21 Agustus 2025
14:00 WIB
Upaya Menjaga Iklim Dan Mendorong Ekonomi Dengan Perdagangan Karbon
Sebagai salah satu partisipan Paris Agreement, berbagai upaya dilakukan Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Salah satunya, melalui perdagangan karbon.
Penulis: Nabila Ayu Ramadhani
Editor: Rikando Somba
Hutan mangrove tepatnya tak jauh dari Pantai Sendangbiru mulai ditanam warga sekitar pada tahun 2004 hingga 2006. Hutan mangrove adalah ekosistem yang penting dalam perdagangan karbon. Shutterstock/Dante Sulindro Nugroho
Indonesia Carbon Exchange (IDX Carbon) berhasil meraih penghargaan Best Official Carbon Exchange in an Emerging Economy dalam ajang Carbon Positive Award 2025 pada 5 Juni 2025. Prestasi ini menjadi bukti nyata Indonesia dalam menangani permasalahan karbon sekaligus memperkuat reputasinya di mata dunia.
Memangnya apa sih fungsi dari perdagangan karbon yang penghargaannya diraih Indonesia?
Mengutip situs Indonesia Carbon Exchange, IDX Carbon adalah sebuah platform yang punya peran penting dalam mendukung berjalannya pasar karbon di Indonesia. IDX Carbon telah merancang berbagai upaya dalam menunjang kelancaran proyek perdagangan karbon di Indonesia. Salah satunya, dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai.
Pertanyaannya sekarang, perdagangan karbon itu apa sih? Yuk, kita cari tahu bersama supaya makin peka terhadap isu lingkungan!
Pengertian Perdagangan Karbon menurut Indonesia dan Lembaga Internasional
Bursa perdagangan karbon kini menjadi salah satu misi penting bagi Indonesia yang telah lama terlibat secara aktif dalam upaya global untuk menjaga kelestarian alam. Sebagai salah satu negara yang terlibat aktif dalam Paris Agreement yang telah diresmikan sejak 12 Desember 2015, negara kita turut berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon melalui upaya perdagangan karbon.
Melalui langkah ini, Indonesia tidak hanya menunjukkan keseriusannya dalam menghadapi krisis iklim, tetapi juga turut mendorong pertumbuhan ekonomi hijau. Sejumlah tokoh dan lembaga dunia memiliki definisi serta aturan tersendiri terkait perdagangan karbon. Siapa pendefinisinya dan apa saja penjelasannya?
1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
Menurut Permen LHK No. 01 Tahun 2022, perdagangan karbon adalah sistem perdagangan yang dirancang untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui transaksi unit karbon antar individu.
Definisi GRK tepatnya tertulis dalam Pasal 5 dalam peraturan ini, yakni mengacu pada uap yang terdapat di atmosfer, baik yang berasal dari sumber alami maupun aktivitas manusia (antropogenik), yang memiliki kemampuan memantulkan kembali sinar inframerah ke bumi.
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Ditjen PPI)
Berdasarkan situs Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, perdagangan karbon (carbon trading) merupakan salah satu strategi penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yaitu pendekatan berbasis jual-beli untuk menurunkan emisi GRK melalui skema perdagangan unit karbon. Kegiatan ini menjadi upaya nyata Indonesia dalam membuktikan komitmennya terhadap Perjanjian Paris.
3. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
Melalui situs resminya, IPCC menjelaskan bahwa perdagangan karbon adalah strategi jual beli yang dirancang untuk menurunkan emisi GRK dengan membatasi total emisi yang dapat dipasarkan. Pelaku usaha yang memiliki kelebihan kredit karbon atau izin membuang emisi, dapat menjual dan memanfaatkannya untuk meraih keuntungan. Sebagai informasi, praktik ini telah diterapkan oleh perusahaan di tingkat nasional maupun internasional.
4. World Bank Group
World Bank Group atau kelompok Bank Dunia mendefinisikan pasar karbon sebagai potensi untuk mempercepat upaya penanganan perubahan iklim. Agar proses ini berjalan lancar, pasar karbon harus dijalankan secara terbuka, terpercaya, mampu mengurangi emisi secara nyata, serta memberikan manfaat signifikan, terutama bagi negara berkembang.
Regulasi dan Kerangka Hukum Pasar Karbon di Indonesia
Sebagai bagian dari pelaksanaan Paris Agreement, Indonesia sebagai salah satu partisipan telah menyusun Nationally Determined Contribution (NDC) yang berisi komitmen negara dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Dalam dokumen NDC ini, dijabarkan sejumlah kebijakan yang melandasi langkah-langkah Indonesia untuk mengendalikan kestabilan iklim dan suhu global.
Salah satu langkah yang telah dilakukan adalah pengembangan energi terbarukan, serta pelaksanaan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) guna mendukung mekanisme perdagangan karbon. Pemerintah sendiri telah menyusun berbagai dasar hukum untuk mengatur mekanisme pasar karbon, yaitu sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.
Indonesia telah melakukan verifikasi mengenai Persetujuan Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change. Pengesahan ini menjadi dasar penting untuk menetapkan regulasi nasional yang mendukung upaya pengendalian perubahan iklim.
2. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021
Perpres 98/2021 menjadi landasan bagi upaya Indonesia untuk mencapai target NDC. Komitmen ini bertujuan untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29% tanpa campur tangan negara lain, dan hingga 41% dengan adanya dukungan internasional pada tahun 2030.
3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 21 Tahun 2022
Permen LHK 21/2022 mengatur beberapa prosedur guna mencapai target NDC, salah satunya dengan merancang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Adapun mekanisme-mekanisme yang telah dirancang meliputi alur kerja perdagangan karbon, pembayaran berbasis kerja, hingga mekanisme perdagangan NEK lainnya.
Mekanisme Carbon Trading Indonesia: Cap and Trade, dan Offset Market
Perdagangan karbon di Indonesia memiliki tujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi rendah karbon. Melalui perdagangan karbon, Indonesia tidak hanya berupaya memenuhi komitmen iklim global, tetapi juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari berbagai sektor.
Perdagangan karbon bisa dilakukan melalui dua skema, yakni melalui pasar sukarela (voluntary market) dan pasar wajib (compliance market). Dalam pasar sukarela, setiap entitas non-negara, baik perusahaan ataupun individu, dapat membeli kredit karbon untuk mengompensasi emisi GRK pada kegiatan operasional mereka. Alih alih diatur oleh pemerintah, pasar karbon sukarela lebih didorong etika dan tanggung jawab sosial, atau keinginan untuk meningkatkan citra ramah lingkungan pada perusahaan.
Berbeda dengan pasar wajib, mekanisme pasar ini didasari oleh kewenangan pemerintah, di mana pemerintah membatasi emisi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan ketika beroperasi. Aturan-aturan tersebut mendorong perusahaan untuk lebih bijak dalam menghasilkan emisi pada kegiatan operasional masing-masing.
Lalu, bagaimana sebenarnya sistem pasar karbon yang diterapkan di Indonesia saat ini?
Cap and Trade
Makna cap dalam sistem pasar karbon ini bukan berarti topi, melainkan sebuah batasan atas yang ditentukan pemerintah terkait jumlah emisi GRK yang boleh dibuang perusahaan. Jadi, setiap perusahaan yang jumlah emisinya melewati batas yang ditentukan harus membeli carbon credit atau izin untuk membuang emisi dari perusahaan yang memiliki credit lebih, yang tak lagi digunakan.
Offset Market
Sebagai opsi lainnya dalam perdagangan karbon, dalam sistem offset market juga telah dihitung batas maksimal jumlah emisi gas rumah kaca sesuai protokol gas rumah kaca.
Bedanya dengan metode cap and trade, dalam offset market, setiap perusahaan yang kekurangan batas emisi harus membeli credit carbon melalui transaksi dari proyek yang bergerak dalam sektor pengurangan emisi, misalnya reboisasi, atau pengolahan energi terbarukan.
Manfaat Perdagangan Karbon bagi Lingkungan, Ekonomi, dan Reputasi Indonesia
Kondisi geografis Indonesia yang amat luas dengan lebih dari 17.000 pulau, serta sekitar 65% penduduknya tinggal di kawasan pesisir, membuat masalah perubahan iklim menjadi isu penting untuk dihadapi bersama. Kenaikan permukaan air laut yang jadi salah satu akibatnya misalnya, akan memberi dampak serius bagi kehidupan ekosistem sekaligus mata pencaharian masyarakat pesisir.
Karena itulah, Indonesia harus menciptakan solusi dalam mengatasi tantangan untuk mengendalikan iklim. Perdagangan karbon yang bertujuan menurunkan emisi karbon, menjadi potensi besar dalam mengatasi ketahanan iklim dan ekonomi masyarakat. Lalu, apakah pasar karbon memiliki manfaat lainnya?
Mengurangi emisi secara efisien adalah salah satu manfaat yang utama dari perdagangan karbon. Melalui sistem transaksi jual beli credit carbon antarperusahaan, setiap entitas dapat saling membantu dalam memenuhi kebutuhan operasionalnya. Perusahaan yang kekurangan izin emisi untuk melaksanakan usahanya, dapat membeli carbon credit dari entitas lain tanpa melanggar regulasi yang ada. Sementara perusahaan yang memiliki izin berlebih dapat meraih keuntungan dengan menjualnya pada entitas yang membutuhkan.
Yang juga penting, perdagangan karbon mendorong investasi hijau dan teknologi rendah karbon. Perdagangan karbon juga menjadi peluang dan acuan bagi para investor dan pelaku usaha untuk mengoperasikan proyek-proyek berkelanjutan, seperti energi terbarukan, reboisasi hutan, dan pengolahan limbah ramah lingkungan. Bahkan, metode ini juga turut mendukung pertumbuhan ekonomi hijau, penciptaan lapangan kerja, serta pembangunan berkelanjutan, mulai dari lokal hingga nasional.
Perdagangan karbon mampu membuka peluang lapangan pekerjaan, terutama bagi masyarakat yang menetap di sekitar hutan atau pesisir. Pekerjaan yang dihasilkan berkaitan dengan proyek besar yang berfokus pada pengurangan emisi karbon, sehingga jumlah SDM yang dibutuhkan pun tak sedikit. Selain itu, metode ini juga dapat meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kepedulian terhadap lingkungan, pelestarian alam, serta aktif dalam kegiatan ramah lingkungan.
Di saat sama, yang dilakukan Indonesia jelas meningkatkan reputasi di mata dunia. Kontribusi Indonesia dalam perdagangan karbon telah membuktikan tekad negara untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris. Upaya ini sekaligus menjadi jembatan untuk mengukuhkan nama baik Indonesia dalam konteks negara berkembang yang siap terjun langsung dalam mengatasi berbagai krisis iklim global.

Hambatan dan Isu Perdagangan Karbon di Indonesia
Berdasarkan data Enhanced Nationally Determined Contribution Republic Of Indonesia, Indonesia telah menargetkan penurunan emisi sebesar 31,89% hingga 43,20% pada tahun 2030 mendatang. Negara kita telah menyusun berbagai rancangan di berbagai sektor utama, seperti energi, kehutanan, limbah, dan pertanian, dan seluruh sektor tersebut dapat menekan sekitar 60% total pengurangan emisi.
Penerapan ini tentunya harus dilalui dengan beragam tantangan, meski negara kita memiliki kekayaan alam penyokong natural perdagangan karbon seperti hutan tropis, lahan gambut, dan ekosistem pesisir yang dapat menyerap karbon. Lalu, apa saja tantangan utama dalam menerapkan pasar karbon di Indonesia?
Praktik kerja pasar karbon di Indonesia masih tergolong rumit. Salah satu contohnya, pemanfaatan sektor energi panas bumi yang memakan waktu sangat lama, yakni sekitar 5 hingga 10 tahun, sebelum memasuki tahap Commercial Operation Date (COD) atau mulai beroperasi secara komersial. Lamanya proses ini turut menjadi hambatan dalam perdagangan karbon karena secara tak langsung memperlambat produksi pasokan carbon credit di pasar.
Perdagangan karbon di Indonesia belum menekankan pengawasan yang intens kepada karyawannya. Ketika tenaga kerja merasa tidak puas dengan hasil akhir yang diperoleh, mereka bisa saja melakukan hal-hal curang, seperti manipulasi pengukuran unit karbon yang memicu turunnya reputasi perusahaan. Dapat juga terjadi praktik double counting (penghitungan ganda), di mana carbon credit yang sama diklaim oleh lebih dari satu pihak, baik perusahaan ataupun negara.
Dalam pasar karbon, teknologi dan infrastruktur seharusnya menjadi perhatian, karena merupakan tonggak penting yang secara tak langsung mendukung transparansi, akurasi, dan efisiensi pasar. Kenyataannya, masih diperlukan pengembangan teknologi dan peralatan yang memadai dalam pengelolaan emisi agar mempermudah proses transaksi dan memastikan setiap emisi telah terverifikasi secara tepat dan akurat.
Nah, Sobat Valid! Sekarang kita bisa simpulkan bahwa perdagangan karbon bukan hanya alat penting bagi Indonesia untuk menurunkan emisi GRK, tapi juga menjadi solusi efektif untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Akan tetapi, siapkah Indonesia menguatkan langkah untuk menerapkan pasar karbon demi menjaga perubahan iklim dan meningkatkan kesejahteraan rakyat? Yuk, terus dukung upaya negara menurunkan emisi, dan lakukan hal-hal kecil buat jadi bagian dari perubahan positif ini!
*Penulis merupakan mahasiswa aktif, tengah magang mandiri di Validnews.id.
Referensi: