c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

CATATAN VALID

07 November 2025

14:00 WIB

Urban Heat Island di Indonesia: Antara Pembangunan Dan Krisis Lingkungan Di Perkotaan

Urbanisasi cepat dan pembangunan tak kenal henti menjadi faktor utama di balik fenomena urban heat island

Penulis: Oktarina Paramitha Sandy

Editor: Rikando Somba

<p><em>Urban Heat Island</em> di Indonesia: Antara Pembangunan Dan Krisis Lingkungan Di Perkotaan</p>
<p><em>Urban Heat Island</em> di Indonesia: Antara Pembangunan Dan Krisis Lingkungan Di Perkotaan</p>

Pemotretan tilt shift sejati dari puncak Dubai: bangunan perumahan, jalan raya, dan garis pantai dengan laut dan pulau, hari musim panas yang cerah. Shutterstock/skyNext.

Sobat Valid, pernahkah kamu merasa udara di kota tempat kamu tinggal terasa semakin panas dari tahun ke tahun, bahkan di malam hari sekalipun hawa gerahnya tak juga hilang? Fenomena ini bukan hanya perasaan semata. Peningkatan suhu di wilayah perkotaan memang menjadi kenyataan yang kini dirasakan di berbagai kota besar di Indonesia.

Kondisi ini bukan semata-mata akibat iklim tropis yang memang cenderung hangat, melainkan gambaran dari fenomena yang dikenal sebagai Urban Heat Island (UHI). Kondisi ini terjadi ketika suhu udara di kawasan perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang masih memiliki ruang hijau dan vegetasi alami.

Urbanisasi yang berlangsung cepat dan pembangunan yang terus meluas menjadi faktor utama di balik kondisi ini. Permukaan kota yang didominasi oleh beton, aspal, dan bangunan bertingkat membuat panas terperangkap dan sulit dilepaskan ke atmosfer.

Di sisi lain, ruang terbuka hijau yang seharusnya berfungsi sebagai penyejuk alami semakin berkurang, tergantikan oleh infrastruktur dan area pemukiman padat penduduk. Akibatnya, suhu udara di kota meningkat secara perlahan namun konsisten, menciptakan lingkungan yang semakin panas dan tidak nyaman bagi warganya.

Sebagai seseorang yang tinggal di kota, kamu mungkin sudah terbiasa dengan kemacetan, polusi, dan hawa panas yang seolah menjadi bagian dari keseharian. Namun, jarang disadari bahwa semua itu saling berhubungan erat dengan cara kota dibangun dan dikelola.

Ketika keseimbangan antara ruang hijau dan area terbangun tidak dijaga, maka panas pun terperangkap di antara dinding beton, atap bangunan, dan permukaan jalan yang menyerap energi matahari. Inilah yang membuat suhu di pusat kota jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan pinggiran.

Fenomena Urban Heat Island di Indonesia bukan sekadar konsekuensi dari kemajuan pembangunan, tetapi juga peringatan bahwa pertumbuhan kota yang tidak disertai dengan perencanaan berkelanjutan dapat menimbulkan krisis lingkungan yang nyata. Kota memang menjadi pusat ekonomi dan aktivitas manusia, namun tanpa memperhatikan keseimbangan ekologis, kenyamanan hidup di dalamnya akan terus menurun dari waktu ke waktu.

Bahkan, berdasarkan penelitian berjudul The Impact of Urban Green Space on The Urban Heat Island Phenomenon – A Study Case in East Jakarta (2024), peningkatan suhu di wilayah perkotaan memiliki korelasi langsung dengan berkurangnya tutupan vegetasi. Studi tersebut menggunakan citra satelit dan data suhu permukaan dari kawasan Jakarta Timur, dan hasilnya menunjukkan bahwa area dengan kepadatan vegetasi tinggi memiliki suhu rata-rata 3–5°C lebih rendah dibandingkan wilayah yang didominasi oleh bangunan padat dan permukaan keras seperti beton atau aspal.

Penelitian ini juga menemukan bahwa keberadaan taman kota, jalur hijau di sepanjang jalan, serta area resapan air berperan besar dalam menurunkan suhu lokal dan menjaga kelembapan udara di sekitarnya. Ruang hijau terbukti berfungsi sebagai “penyejuk alami” yang membantu menyerap radiasi panas di siang hari sekaligus mengurangi efek pantulan panas pada malam hari. Dengan kata lain, keberadaan vegetasi tidak hanya berpengaruh pada estetika kota, tetapi juga menjadi bagian penting dari sistem ekologi yang mampu menyeimbangkan iklim mikro di wilayah perkotaan.

Selain itu, penurunan kualitas lingkungan akibat pembangunan tanpa mempertimbangkan aspek ekologi mempercepat terbentuknya Urban Heat Island (UHI). Ketika lahan hijau berubah menjadi kawasan komersial atau permukiman padat, kemampuan alami kota untuk mengatur suhu menurun drastis. Dampaknya, energi panas dari matahari terperangkap di antara dinding bangunan dan jalanan, meningkatkan suhu udara hingga pada level yang dapat mengganggu kenyamanan dan kesehatan masyarakat.

Temuan ini menjadi pengingat penting bagi kita semua, bahwa ruang hijau di perkotaan bukan sekadar fasilitas tambahan, melainkan infrastruktur ekologis yang menentukan kualitas hidup warga kota. Menjaga, memperluas, dan mengintegrasikan elemen hijau ke dalam tata ruang perkotaan bukan hanya soal tentang estetika, tapi juga tentang membangun sistem pertahanan alami terhadap perubahan iklim dan peningkatan suhu ekstrem.

Apa Itu Urban Heat Island dan Mengapa Terjadi di Indonesia?

Kalau kamu merasa udara di tengah kota terasa semakin panas dari tahun ke tahun, bahkan di malam hari pun hawa gerahnya tak juga hilang, kamu sebenarnya sedang merasakan dampak dari fenomena yang disebut Urban Heat Island (UHI). Fenomena ini menggambarkan kondisi ketika suhu udara di wilayah perkotaan secara konsisten lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang masih memiliki vegetasi dan ruang terbuka hijau.

Secara sederhana, kota bisa diibaratkan seperti spons panas raksasa. Permukaan bangunan yang terbuat dari beton, aspal, dan kaca menyerap energi matahari sepanjang hari, lalu melepaskannya kembali secara perlahan di malam hari. Karena material-material tersebut tidak memiliki kemampuan alami untuk mengalami pendinginan secepat tanah atau pepohonan, panas pun terperangkap di antara gedung-gedung tinggi dan jalanan kota. Akibatnya, udara di kawasan perkotaan tetap terasa hangat bahkan setelah matahari terbenam.

Selain dari material penyerap panas, aktivitas manusia juga berperan besar dalam memperkuat fenomena ini. Kendaraan bermotor yang lalu lalang setiap hari, penggunaan pendingin ruangan di hampir setiap bangunan, hingga aktivitas industri dan komersial yang terus beroperasi tanpa henti, emuanya menyumbang panas tambahan ke atmosfer kota. Hasilnya, udara menjadi semakin kering dan suhu terus meningkat, menciptakan lingkungan yang jauh dari kata nyaman.

Fenomena ini paling nyata terlihat di Jakarta, kota metropolitan yang menjadi pusat aktivitas ekonomi, politik, dan sosial Indonesia. Dengan populasi yang terus meningkat dan laju pembangunan yang tidak pernah berhenti, Jakarta menjadi contoh paling jelas bagaimana urbanisasi memengaruhi suhu dan kualitas lingkungan kota. Setiap tahun, ruang terbuka hijau di ibu kota semakin berkurang, tergantikan oleh gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, jalan raya, dan kawasan pemukiman padat. Semua elemen ini membentuk lanskap yang menyerap panas di siang hari dan memantulkannya kembali ke udara pada malam hari, menyebabkan suhu kota sulit menurun secara alami.

Berdasarkan penelitian berjudul Spatio-temporal Characteristics of Urban Heat Island of Jakarta Metropolitan (2023), intensitas Urban Heat Island di Jakarta mencapai 3°C–6°C pada suhu permukaan tanah, sementara suhu udara di tingkat permukaan meningkat sekitar 1°C–2,5°C dibandingkan dengan wilayah sekitarnya yang masih memiliki tutupan vegetasi. Penelitian ini dilakukan menggunakan data satelit serta pengukuran suhu permukaan di berbagai titik di Jakarta, mulai dari kawasan pusat bisnis Sudirman–Thamrin, hingga ke daerah pinggiran seperti Cibubur dan Pondok Gede.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa wilayah dengan kepadatan bangunan tinggi, seperti Jakarta Pusat dan sebagian wilayah Jakarta Barat, mencatat suhu permukaan tertinggi di kota ini. Hal ini disebabkan oleh dominasi material penyerap panas seperti beton dan aspal, serta minimnya pepohonan dan taman publik. Sebaliknya, area seperti Kebun Raya Ragunan, Taman Suropati, dan kawasan sekitar Cibubur yang memiliki vegetasi lebat dan area terbuka hijau menunjukkan suhu yang lebih stabil dan kelembapan udara yang lebih seimbang.

Bahkan, perbedaan suhu tidak hanya terjadi pada siang hari, tetapi bertahan hingga malam. Di kawasan padat bangunan, suhu udara tetap tinggi meskipun matahari sudah terbenam, karena panas yang tersimpan di permukaan kota perlahan dilepaskan ke atmosfer. Inilah sebabnya mengapa udara di pusat kota sering terasa pengap dan sulit sejuk, bahkan di tengah malam.

Fenomena ini menggambarkan bagaimana struktur fisik kota secara langsung membentuk iklim mikro di dalamnya. Permukaan keras yang mendominasi lanskap perkotaan menghambat proses pendinginan alami, sementara aktivitas manusia seperti lalu lintas padat dan penggunaan energi berlebih menambah emisi panas ke udara. Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak hanya menurunkan kenyamanan hidup, tetapi juga meningkatkan kebutuhan energi listrik untuk pendingin ruangan dan memperburuk emisi karbon kota.

Melalui hasil studi ini, para peneliti menekankan pentingnya menata kembali tata ruang kota dengan memperbanyak vegetasi dan ruang terbuka hijau sebagai langkah mitigasi. Kota seperti Jakarta membutuhkan sistem perencanaan yang mampu menyeimbangkan antara kebutuhan pembangunan dan keberlanjutan lingkungan, agar panas yang kian menyelimuti kota tidak menjadi ancaman permanen bagi kesehatan dan kualitas hidup warganya.

Faktor Penyebab Urban Heat Island di Indonesia

Fenomena Urban Heat Island terbukti lebih intens di kawasan yang minim ruang hijau dan padat bangunan. Berdasarkan penelitian berjudul Urban Green Space Analysis and its Effect on the Surface Urban Heat Island Phenomenon in Denpasar City, Bali (2023), permukaan tanah di area dengan vegetasi rendah memiliki suhu hingga beberapa derajat lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan yang memiliki tutupan hijau yang memadai. Bahkan, penelitian ini juga memberikan gambaran jelas struktur ruang kota, mulai dari kepadatan bangunan hingga minimnya vegetasi, mempengaruhi meningkatnya suhu di wilayah perkotaan. Berikut ini, serangkaian faktor yang saling berkaitan dan memperparah kondisinya dari tahun ke tahun.

1. Urbanisasi tanpa perencanaan matang

Pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia berlangsung sangat cepat, sering kali tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Kamu bisa lihat sendiri bagaimana lahan kosong yang dulunya hijau, kini berubah menjadi kompleks perumahan, gedung tinggi, atau jalan tol baru. Perencanaan tata ruang yang hanya berfokus pada pembangunan fisik tanpa strategi keberlanjutan membuat kota kehilangan kemampuan alaminya untuk menyerap panas. Akibatnya, panas yang seharusnya terserap oleh tanah dan pepohonan malah terpantul di antara bangunan dan jalanan. Dalam jangka panjang, situasi ini membuat udara perkotaan semakin panas dan tidak nyaman, terutama di siang hari ketika aktivitas manusia sedang tinggi-tingginya.

2. Dominasi permukaan keras

Material seperti beton, aspal, dan baja mendominasi hampir seluruh permukaan kota. Permukaan keras ini menyerap panas matahari di siang hari dan melepaskannya kembali ke udara pada malam hari, sehingga suhu kota tetap tinggi meski matahari sudah terbenam. Hal ini berbeda jauh dengan tanah, rerumputan, atau pohon yang mampu menyimpan air dan membantu proses pendinginan alami melalui evapotranspirasi. Kota yang dipenuhi permukaan keras ibarat “oven” yang menyala terus-menerus, tanpa jeda pendinginan. Itulah mengapa di kawasan padat bangunan seperti pusat bisnis Jakarta atau Surabaya, udara malam pun tetap terasa gerah.

3. Ruang terbuka hijau yang terus menyusut

Ruang terbuka hijau (RTH) berfungsi seperti paru-paru kota — tapi sayangnya, luasnya terus berkurang dari tahun ke tahun. Jakarta misalnya, masih jauh dari target 30% RTH yang diamanatkan undang-undang. Data terbaru menunjukkan, Jakarta baru memiliki sekitar 6% RTH dari total wilayahnya. Padahal keberadaan pepohonan, taman kota, dan hutan mini di dalam kota sangat penting untuk menurunkan suhu, menyerap karbon, dan memperbaiki kualitas udara. Semakin sedikit vegetasi, semakin lemah pula kemampuan kota untuk menahan efek panas berlebih.

4. Emisi dari berbagai sumber energi dan transportasi

Setiap hari, ribuan kendaraan bermotor memenuhi jalanan kota, sementara gedung-gedung tinggi menyalakan pendingin udara tanpa henti. Aktivitas industri di kawasan padat juga berkontribusi besar terhadap peningkatan suhu. Gas buang dari kendaraan dan mesin tidak hanya mencemari udara, tapi juga memerangkap panas di lapisan atmosfer bawah. Efeknya terasa langsung: suhu udara meningkat, kualitas udara menurun, dan beban energi untuk pendinginan ruangan ikut melonjak. Siklus ini menciptakan umpan balik yang terus memperburuk kondisi lingkungan perkotaan.

5. Kondisi geografis dan iklim tropis

Indonesia secara alami berada di wilayah beriklim tropis, dengan suhu dan kelembapan yang tinggi sepanjang tahun. Namun ketika dikombinasikan dengan urbanisasi masif dan minimnya vegetasi, efek panasnya menjadi berlipat ganda. Bayangkan kota yang sudah panas secara alami, kemudian ditambah dengan lapisan beton dan aspal di mana-mana — hasilnya adalah kondisi yang membuat udara terasa menekan, bahkan pada malam hari. Kombinasi antara suhu tinggi dan kelembapan ekstrem tidak hanya mengganggu kenyamanan, tapi juga bisa berdampak pada kesehatan masyarakat, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan pekerja lapangan.

Dampak Urban Heat Island terhadap Kehidupan Kota

Fenomena Urban Heat Island (UHI) membuat kota-kota besar di Indonesia mengalami peningkatan suhu yang signifikan, bukan hanya di siang hari, tapi juga pada malam hari. Panas yang seolah tak pernah reda ini ternyata bukan sekadar soal kenyamanan, melainkan masalah serius yang memengaruhi kesehatan, lingkungan, hingga stabilitas ekonomi kota.

Secara kesehatan, paparan suhu tinggi dalam jangka panjang memberi tekanan besar pada tubuh manusia. Dikutip dari penelitian berjudul The Challenge and Solutions of Urban Heat Island in Jakarta (2020), peningkatan suhu di kota besar seperti Jakarta terbukti meningkatkan risiko gangguan kesehatan seperti dehidrasi, heatstroke, hingga penyakit kardiovaskular.

Anak-anak, lansia, dan mereka yang memiliki penyakit bawaan menjadi kelompok paling rentan. Suhu yang terlalu tinggi membuat tubuh kehilangan kemampuan untuk menstabilkan panas, menyebabkan kelelahan ekstrem, pusing, dan bahkan kehilangan kesadaran. Bahkan, kalau kamu bekerja di luar ruangan, kondisi ini makin berat karena panas terpantul dari permukaan jalan dan bangunan, menciptakan sensasi terperangkap dalam udara yang padat dan pengap.

Selain memengaruhi kesehatan fisik, panas ekstrem juga berdampak pada produktivitas dan kesejahteraan mental. Bayangkan bekerja seharian di ruangan tanpa pendingin udara, atau tidur malam di kamar yang terasa seperti oven. Tubuh sulit beristirahat dengan baik, konsentrasi menurun, dan mood jadi mudah berubah. Studi lain bahkan menunjukkan bahwa suhu tinggi berhubungan langsung dengan peningkatan stres dan gangguan tidur di kalangan masyarakat perkotaan. Dalam konteks sosial, ini bisa memicu penurunan produktivitas kerja dan menurunnya kualitas hidup secara keseluruhan.

Dampak Urban Heat Island juga merambat ke lingkungan sekitar. Ketika suhu udara naik, konsumsi energi otomatis meningkat karena masyarakat bergantung pada pendingin udara untuk bertahan dari panas. Ironisnya, penggunaan AC secara masif justru memperburuk masalah, karena panas yang dibuang ke luar ruangan ikut menambah suhu lingkungan.

Selain itu, emisi karbon dari pembangkit listrik yang mendukung penggunaan energi ini turut memperparah polusi udara di perkotaan. Suhu yang tinggi juga mempercepat reaksi kimia di atmosfer, menghasilkan ozon permukaan dan partikel polutan lain yang berbahaya bagi sistem pernapasan. Akibatnya, kualitas udara menurun, dan risiko penyakit paru serta asma meningkat, terutama bagi kamu yang tinggal di daerah padat dan minim vegetasi.

Lingkungan alam perkotaan pun ikut tertekan. Burung, lebah, dan kupu-kupu yang dulu menghiasi taman-taman kota kini makin jarang terlihat. Mereka kehilangan habitat alami karena panas ekstrem membuat banyak tanaman tak mampu bertahan. Ekosistem kota kehilangan keseimbangannya—dan kalau kamu perhatikan, jumlah pepohonan besar di jalan raya pun kian sedikit. Hilangnya vegetasi membuat udara semakin kering, dan kemampuan tanah untuk menyerap air hujan berkurang. Ini bukan cuma memperburuk efek panas, tapi juga meningkatkan risiko banjir saat curah hujan tinggi datang.

Dari sisi ekonomi, fenomena ini membawa beban tersendiri bagi warga kota. Saat suhu meningkat, tagihan listrik ikut naik karena penggunaan pendingin ruangan tak terhindarkan. Buat sebagian orang, mungkin hal ini bisa diatasi dengan mudah. Tapi bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang tinggal di kawasan padat, panas ekstrem menjadi beban tambahan yang tak bisa mereka hindari. Rumah-rumah berdinding tipis dan ventilasi minim menjebak panas di siang hari dan melepaskannya perlahan di malam hari, membuat istirahat pun terasa sulit. Ketimpangan sosial ini makin terasa ketika sebagian warga menikmati kesejukan buatan, sementara sebagian lainnya harus berjuang menghadapi panas yang menyengat setiap hari.

Mungkinkah Mengembalikan Keseimbangan Kota di Kondisi Saat Ini?

Sobat Valid, kamu mungkin pernah berpikir, apakah kota yang sudah sesak dan panas seperti sekarang ini masih bisa kembali seimbang? Jawabannya, bisa, tapi tidak mudah.

Pertanyaan itu wajar, apalagi kalau kamu tinggal di kota besar yang tiap tahun terasa makin menyengat. Suhu udara yang meningkat, ruang hijau yang menipis, dan gedung-gedung tinggi yang terus tumbuh tanpa jeda membuat kota terasa semakin tak ramah. Tapi meski tantangannya besar, harapan untuk mengembalikan kesejukan kota sebenarnya belum sepenuhnya hilang.

Salah satu tantangan utama datang dari laju urbanisasi yang terus meningkat. Orang-orang berdatangan ke kota mencari peluang hidup yang lebih baik, tapi di sisi lain, tekanan terhadap ruang dan sumber daya semakin tinggi. Lahan terbuka yang dulu menjadi tempat resapan air dan pertumbuhan pohon kini berubah menjadi kompleks hunian dan pusat bisnis. Permukaan kota yang didominasi beton dan aspal menyerap panas sepanjang hari, lalu melepaskannya kembali di malam hari, menciptakan efek “heat island” yang membuat udara kota sulit sejuk bahkan ketika matahari sudah tenggelam.

Namun, permasalahan terbesar sebenarnya bukan hanya pada pembangunan fisik, melainkan juga pada lemahnya implementasi kebijakan. Banyak regulasi dan program lingkungan sudah dibuat, mulai dari rencana tata ruang hingga target peningkatan ruang terbuka hijau, tapi di lapangan sering kali pelaksanaannya tidak berjalan mulus. Koordinasi antarinstansi yang tidak sinkron, keterbatasan anggaran, hingga pengawasan yang longgar membuat banyak kebijakan berhenti di atas kertas.

Di sisi lain, perilaku masyarakat juga turut memperburuk kondisi. Gaya hidup yang serba praktis dan konsumtif. Mulai dari penggunaan AC yang berlebihan, ketergantungan pada kendaraan pribadi, hingga kurangnya kesadaran menjaga lingkungan, membuat upaya penyejukan kota menjadi semakin berat.

Meski begitu, bukan berarti harapan telah hilang. Justru di tengah tantangan ini, berbagai inisiatif mulai bermunculan dan menunjukkan hasil yang menjanjikan. Inovasi teknologi, misalnya, kini memainkan peran penting dalam memahami dan menanggulangi Urban Heat Island.

Melalui pemetaan panas perkotaan menggunakan sistem GIS dan teknologi remote sensing, titik-titik panas di kota bisa diidentifikasi secara akurat, sehingga pemerintah dan peneliti dapat merancang intervensi yang lebih tepat sasaran. Pendekatan berbasis alam atau nature-based solutions juga mulai diterapkan, seperti memulihkan area basah (wetland), memperluas taman kota, hingga mengembangkan konsep hutan vertikal di gedung-gedung tinggi.

Kolaborasi lintas sektor juga semakin terasa. Pemerintah, akademisi, dunia usaha, dan komunitas warga mulai menyadari bahwa persoalan panas kota tidak bisa diselesaikan secara parsial. Program seperti Urban Climate Action Programme (UCAP) menunjukkan bahwa kolaborasi multi-pihak bisa menghadirkan solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan. Ketika kebijakan, riset ilmiah, dan aksi masyarakat berjalan beriringan, maka perubahan nyata bisa terjadi.

Namun, semua inovasi dan kebijakan itu tidak akan berarti tanpa partisipasi kamu sebagai warga kota. Langkah kecil seperti menanam pohon di halaman rumah, mengurangi penggunaan AC, menggunakan transportasi publik, atau ikut menjaga kebersihan taman kota bisa membawa dampak besar jika dilakukan bersama-sama. Setiap tindakan kecil adalah bagian dari gerakan besar untuk memulihkan keseimbangan kota.

Dikutip dari penelitian berjudul The Impact of Urban Green Space on the Urban Heat Island Phenomenon in East Jakarta (2024) ditemukan bahwa wilayah perkotaan yang memiliki ruang hijau lebih luas terbukti memiliki suhu permukaan yang jauh lebih rendah dibandingkan kawasan padat bangunan. Penelitian ini menggunakan data citra satelit Landsat 8 untuk mengukur suhu permukaan dan tingkat vegetasi di Jakarta Timur, dan hasilnya menunjukkan hubungan yang sangat jelas antara vegetasi dengan penurunan suhu.

Daerah seperti Cipayung, yang memiliki lebih banyak ruang hijau dan hutan kota, tercatat jauh lebih sejuk dibandingkan dengan kawasan padat seperti Matraman yang hampir tidak memiliki vegetasi. Temuan ini menegaskan bahwa ruang terbuka hijau bukan hanya mempercantik kota, tapi juga menjadi “paru-paru” alami yang menyeimbangkan suhu dan memperbaiki kualitas hidup warga.

Inovasi seperti ini membuka jalan bagi berbagai solusi berbasis alam yang bisa diterapkan di banyak kota di Indonesia. Misalnya, konsep nature-based solutions kini semakin banyak dibicarakan. Mulai dari penanaman pohon di kawasan padat, pengembangan taman atap (green roof), hingga pemulihan area rawa dan jalur hijau yang bisa berfungsi sebagai pendingin alami kota. Pendekatan ini tidak hanya membantu menurunkan suhu, tapi juga memperbaiki kualitas udara dan meningkatkan kesejahteraan psikologis masyarakat.

Tentu saja, upaya seperti ini tidak bisa berjalan tanpa kolaborasi. Pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan komunitas warga perlu bergerak bersama. Program seperti Urban Climate Action Programme (UCAP) yang melibatkan berbagai pihak menjadi contoh baik bagaimana kolaborasi lintas sektor bisa menciptakan kebijakan yang lebih tepat sasaran. Kesadaran kamu sebagai warga juga punya peran besar. Hal-hal kecil seperti menanam pohon di halaman rumah, mematikan AC saat tidak diperlukan, atau memilih transportasi umum ketimbang kendaraan pribadi bisa jadi bagian dari solusi jangka panjang.

Keseimbangan kota bukan hal yang mustahil. Pembangunan yang berkelanjutan bukan berarti menghentikan modernisasi, melainkan memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mengorbankan lingkungan. Penelitian terbaru bahkan memperkirakan bahwa tanpa intervensi yang serius, intensitas Urban Heat Island di Jakarta bisa meningkat hingga 2040 dan berdampak besar pada konsumsi energi serta kesehatan publik. 

Kita mungkin tidak bisa menghentikan panas yang datang besok, tapi kita bisa mulai membangun masa depan kota yang lebih sejuk dari sekarang. Karena kota yang ideal bukan sekadar tempat dengan gedung tinggi dan jalan lebar, tapi tempat di mana manusia bisa bernapas lega, merasa nyaman, dan hidup berdampingan dengan alam yang tetap lestari.

* Penulis adalah kontributor di Validnews.id 

Referensi

The Impact of Urban Green Space on The Urban Heat Island Phenomenon – A Study Case in East Jakarta, Indonesia (2024) 

Spatio-temporal characteristics of urban heat Island of Jakarta metropolitan (2023)  

Urban Green Space Analysis and its Effect on the Surface Urban Heat Island Phenomenon in Denpasar City, Bali (2023) 

Increasing Urban Heat Island area in Jakarta and it’s relation to land use changes (2020) 

The Impact of Urban Green Space on The Urban Heat Island Phenomenon – A Study Case in East Jakarta, Indonesia (2024) 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar