04 Maret 2022
18:53 WIB
Penulis: Mohammad Widyar Rahman
Pada 1908 Ikeda Kikunae mengisolasi bahan kimia dalam rumput laut yang memberi rasa pada konbu dashi, kaldu standar ala Jepang. Pada saat itu, Ikeda yang sedang belajar di Jerman bersama rekan-rekannya, mengembangkan sumber nutrisi yang murah dan diproduksi secara massal.
Produk yang muncul dari laboratorium Ikeda yang diberi nama monosodium glutamat (MSG) tersebut, dengan cepat dipatenkan di Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis.
Ikeda membawa bubuk MSG itu ke pabrik yodium Suzuki Saburo, Suzuki Chemical Company. Kemudian, Suzuki Chemical Company mulai memasarkannya pada tahun 1909 dengan merek Ajinomoto, yang berarti "esensi rasa."
Ajinomoto pun mulai membangun pasar domestiknya pada tahun-tahun terakhir era Meiji (1868–1912), tatkala Jepang dengan cepat mengembangkan industrinya untuk bergabung dengan industri Barat. Orang Jepang terpelajar pada zaman itu menanamkan keyakinan besar pada manfaat sains modern.
Namun, Suzuki Chemical Company pada awalnya mengalami kesulitan menarik pelanggan. MSG tidak membawa keuntungan selama empat tahun pertama di pasar. Penolakan muncul dari pembuat kecap dan pemilik restoran. Perusahaan pun akhirnya menggeser usahanya dan mulai menargetkan ibu rumah tangga sebagai konsumen
Pada era Meiji ini, ibu rumah tangga borjuis yang tercerahkan, berusaha mengelola dapurnya sesuai dengan ajaran kebersihan dan nutrisi ilmiah. Mereka antusias menerima tantangan untuk membuat makanan baru dan bergizi tiap hari, sebagai cara untuk menyenangkan keluarga mereka dan sarana untuk pemenuhan pribadi.
Perlahan tapi pasti, MSG atau mecin, mulai diterima dan menjadi bagian dari rumah tangga di Jepang.
Namun, “kesuksesan” bukannya tanpa tantangan. Pada 1968, muncul “penemuan" Sindrom Restoran Cina, sebagaimana termuat dalam New England Journal of Medicine dari Robert Ho Man Kwok dan laporan penelitian lainnya.
Masa ini menjadi periode kelabu bagi industri MSG, karena dikonotasikan negatif. Konotasi negatif terhadap MSG di antaranya menyebabkan sakit kepala, sakit perut, dan perasaan tidak nyaman secara umum.
Padahal, secara ilmiah, belum ada penelitian yang dapat membuktikan hubungan langsung antara MSG dan reaksi negatif. Sejak munculnya “penemuan” sindrom tersebut, FDA tidak memberikan pelarangan terhadap MSG. Bahkan, MSG tetap dikonsumsi sejak munculnya kontroversi tentang efek kesehatannya.
Sebagai gantinya, Ajinomoto dan produsen pesan lainnya di Jepang kembali ke istilah asli Ikeda untuk rasa yang dia buat, umami yang diambil dari kata bahasa Jepang sehari-hari yang berarti "lezat." Untuk membuat MSG lebih akrab dan terdengar alami bagi konsumen Jepang, mereka menamakannya “bumbu umami.” Asosiasi Promosi Bumbu Umami pun dibentuk pada tahun 1982, bersama dengan pusat penelitian umami.
Ikeda sendiri, sejatinya telah mengusulkan umami sebagai fifth basic taste, melengkapi rasa dasar yang dikenal yaitu manis, asam, asin, dan pahit. Pada 1980-an perusahaan mulai membuktikan ini melalui metode laboratorium terbaru dalam fisiologi rasa.
Untuk mencapai tujuan ini, Ajinomoto mensponsori serangkaian proyek penelitian, dimulai dengan simposium internasional yang diadakan di Hawaii pada 1985 dengan kolaborasi antara peneliti Jepang dan Amerika.
Alhasil, adanya pergantian nama dari MSG yang berkonotasi negatif menjadi umami yang berkonotasi positif. Meski sebenarnya, keduanya menggunakan molekul yang sama, yaitu asam amino yang disebut glutamat, untuk mengaktifkan reseptor rasa kita.
Hingga saat ini, regulator di seluruh dunia, termasuk Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) dari United Nations Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO), serta Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) sepakat. Mereka menganggap, MSG aman untuk dikonsumsi semua orang. Organisasi-organisasi ini secara meyakinkan telah menentukan, tidak ada efek samping MSG terhadap kesehatan.
Dari sisi perkembangan industri, permintaan tingi yang datang dari kawasan Asia membuat kapasitas produksi MSG, sebagian besar terkonsentrasi di Asia. Apalagi, bahan baku (seperti tapioka dari singkong dan tetes tebu dari tebu) berlimpah dan murah. Begitu juga dengan tenaga kerja.
Asal tahu saja, kapasitas produksi Asia menyumbang sekitar 94% dari kapasitas produksi MSG dunia pada tahun 2021. China, Indonesia, Vietnam, Thailand, dan Taiwan merupakan negara produsen utama di Asia.
Sementara itu, China menyumbang 53,5% dari konsumsi dunia. Konsumsi China diperkirakan akan meningkat rata-rata sebesar 1,6% per tahunnya selama 2021–2026.
Konsumsi di kawasan Asia Tenggara dan Oseania pun diperkirakan akan meningkat rata-rata 4,2% per tahunnya. sebagian besar pertumbuhan permintaan datang dari Indonesia, Vietnam, Thailand, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya selama tahun 2021 –2026. Di negara-negara tersebut, penduduknya sudah memiliki tradisi menggunakan MSG dalam memasak makanan.
Memang, efek samping atau dampak buruk dari mengonsumsi MSG berlebihan masih perlu diteliti lebih lanjut. Namun, kita perlu ingat prinsip “segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik”. Jadi, alangkah baiknya tetap membatasi konsumsi MSG, sebari menjaga asupan gizi seimbang dan pola hidup sehat.
Referensi:
https://glutamate.org/library/fact-sheets/ [diakses pada tanggal 4 Maret 2022]
https://ihsmarkit.com/products/monosodium-glutamate-chemical-economics-handbook.html [diakses pada tanggal 4 Maret 2022]
https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/22029/Penggunaan-MSG-dalam-Makanan.html [diakses pada tanggal 4 Maret 2022]
Sand J. 2005. A Short History of MSG: Good Science, Bad Science, and Taste Cultures. Gastronomica, 5 (4): pp. 38-49. University of California Press.