c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

CATATAN VALID

24 Juni 2025

17:30 WIB

Tone Deaf, Ketidakmampuan “Mendengar” Nada Sosial

Istilah tone deaf mulanya digunakan untuk menyebut orang-orang yang “tuli nada” dalam dunia musik. Kini, istilah ini banyak digunakan juga untuk orang-orang yang tidak mampu mendengar “nada sosial”.

Penulis: Ratna Pratiwi

Editor: Rikando Somba

<p><em id="isPasted">Tone Deaf</em>, Ketidakmampuan &ldquo;Mendengar&rdquo; Nada Sosial</p>
<p><em id="isPasted">Tone Deaf</em>, Ketidakmampuan &ldquo;Mendengar&rdquo; Nada Sosial</p>

Ilustrasi orang berdiskusi. Shutterstock/PR Image Factory

Pernahkan kamu bertemu orang yang ketika berbicara, seperti tidak melihat bagaimana suasana di sekitarnya? Misalnya, ketika kamu sedang curhat tentang perilaku seseorang, dan teman curhatmu malah meminta kamu memahami dari sudut pandang orang tersebut. 

Kasus lain, misalnya kala individu pamer harta kekayaan di depan orang-orang yang sedang kesulitan finansial. Atau, ketika kamu menceritakan perbuatan seseorang yang menyakitimu, namun lawan bicaramu malah membela dengan menceritakan kebaikan orang itu kepadanya. 

Nah, belakangan, orang-orang dengan perilaku seperti ini sering disebut “tone deaf”. Apa maksudnya? 

Tone Deaf dan Perluasan Maknanya
Secara harfiah, tone deaf berarti seseorang yang tidak mampu membedakan nada musik. Penyebabnya, bisa akibat kurangnya keterampilan bermusik atau mengalami kondisi medis yang disebut amusia. 

Sebagai informasi, amusia adalah kondisi neurologis yang memengaruhi kemampuan otak untuk memproses informasi musik. Kondisi ini bisa disebabkan kecacatan yang telah dibawa sejak lahir, cidera, atau stroke. 

Seiring perkembangan zaman, istilah dalam bahasa Inggris ini pun mengalami perluasan makna. Kini, tone deaf punya makna metaforis untuk menyebut orang-orang yang tidak mampu menangkap “nada” pembicaraan; tidak sensitif terhadap “suasana”; dan tidak sesuai konteks sosial atau emosional dalam bertindak. 

Dengan kata lain, seperti halnya orang yang secara musikal tidak dapat mengenali nada, orang-orang tone deaf secara sosial tidak mampu “mendengar’ atau “merasakan” nada emosional sekitarnya. Tone deaf secara sosial kini digunakan sebagai kiasan untuk menggambarkan seseorang yang tidak peka terhadap situasi, emosi, atau konteks sosial di sekitarnya.

Perluasan makna ini terjadi sejak awal abad ke-20 dan digunakan dalam konteks seni dan kritik budaya. Istilah ini semakin populer digunakan dalam kritik sosial dan media massa pada era 1980-1990-an dan mulai umum digunakan hingga saat ini. 

Contoh Tone Deaf
Secara sosial, orang yang tone deaf tidak mampu membaca suasana atau perasaan orang lain dengan baik. Umumnya, mereka bertindak atau berbicara dengan cara yang dianggap tidak pantas, tidak empatik, atau tidak sensitif. Berikut ini beberapa contohnya. 

  1. Dalam bidang politik: Ketika politikus mengadakan pesta mewah, padahal rakyat sedang mengalami krisis ekonomi atau bencana alam.
  2. Dalam bidang periklanan: Ketika sebuah produk kecantikan membuat promosi yang menunjukkan standar kecantikan yang sempit dan mengabaikan keberagaman ukuran tubuh dan ras. 
  3. Dalam bidang hiburan: Ketika seorang selebriti mengomentari atau bercanda dengan nada meremehkan terhadap pengalaman kelompok minoritas atau yang terkena dampak bencana.
  4. Dalam bidang bisnis: Ketika manajemen terus mendorong target yang tinggi, tanpa mempertimbangkan keluhan stres atau burnout karyawan.
  5. Dalam dunia kerja: Ketika karyawan sedang curhat karena merasa diperlakukan tidak adil, namun sesama karyawan lain malah membela atasan tanpa empati.

Dampak Sikap Tone Deaf 
Jika dibiarkan, dampak perilaku tone deaf bisa sangat serius bagi individu maupun organisasi. Utamanya, dalaman konteks profesional, sosial, maupun publik. Berikut beberapa di antaranya. 

1. Dampak Umum 

  • Menimbulkan kesan arogan atau tidak empatik. 
  • Menurunkan kepercayaan publik terhadap brand, individu, atau pemimpin. 
  • Apabila pernyataan tone deaf diunggah di media sosial, dapat memicu reaksi negatif yang membuat pengunggah viral karena alasan yang salah. 

2. Dampak di Bidang Politik

  • Hilangnya dukungan dari kelompok tertentu. 
  • Munculnya anggapan bahwa pejabat tidak peka terhadap kondisi rakyat. 
  • Lahirnya narasi negatif yang dapat digunakan pihak oposisi untuk memengaruhi kepercayaan publik.

3. Dampak dalam Dunia Bisnis 

  • Penurunan penjualan akibat ditinggalkan pelanggan atau gerakan boikot terhadap brand yang dianggap tone deaf
  • Kehilangan mitra atau investor. 
  • Harus mengeluarkan biaya lebih untuk memperbaiki citra, baik melalui kampanye sosial maupun rebranding

4. Dampak di Lingkungan Kerja

  • Karyawan merasa tidak dihargai dan tidak didengar. 
  • Meningkatkan perasaan frustrasi, sinisme, bahkan keinginan untuk mengundurkan diri. 
  • Keretakan hubungan, baik sesama karyawan maupun antara atasan dan bawahan. 

5. Dalam Hubungan Sosial dan Profesional

  • Menyebabkan kesalahpahaman dengan teman, rekan, atau audiens. 
  • Dicap sebagai pribadi yang tidak peduli, tidak peka, hingga sok tahu. 
  • Dikucilkan dan tidak diikutkan dalam diskusi penting karena dianggap tidak mampu membaca suasana. 

Cara Terhindar dari Sikap Tone Deaf
Agar terhindar dari sifat tone deaf, berikut beberapa cara yang bisa Sobat Valid aplikasikan kepada diri sendiri. 

1. Melatih Empati Sebelum Menanggapi
Tidak semua orang memiliki rasa empati yang baik. Namun, hal ini dapat kamu latih dengan menanyakan kepada diri sendiri, “Bagaimana kalau saya ada di posisi orang itu?” sebelum menanggapi percakapan. Dalam hal ini, penting untuk memahami emosi dan pengalaman orang lain, serta menghindari mengomentari sesuatu yang tidak benar-benar kamu pahami. Utamanya, menyoal hal-hal sensitif, seperti keuangan, kesehatan, maupun fisik.

2. Perhatikan Situasi
Hindari memuji keuntungan pribadi ketika orang lain sedang kesulitan. Sebaiknya, biarkan lawan bicara menyelesaikan curhatan atau keluhannya, tanpa perlu buru-buru membantah atau menyela dengan logika kamu. 

3. Hindari Pamer Tanpa Sadar
Kenali latar belakang lawan bicaramu. Hindari mengumumkan masalah “mewah” di ruang publik, misalnya mengaku pusing telah mengeluarkan uang 2 miliar rupiah untuk membeli rumah, padahal orang di sekitarmu sedang kesulitan finansial atau jelas-jelas jauh di bawahmu. 

Simpanlah cerita semacam itu untuk kelompok pertemanan dengan kondisi finansial yang “setara”. 

Jika dilihat sekilas, perilaku tone deaf mungkin memang tampak sepele. Namun, jika dibiarkan, tone deaf bisa berdampak panjang, seperti  menurunkan kepercayaan, menciptakan jarak sosial, dan merusak peluang. Oleh sebab itu, perlu adanya kesadaran diri untuk lebih menjadi pribadi yang peka terhadap sekitar dan situasi. 

 

 

 

Referensi: 

  1. Adaan. 2023. Tone Deaf Marketing: The Dangers of Insensitive Advertising Campaigns. Diakses dari Adaan: https://www.adaan.com/tone-deaf-marketing-the-dangers-of-insensitive-advertising-campaigns/?utm_ pada 24 Juni 2025. 
  2. Forbes. 2006. Are You Tone Deaf?. Diakses dari Forbes: https://www.forbes.com/2006/02/01/tone-deaf-execs-cx_mc_0203deaf.html?utm_ pada 24 Juni 2025. 
  3. Brodwin, Erin. 2016. People who are tone deaf are teaching scientists something fascinating about the brain. Diakses dari: Business Insider: https://www.businessinsider.com/what-is-tone-deafness-2016-6?utm_ pada 24 Juni 2025.

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar