29 April 2024
16:00 WIB
Warung Madura, Antara Transmigrasi, Persaudaraan, Dan Kemandirian
Kerap ditemui di jalan-jalan kecil di kota besar, warung Madura menyimpan banyak cerita. Seperti apa asal muasal bisnis ini dan seberapa menggiurkan penghasilannya?
Penulis: Novelia
Editor: Rikando Somba
| Ilustrasi Warung Madura. Shutterstock/Dino masharud |
Di sudut-sudut kota metropolitan seperti Jakarta, ada sejumlah toko kelontong yang umumnya tak jarang kita temui. Menariknya, tak sedikit di antara toko atau warung tersebut yang dikelola secara turun temurun oleh kelompok etnis tertentu di Indonesia. Seperti halnya warung Madura yang biasanya nangkring di jalan-jalan kecil yang mudah dijangkau dari pemukiman penduduk.
Keberadaan yang terbilang cukup banyak di kota-kota besar membuat warung Madura menjadi andalan. Tak kalah dengan minimarket yang juga menjamur, warung yang memang dikelola oleh etnis Madura inijuga menyediakan bahan sembako yang cukup lengkap. Apalagi warung ini meraih ceruk pasar yang tak biasa dengan menggenjot jam operasionalnya hingga 24 jam nonstop. Sampai-sampai ada guyonan yang mengatakan kalau warung Madura hanya tutup kalau dunia sudah kiamat.
Pertanyaannya, kenapa sih warung Madura begitu menjamur di kota-kota besar?
Tanah Tandus Dan Mimpi Ke Kota
Banyaknya warung madura tak terlepas dari banyaknya masyarakat daerah tersebut yang bermigrasi ke daerah-daerah luar, terutama ke kota-kota besar. Semua berawal dari kondisi daerah tersebut yang tak terlalu menguntungkan bagi masyarakatnya secara agraris.
Berdasarkan sejarah Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura pada 1850-1940 yang ditulus Kuntowijoyo, kondisi geografis Pulau Madura yang berada di marjinal Jawa bagian timur terbilang kecil dan tandus. Keringnya lingkungan membuat tanah di wilayah tersebut menjadi kurang subur. Akhirnya, penduduk yang awalnya bertumpu pada pertanian hanya bisa memilih menanam komoditas yang tidak terlalu memerlukan air, seperti jagung, ubi kayu, dan palawija.
Sayangnya, usaha ini juga tak berbuah manis karena cuaca yang makin dinamis.
Hasil panen yang sedikit sudah biasa terjadi, hingga akhirnya mencapai situasi gagal panen. Alhasil kehidupan mereka jadi kurang dan terkungkung dalam kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa selama periode 2019-2021, Kabupaten Sampang yang merupakan salah satu bagian dari wilayah Madura memiliki 23.723 jiwa masyarakat miskin.
Masyarakat Madura akhirnya menyerah dengan sumber daya alam di daerahnya dan mencoba mencari peluang lain dengan merantau. Hal ini membuat Madura jadi salah satu suku yang menyukseskan program transmigrasi pemerintah. Dari sensus yang dilakukan selama tahun 2000 hingga 2010, jumlah migran Madura tercatat sebagai yang terbesar di 30 provinsi di Indonesia.
Jera dengan pola cocok tanam, para perantau tersebut pun mengalihkan pola ekonomi mereka. Tak lagi jadi pengelola lahan, melainkan bekerja di sektor informal. Makanya kemudian Sobat Valid banyak menemui masyarakat Madura yang berdagang kuliner, pakaian, menawarkan jasa cukur, bengkel besi dan rongsok, hingga membuka toko kelontong yang kini kita kenal itu.
Inspirasi Kesuksesan Pertama
Muncul pertama kali pada periode pasca reformasi tahun 1990-an dan awal 2000-an, warung Madura pertama di Jakarta dibuka di Tanjung Priok. Pemilik sekaligus pengelolanya adalah para pedagang migran asal Sumenep, salah satu kabupaten di Madura. Warung ini kemudian sukses mendatangkan keuntungan, dan membuat sang perantau berkecukupan.
Cerita sukses sang perantau Madura pemilik toko kelontong didengar oleh keluarga dan orang-orang terdekatnya. Mereka pun akhirnya tergiur untuk terjun dalam bisnis yang sama, baik sebagai pemilik maupun penjaga toko kelontong. Apalagi keuntungan yang didapat juga tak kaleng-kaleng. Nilai penghasilannya bahkan bisa melebihi UMR di kota besar, loh.
Lewat studi yang dilakukan dan dituangkan dalam buku Kemandirian Sosial-Ekonomi ‘Warung Madura’ dan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Madura (2023), Medhy Aginta Hidayat, dkk memperlihatkan cukup tingginya penghasilan yang diperoleh warung madura di Jakarta. Dari 200 warung yang menjadi sampel studi, sebanyak 33% memiliki penghasilan lebih dari Rp10 juta rupiah dan mengatakan hidup berkecukupan.

Adapun penghasilan warung Madura umumnya tidak menganut sistem gaji bulanan, melainkan bagi rata hasil antara pegawai atau pengelola warung dengan pemiliknya. Hal ini jadi kunci untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dan semangat para pengelola untuk meraih keuntungan sebanyak mungkin.
Beda Dengan Warung Lainnya
Selain punya jam operasional yang tak biasa, warung ini juga punya berbagai keunikan yang membedakan dengan warung lainnya. Dan beberapa di antaranya mengandung ciri khas identitas dan karakter ke-Madura-an sang penjaga atau pemilik toko.
Secara fisik, warung Madura biasanya ada di pinggir jalan-jalan di area padat penduduk. Pada bagian depan warung biasanya terdapat deratan galon air mineral. Jika cukup besar, ada juga rak bensin eceran.
Barang-barang yang ditawarkan diatur dengan sangat rapi dalam rak kotak-kotak berbahan kayu berdasarkan jenisnya. Beras diletakkan di tempat terlihat dalam beberapa kotak kaca yang mirip akuarium dengan stiker harga di depan atau atas setiap kotak, agar calon pembeli bisa melihat perbedaan kualitasnya.
Selain itu, warung Madura juga kerap menawarkan sejumlah produk yang berasal dari Madura, misalnya sambal terasi, kerupuk gendar, dan sejumlah hasil pertanian lokal. Hal ini berbeda dengan beberapa warung berbasis etnis lainnya sepeeti warung ucok atau Batak dan warung Kuningan yang cenderung menawarkan barang-barang yang lebih umum dan disesuaikan dengan preferensi konsumen.
Yang lebih unik, tak jarang di dinding belakang atau suatu rak di warung Madura mungkin saja tergantung celurit. Selain sebagai alat untuk berjaga-jaga dari kejahatan di lingkungan, celurit sendiri merupakan senjata khas yang merupakan simbol identitas dan kewaspadaan etnis Madura.
Kekeluargaan dalam Bisnis
Dalam hal bisnis, pengelolaan warung Madura tak terlepas dari sistem kekeluargaan. Manajemen biasanya dilakukan secara mandiri oleh pemilik dan penjaga warung yang merangkap sebagai pegawai sekaligus petugas pencatat arus kas. Dengan tujuan efisiensi biasanya penjaga tersebut juga tinggal sehari-hari di dalam warung.
Para penjaga warung Madura hampir pasti memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik, baik keluarga dekat, jauh, atau teman akrab. Pengelolaan warung ini pun kerap dilakukan secara turun temurun dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan asal. Karena riwayat tersebut, pemilik warung biasanya punya hubungan erat dengan pemasok lokal.
Uniknya, banyak dari pemilik warung Madura yang tidak mendapat bantuan formal dari pemerintah dalam membangun usahanya. Semua modal ditanggung penuh oleh sang pemilik warung, dan keluarganya.
Data studi yang sama yang dilakukan Medhy Aginta Hidayat, dkk (2023) menunjukkan bawa 89% responden membiatai warung dengan modal pribadi. Fakta mengenai kemandirian sosial-ekonomi warung madura ini tentunya menarik di antara banyaknya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah di Indonesia yang mengharapkan bantuan dari pemerintah dalam hal pendanaan.
Referensi:
Badan Pusat Statistik . (2023). Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur (Jiwa), 2021-2023. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Retrieved from https://jatim.bps.go.id/indicator/12/375/1/jumlah-penduduk-provinsi-jawatimur.html
Puspitasari, F. N., & Fauzi, A. M. (2023). Modal Sosial Pedagang Toko Kelontong Madura di Perantauan. Paradigma Volume 12 No. 1, 241-250.