuka untuk bekerja sama dengan perusahaan lokal Indonesia yang sama-sama berkecimpung di bidang layanan data center.
"Kami sangat terbuka untuk bekerja sama dengan perusahaan lokal yang menyediakan layanan data center. Kami juga memiliki proses internal untuk mengembangkan infrastruktur," ucap Raymond Ma.

Di Indonesia, sejatinya Alibaba Cloud sendiri beberapa perusahaan di bidang online seperti Tokopedia, Dwidaya Tour dan GTech Digital Asia untuk untuk berinovasi dengan komputasi data. Tokopedia yang disebutkan sudah mengoperasikan lebih dari 20 aplikasi utama dan berbagai layanannya di platform tersebut.
Tokopedia juga sudah memakai teknologi kecerdasan buatan (AI, artificial intelligence) Alibaba Cloud untuk mendapatkan informasi lebih terkait sekian banyak data agar pelanggan dapat bertransaksi dengan lebih baik.
Alex Li, General Manager of Asia Pacific Alibaba Cloud menuturkan, salah satu dasar Alibaba dalam menyediakan layanan cloud di Indonesia adalah pemahaman mereka tentang kondisi di negeri ini.
"Sebagai satu-satunya penyedia layanan cloud global yang berasal dari Asia, Alibaba Cloud memiliki posisi yang unik dalam pemahaman budaya dan konteks di wilayah ini. Sehingga kami dapat menyediakan solusi data intelligence dan kemampuan komputerisasi yang inovatif bagi semua pelanggan di wilayah ini," tuturnya.
Alibaba menyadari teknologi komputasi awan bukan hal baru, termasuk untuk di Indonesia. Karena itu, mereka berusaha menghadirkan layanan yang dekat dengan konsumen lokal, misalnya dapat dijangkau oleh usaha kecil menengah hingga perusahaan rintisan serta menyediakan layanan dalam bahasa Indonesia.
Alibaba Cloud memang berkomitmen untuk mendukung pembentukan 1.000 startup pada tahun 2020. Khusus bagi para pelaku startup dan UKM, Alibaba menawarkan akses layanan Cloud yang terjangkau.
Sekadar informasi, Alibaba Cloud telah memiliki lebih dari 42 zona data center di 18 pusat ekonomi dunia. Beberapa di antaranya berada di Tiongkok, Hong Kong, Singapura, Malaysia, India, Jepang, Australia, kawasan Timur Tengah, Amerika Serikat, dan Indonesia.
Di kawasan Timur Tengah, Alibaba Cloud menggandeng Universitas Sains dan Teknologi Khalifa di Abu Dhabi pada Desember 2017. Kerja sama itu dilakukan untuk mengidentifikasi potensi penggunaan big data, Internet of Things (IoT), robotika, dan komputasi cloud.
Pada kuartal keempat 2017, Alibaba Cloud memiliki lebih dari satu juta pelanggan berbayar. Dari pertumbuhan pelanggan tersebut, keuntungannya bertumbuh sebesar 104% year over year menjadi US$553 juta.
Disokong Regulasi
Sebelumnya dikabarkan, bisnis pusat pengelolaan data dan teknologi komputasi awan dinilai semakin menggiurkan di pasar Indonesia. Ini karena pemerintah sudah menerbitkan banyak regulasi yang mendorong pelaku usaha untuk menyimpan dan mengelola datanya di dalam negeri.
Grup Riset DBS Bank, dalam paparannya Januari lalu juga menyarankan agar usaha pusat data sebaiknya segera didivestasikan dari perusahaan telekomunikasi, agar valuasi perusahaan pusat data tersebut tidak menurun.
Bisnis pusat data dan komputasi awan merupakan dua sektor yang dianggap bagian dari perusahaan telekomunikasi. Namun, dua unit usaha tersebut dinilai dapat berdiri sendiri karena memiliki fokus operasional dan bisnis yang menjanjikan.
"Perusahaan telekomunikasi sebaiknya mendivestasikan usaha pusat data miliknya, sebab (jika tidak dipisahkan) berpotensi menurunkan nilai usaha pusat data tersebut hingga 16 kali," menurut paparan bertajuk Data Centre & Cloud: Divestments and M&As to Accelerate in 2018. Pernyataan itu disimpulkan dari paparan empat ekonom Sachin Mittal, Tsz Wang Tam, Toh Woo Kim, dan Chris Ko Cfa.

Beberapa regulasi yang mendorong perkembangan bisnis pusat data dan komputasi awan, antara lain, Peraturan Pemerintah No. 82/2012 yang mewajibkan sistem pembayaran elektronik untuk menyimpan datanya di Indonesia. Kemudian, di sektor minyak dan gas, SKK Migas sejak 2013 mewajibkan seluruh perusahaan migas memiliki pusat data yang ditempatkan di Indonesia.
Selain dari sisi regulasi, dari kaca mata investor, Indonesia dinilai menjadi tempat pengembangan bisnis pusat data dan teknologi kumputasi awan karena tingkat pengembalian modal investasi (ROIC) yang mencapai 11,6%, atau tertinggi di Asia Pasifik. Di Singapura, tingkat ROIC hanya 9,5%, sedang di Australia, ROIC hanya 3,8% atau terendah, karena mahalnya fasilitas di perkotaan.
Asal tahu saja, pusat data atau data center adalah fasilitas untuk menempatkan sistem komputer, cadangan informasi, server website atau database, dan komponen terkaitnya. Sedangkan komputasi awan merupakan layanan teknologi penyimpanan informasi melalui jaringan berbasis internet yang bisa diakses nirkabel melalui perangkat elektronik.
Paparan tersebut memuat contoh di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, di mana perusahan telekomunikasi telah mendivestasikan bisnis pusat data mereka. Dana yang didapatkan dari divestasi tersebut kemudian digunakan untuk mengaktifkan fasilitas teknologi awan atau diinvestasikan ke bisnis lainnya seperti Big Data Analytics.
Ada dua jenis layanan teknologi awan yaitu swasta (private) dan umum (public cloud). Private cloud adalah layanan ekslusif yang disediakan untuk internal organisasi atau perusahaan. Fasilitas ini lebih aman karena dikelola sendiri, namun biaya operasionalnya yang cukup tinggi. Sedangkan public cloud untuk pengguna lebih luas, seperti yang disediakan Adobe Reader Cloud, Windows Azure, Amazon Web Services, dan Google Cloud.
Pada 2014 nilai transaksi pasar pusat data dan komputasi awan Indonesia sebesar Rp4,4 triliun. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, pasar pusat data Indonesia diprediksi tumbuh sekitar 20% tahun dalam periode 2015 hingga 2107 seiring dengan berkembangnya teknologi digital dan daring.
Pertumbuhan fasilitas pusat data di Indonesia juga akan dipengaruhi oleh pembangunan infrastruktur nasional, terutama di luar Pulau Jawa. Saat ini, industri pusat data di Indonesia dapat disebut masih dalam fase awal, dengan 60 persen aktivitasnya terpusat di Jakarta.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menilai masuknya perusahaan cloud atau komputasi awan sebesar Alibaba, menunjukkan potensi bisnis di Indonesia yang besar. "Pemain besar cloud ada di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata, baik bisnis dan pasar, bisa memberikan kontribusi," ujar Rudiantara.
Ilustrasi pusat data. fubiz.net
Alibaba Cloud yang menyasar UKM dan perusahaan rintisan (start-up) diharapkannya bia mendorong pertumbuhan perusahaan-perusahaan karya anak bangsa, sehingga Indonesia dapat berkompetisi di kancah internasional.
Terkait keberadaan data center, ia menuturkan tidak semua data center harus ada di Indonesia. Data center yang harus ada di Indonesia yang berkaitan dengan masalah keamanan negara seperti intelijen.
"Data center buat Dukcapil yang E-KTP itu harus ada di sini. Yang penting tergantung sektor, sektor kan macam-macam," kata Rudiantara.
Ia menyebut perusahaan penerbangan asing yang tidak terlalu besar memerlukan biaya yang besar untuk membangun data center sendiri di Indonesia. Selama secara hukum bisa menjangkau ke tempat data center apabila terdapat pelaku kriminal, data center bisa tidak berada di Indonesia.
"Kami lebih realistis di lapangan dan juga mengikuti perkembangan internasional. Kami dalam dalam proses merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 82/2012. Tahun ini mudah-mudahan sebentar lagi harmonisasi antarkementerian," tuturnya. (Faisal Rachman)