c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

CATATAN VALID

15 November 2025

17:40 WIB

Urban Green Belt Sebagai Sabuk Penyelamat Kota

Urban Green Belt adalah benteng alami kota. Sabuk hijau membantu mencegah banjir, menurunkan suhu, dan menjaga keseimbangan lingkungan

Penulis: Bayu Fajar Wirawan

Editor: Rikando Somba

<p><em>Urban Green Belt&nbsp;</em>Sebagai Sabuk Penyelamat Kota</p>
<p><em>Urban Green Belt&nbsp;</em>Sebagai Sabuk Penyelamat Kota</p>

Ilustrasi Urban Green Belt. Shutterstock/chuyuss

Banyak kota di Indonesia kini menghadapi krisis lingkungan. Ya, Ini bukan sekadar kekhawatiran tanpa dasar. Urbanisasi yang melaju cepat, ruang hijau yang terus menyusut, serta meningkatnya suhu, polusi, dan banjir membuat kota-kota kita semakin rentan.

Meski demikian, kondisi ini bukan tanpa jalan keluar. Salah satu solusi yang semakin relevan adalah Urban Green Belt, yaitu sabuk hijau yang berfungsi membatasi perluasan kota, menjaga kualitas lingkungan, dan melindungi kesehatan warganya.

Di berbagai negara, green belt terbukti efektif menahan urban sprawl, menurunkan suhu perkotaan, memperbaiki kualitas udara, hingga melindungi habitat satwa.

Mengapa Sabuk Hijau Penting              Di berbagai kota dunia, green belt dibangun sebagai benteng ekologis yang membatasi perluasan permukiman dan menjaga keseimbangan lingkungan. Inggris telah menerapkan kebijakan ini sejak 1930-an untuk mencegah London berkembang tanpa batas. 

Di Korea Selatan, sabuk hijau berperan mengendalikan pertumbuhan Seoul sekaligus menstabilkan harga tanah di sekitarnya.

Logika di balik green belt sebenarnya sederhana, namun sangat krusial: kota tidak boleh dibiarkan menghabiskan seluruh ruang yang tersedia. Harus ada zona penyangga alami yang mampu meredam panas, menyerap air hujan, menyediakan habitat bagi satwa, dan menjadi ruang bernapas bagi manusia.

Di tengah perubahan iklim yang semakin ekstrem, peran ini menjadi jauh lebih strategis. Sabuk hijau terbukti dapat menurunkan suhu permukaan kota, mengurangi dampak gelombang panas, menyaring polusi udara, serta menjaga kualitas lingkungan. Berbagai studi kesehatan global pun menunjukkan bahwa masyarakat yang hidup dekat ruang hijau cenderung memiliki tingkat stres lebih rendah, kebugaran lebih baik, dan risiko penyakit kronis yang lebih kecil.

Namun yang sering terabaikan adalah fakta bahwa sabuk hijau selalu bersinggungan langsung dengan salah satu masalah terbesar kota modern: urban sprawl.

Pertanyaannya, seperti apa sebenarnya fenomena urban sprawl yang diam-diam mengubah wajah kota kita?

Urban Sprawl: Kota Melebar Tanpa Aturan.                                                          Urban sprawl bukan sekadar kota yang berkembang. Ini adalah pertumbuhan yang terjadi tanpa kendali. Pada tahap awal, sprawl tampak seperti deretan klaster perumahan baru, ruko di pinggir jalan, atau kawasan industri yang perlahan bergeser keluar batas kota. Seiring waktu, ruang hijau mulai terputus, sungai kehilangan vegetasi alaminya, dan jalur satwa terfragmentasi.

Pada titik tertentu, kota terlihat meluas tanpa arah, membentuk pola seperti tumpahan tinta di peta.

Indonesia telah menunjukkan tanda-tanda sprawl sejak lama. Berbagai data konsumsi lahan urban menunjukkan bahwa wilayah terbangun di banyak kota besar tumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan penduduknya. Pemetaan satelit terbaru juga memperlihatkan tren yang konsisten: kawasan hijau di wilayah peri-urban terus berubah menjadi permukaan terbangun dalam satu dekade terakhir.

Di Jabodetabek, pembangunan baru kerap melompat jauh melewati batas kota, memotong ruang hijau dan meninggalkan “lubang-lubang kosong” yang tidak lagi memiliki konektivitas ekologis. Pola yang sama terlihat di Bandung dan Surabaya, di mana ruang terbuka yang sebelumnya berfungsi sebagai bentang penyangga kini semakin terdesak oleh kebutuhan hunian dan komersial.

Jika tren ini terus berlangsung, sabuk hijau akan semakin menyusut hingga kehilangan perannya sebagai pengendali sprawl.

Ruang Hijau yang Terus Menyusut Secara regulasi, Indonesia menetapkan standar ideal bahwa 30 persen wilayah kota harus menjadi Ruang Terbuka Hijau. Namun kenyataan di lapangan jauh berbeda.

Di Jakarta, ruang hijau tercatat hanya sekitar 5 hingga 6 persen dari total wilayah, dengan angka per kapita sekitar 6 meter persegi. Angka ini jauh di bawah rekomendasi minimal global yang sering disebut sekitar 9-meter persegi per orang. Kota-kota lain tidak menunjukkan kondisi yang lebih baik. Surabaya, Semarang, Medan, Yogyakarta, dan Bandung sama-sama menghadapi tekanan konversi lahan yang tinggi.

Penelitian citra satelit terbaru di lima kota besar Indonesia menegaskan bahwa tutupan hijau semakin menurun dari tahun ke tahun, terutama pada periode 2019 hingga 2024. Banyak area yang sebelumnya tampak hijau pada data NDVI kini telah berubah menjadi kawasan terbangun.

Yang lebih mengkhawatirkan, perubahan ini tidak berlangsung perlahan. Dalam sejumlah kasus, transformasi terjadi hanya dalam dua hingga tiga tahun, sebuah kecepatan yang sulit diimbangi oleh perencanaan kota yang ada saat ini.

Sabuk Hijau Sebagai Jalan Tengah: Ekologi, Ekonomi, dan Sosial         Sabuk hijau sering dipandang hanya sebagai ruang hijau untuk menyejukkan kota, padahal perannya jauh lebih besar dari itu. Banyak kota di dunia membuktikan bahwa green belt bukan hanya menyelamatkan lingkungan, tetapi juga menguatkan ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup warganya.

Di beberapa kota besar, nilai properti yang berada dekat ruang hijau terbukti lebih tinggi. Warga rela membayar lebih mahal untuk hidup di lingkungan yang lebih sejuk, lebih tenang, dan lebih sehat. Sementara itu, kawasan rekreasi alam yang masuk dalam koridor green belt menjadi sumber pendapatan baru, mulai dari kegiatan wisata hingga olahraga luar ruang yang semakin diminati masyarakat urban.

Dampaknya terasa hingga sektor kesehatan. Ketika ruang hijau tersedia dan mudah diakses, tingkat stres menurun, aktivitas fisik meningkat, dan beban layanan kesehatan bisa ikut berkurang. Tidak hanya itu, keberadaan area resapan yang terlindungi di sabuk hijau membantu mengurangi risiko banjir, masalah klasik yang terus menghantui kota-kota besar di Indonesia.

Dengan segala fungsinya, green belt jauh melampaui peran taman atau hutan kota biasa. Keberadaannya kini dipandang sebagai infrastruktur ekologis penting, setara dengan jalan raya atau jaringan air bersih, namun menawarkan efisiensi biaya jangka panjang yang jauh lebih baik. 

Di sejumlah negara, sabuk hijau bahkan terbukti membantu menahan inflasi harga tanah di pusat kota karena mampu membatasi spekulasi pembangunan yang sering memicu lonjakan harga secara tak terkendali.

Di banyak wilayah, sabuk hijau menunjukkan bahwa solusi lingkungan dapat berjalan seiring dengan kepentingan ekonomi. Bahkan, keduanya bisa saling menguatkan dan bertemu pada titik keseimbangan yang menguntungkan kota maupun warganya.

Lalu, Mengapa Sabuk Hijau Masih Sulit Diwujudkan di Indonesia?

Meskipun manfaat sabuk hijau semakin diakui, mewujudkannya di Indonesia bukanlah perkara mudah. Tantangannya muncul dari percampuran faktor sosial, ekonomi, hingga politik yang saling berkaitan.

Salah satu hambatan terbesar adalah fragmentasi lahan. Wilayah peri-urban biasanya dimiliki oleh banyak pihak dengan kepentingan berbeda, sehingga menggabungkannya menjadi satu koridor hijau yang utuh menjadi pekerjaan yang rumit dan memakan waktu.

Di sisi lain, harga lahan yang terus meningkat membuat pengembang lebih tertarik membangun perumahan dan kawasan komersial di pinggiran kota. Secara ekonomi jangka pendek, opsi ini dianggap lebih menguntungkan dibanding mempertahankan ruang terbuka hijau.

Masalah berikutnya adalah penegakan tata ruang yang lemah. Banyak kebijakan sudah dibuat, namun implementasinya sering berhenti pada peta dan dokumen, tanpa pengawasan yang kuat atau sanksi yang tegas.

Selain itu, minimnya insentif bagi pemilik lahan membuat upaya mempertahankan kawasan hijau tidak menarik secara finansial. Tanpa kompensasi atau skema penghargaan yang jelas, menjaga lahan tetap hijau terasa seperti keputusan yang merugikan.

Yang tidak kalah penting adalah persepsi ruang hijau sebagai lahan “tidak produktif.” Pandangan ini masih mendominasi cara berpikir banyak pihak, padahal manfaat ekologis, sosial, dan ekonomi jangka panjang dari sabuk hijau jauh lebih besar dibanding keuntungan sesaat dari pembangunan yang terus meluas.

Semua faktor ini membentuk tantangan berlapis yang menjelaskan mengapa sabuk hijau masih sulit menjadi kenyataan di banyak kota Indonesia. Namun bukan berarti mustahil—tantangan ini justru membuka peluang untuk memperbaiki cara kita memandang dan mengelola ruang kota.

Ketika Kota Mulai Belajar dari Krisis     Di berbagai belahan dunia, kota-kota mulai merespons krisis lingkungan dengan memperkuat sabuk hijau mereka. Inggris, misalnya, telah memperbarui kebijakan green belt untuk memulihkan ruang hijau yang hilang akibat tekanan pembangunan. Korea Selatan memilih pendekatan berbeda dengan mengintegrasikan sabuk hijau ke dalam sistem transportasi publik, sehingga mendorong mobilitas yang lebih berkelanjutan dan mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi. 

Sementara itu, banyak negara di Eropa mengadopsi nature-based solutions dan urban farming sebagai bagian dari desain green belt modern yang bukan hanya ekologis, tetapi juga produktif.

Indonesia pun memiliki peluang yang sama besarnya. Teknologi pemetaan satelit kini memungkinkan pemerintah mengidentifikasi wilayah kritis yang membutuhkan perlindungan segera. Dengan data yang lebih akurat, prioritas ruang hijau dapat ditentukan berdasarkan kebutuhan ekologis saat ini, bukan sekadar mengacu pada peta tata ruang lama yang tidak lagi relevan dengan kondisi terbaru.

Di sisi lain, kesadaran warga juga mulai tumbuh. Urban farming, kebun komunal, hingga koridor hijau di sepanjang sungai semakin banyak dijumpai di berbagai kota. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin memahami pentingnya ruang terbuka, bukan hanya sebagai area rekreasi, tetapi sebagai elemen vital dalam menjaga kualitas hidup urban.

Harapan untuk masa depan kota-kota Indonesia masih terbuka lebar, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya.

Ketika berbicara tentang pembangunan kota, perhatian sering tertuju pada gedung baru, jalan baru, dan arus investasi. Padahal, masa depan kota juga bergantung pada kemampuannya menjaga ruang untuk bernapas.

Di tengah krisis lingkungan global seperti polusi, banjir, dan gelombang panas, sabuk hijau bukan sekadar pelengkap. Perannya justru menjadi penopang penting bagi keberlangsungan kota.

Kini muncul pertanyaan besar: akankah kita menjaga sabuk hijau sebagai ruang hidup bersama, atau membiarkannya perlahan hilang tertutup oleh beton?

 

Referensi:

1. Badan Pusat Statistik (BPS) "Dinamika Konsumsi Lahan Wilayah Urban di Indonesia" 2020.                                        2. World Health Organization, Urban Green Space Interventions and health, A review of impacts and effectiveness. 2017 3. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Status Lingkungan Hidup Indonesia, 2022.                                        4. UN-HABITAT, World Cities Report 2020, The Value of Sustainable Urbanizaton.     5. https://greenly.earth/en-gb/blog/ecology-news/green-belt-policy-definition-benefits-and-examples?utm_source=chatgpt.com. 6.https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0264837724001017?utm_source=chatgpt.com.  7.https://data.go.id/dataset/dataset/jumlah-dan-luas-ruang-terbuka-hijau?utm_source=chatgpt.com                          8.https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6209905/?utm_source=chatgpt.com


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar