19 Maret 2024
02:30 WIB
Penulis: Dwiditya Pamungkas
Editor: Rikando Somba
Konsep pemberdayaan dan pembangunan masyarakat secara umum ialah proses membuat masyarakat berdaya melalui pemberian dan peningkatan berbagai sumber daya, peluang, pengetahuan, dan keahlian di masyarakat guna meningkatkan kemampuan mereka dalam menentukan masa depan mereka dengan mengedepankan upaya partisipasi diri mereka sendiri. Di sisi lain, melakukan pemberdayaan secara partisipatif merupakan hal yang penuh rintangan dan sulit untuk dilakukan di masyarakat.
Akan tetapi, secara turun menurun terdapat tradisi, nilai dan budaya masyarakat yang dapat menjadi modal untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, tradisi tersebut ialah tradisi Jimpitan.
Tradisi Jimpitan merupakan agenda masyarakat yang sudah ada dari zaman dahulu dan hingga kini masih banyak masyarakat yang mempraktikkannya. Jimpitan berasal dari kata “jimpit” yang dalam kamus Bausastra Jawa berarti “mengambil barang lembut/kecil dengan menggunakan ujung jari”. Sedangkan “jimpitan” dalam istilah yang lebih konkret berarti “beras/sumberdaya yang dikumpulkan warga demi kepentingan perkumpulan desa.
Berubahnya Bentuk Swadaya Warga
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jimpitan berarti sumbangan berupa beras sejimpit yang dikumpulkan secara beramai-ramai. Selain mengumpulkan beras, Jimpitan juga dapat berupa pengumpulan uang dalam jumlah kecil.
Biasanya Jimpitan dipungut pada waktu malam hari ketika masyarakat melakukan ronda atau jaga malam.
Warga yang bertugas ronda mengambil uang atau beras dalam jumlah sedikit pada wadah yang diletakkan di pagar atau depan rumah warga. Jimpitan dilakukan setiap hari dan setiap Rumah Tangga harus ikut serta dalam kegiatan Jimpitan ini. Biasanya, kesekpakatan besaran jimpitan dibuat fleksibel sehingga seluruh warga dapat berpartisipasi tanpa melihat jumlah sumbangan yang diberikan. Dulunya, Jimpitan berbentuk beras, kemudian berganti menjadi uang karena uang bersifat lebih liquid dibandingkan dengan beras.
Hasil urunan warga yang terkumpul ini digunakan untuk kepentingan masyarakat secara bersama, mulai dari pembangunan di desa, kedukaan, suka cita, perayaan hari besar dan lain sebagainya.
Pada beberapa wilayah desa yang masih melakukan Jimpitan biasanya memanfaatkan sumber daya ini untuk membangun infrastruktur perekonomian seperti saluran irigasi, jalan pertanian, penerangan jalan, sumur bor dan lain sebagainya. Secara mendasar, Jimpitan yang diatur serta diadministrasikan dengan baik dapat menyerupai perencanaan pembangunan yang berkelanjutan pada tingkat mikro.
Fungsi dari Jimpitan yang menjadi sebuah social dan financial capital di masyarakat dapat menjadi modal dan sangat berguna bagi upaya melakukan pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Pemerintah maupun swasta yang memiliki niat melakukan pemberdayaan partisipatif dapat memanfaatkan tradisi dan praktik jimpitan yang sudah dikenal di Indonesia.
Melalui Jimpitan, mencapai cita-cita pembangunan partisipatif dapat terwujud pada skala mikro dan memungkinkan untuk dapat dikembangkan pada skala yang lebih besar.
Referensi:
Pambudi, Rakhmat Dwi. (2020). Pelestarian Jimpitan sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan di Kelurahan Patemon, Gunung Pati, Kota Semarang. Forum Ilmu Sosial 47 (1), June 2020, pp. 37-45
Setyawan, B. W. ., & Nuro’in, A. S. . (2021). Tradisi Jimpitan Sebagai Upaya Membangun Nilai Sosial dan Gotong Royong Masyarakat Jawa. DIWANGKARA: Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra Dan Budaya Jawa, 1(1).